“ISU
EKSPLOITASI EKONOMI ANAK DALAM DUNIA PENDIDIKAN”
Prof. Dr.
Muhammad Thohir, M.Ag
Eksploitasi anak berjalan beririsan dengan eksploitasi perempuan.
Dalam literasi sejarah Islam ada sebuah kisah di zaman Khalifah Umar bin
Khattab, ada seorang laki-laki menyeret anaknya. Laki-laki tersebut mengatakan
kepada Umar, bahwa anaknya tersebut tidak sopan, tidak berbakti kepada orang
tua. Umar pun bertanya kepada Si Anak: “apakah benar yang dikatakan orang tuamu
itu?” Anak itu menjawab: “Jika ada kewajiban anak berbakti kepada orang tua,
apakah anak memiliki hak?”. “Ada”, tegas
Umar. Umar menyebutkan bahwa anak berkah atas nama yang baik, pembelajaran
membaca al Qur’an, memberi pendidikan yang baik dan memberi nafkah kepada
istri. Kasus tersebut terjadi karena Si
Bapak tidak memberikan nafkah kepada istrinya, ibu dari anak-anaknya. Dari
sketsa historis tersebut, maka eksploitasi anak itu tidak dibenarkan dalam
perspektif apapun, termasuk dalam perspektif agama Islam. Islam sangat
menghargai keberadaan anak, sehingga tidak boleh berlaku kasar atau melakukan
sesuatu yang merugikan anak.
Dr. Sandi
Yayasan Selamat Pagi Indonesia merupakan Yayasan yang bergerak di
bidang sosial kemanusiaan. Yayasan tersebut menyelenggarakan pendidikan
setingkat SMA berbasis pendidikan lifeskill.
Risna Yayasan SPI
Lembaga yang berdiri sejak tahun 2007 ini, menyediakan beasiswa
bagi anak yatim piatu yang mayoritas siswa berasal dari Jawa. Siswa terdiri
dari 6 agama (40% Islam, dst). Untuk itu, SPI menyediakan fasilitas ibadah
masing-masing agama. Kriteria peneriamaan tidak mengutamakan aspek akademik. Karena
SPI lebih mengedepankan kurikulum life skill dengan membangun karakter
siswa. Dengan konsep PAKSA (Pray, Attitude, Knaowledge, Skill, Action), SPI
mengutamakan Eksperiential Learning.
Oleh sebab itu, output pendidikan pada SPI - yang telah
meluluskan 13 angkatan - tidak hanya memberikan ijazah, tapi pengembangan
potensi. Sehingga, siswa dapat mengembangkan potensi-potensinya seperti kuliner,
wisata edukasi, multimedia, animal farm, dsb. Tegasnya, SPI membentuk jiwa
kewirausahaan yang selama ini lekat dengan Lembaga pendidikan vokasi, seperti
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Namun demikian, apa yang dilaksanakan SPI selama ini “dianggap”
salah. Hal ini terjadi seiring laporan alumni yang “menuduh” terjadi
eksploitasi ekonomi di Yayaysan tersebut.
KH. Ahmad Habibul
Alim (Fathul Ulum Jombang)
Pesantren Fathul Ulum adalah pesantren salaf murni. Pesantren
tersebut bertahan di tengah gempuran globalisasi yang kerap “mendesak” pesantren
untuk beradaptasi. Itu sebabnya pesantren-pesantren besar terkadang terkonsentrasi
pada pendidikan formal. Pesantren Fathul Ulum tetap konsisten membentuk corak “lama”.
Meski demikian, pesantren ini mengedepankan pendidikan berbasis
pada pengalaman santri. Dalam praktiknya, pesantren mendidik santri sesuai passion.
Sehingga, output pesantren bukan seorang worker, tetapi menjadi owner
yang menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan pesantren
ini adalah pesantrenpreneur. Pesantren tidak untuk mencetak kiai/ustadz, namun
lebih ke arah SDM. Dalam pesantren ini dibentuk devisi peternakan, pertanian,
dsb yang sesuai dengan potensi santri. Hal inilah yang menjadi kesempatan
beramal di tengah masyarakat.
Prof. Dr. Warsono
(Ketua Dewan Pendidikan Jatim)
Melihat fakta actual dari SPI dan Pesantren Fathul Ulum, maka
tidak ada eksploitasi, karena tidak ada unsur relasi kuasa, kepentingan,
paksaan. Hal ini sesuai dengan makna dasar pendidikan, yaitu “pelatihan”. Pendidikan
butuh laihan. Potensi pada anak harus dikembangkan. Dalam rangka membantu
mengembangkan tersebut, maka harus ada latihan. Allah memberikan 3 modal pada
manusia: akal, hati, waktu. Maka, harus ada Latihan untuk menyelaraskan
ketiganya.
Dugaan eksploitasi barangkali menggunakan “kaca mata” Ivan Illich
yang menganggap sekolah adalah penjara. Sekolah memandangan sebagai anak man
power. Namun, perlu dipahami juga, dalam pepatah Jawa; “banyak anak banyak
rezeki”. Dalam kondisi ini, yang untung adalah orang tua.
Dalam pendidikan, ada strategi reward and punishment; selain
ada hadiah, juga ada hukuman. Meski dalam hal ini hukuman tidak untuk
mencederai. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap anak berbeda, sehingga harus
diedukasi dengan cara/metode yang berbeda. Semua orang mempunyai variasi
(Gardner).
Dalam struktur social, setiap individu adalah konsumen dan
produsen. Jika konsumsi lebih besar maka deficit. Sebaliknya, jika produksi
lebih besar maka bisa surplus. Dalam konteks eksploitasi, salah satu pihak
“meminta” keuntungan atas pihak lain.
Setiap anak berhak atas pendidikan, berarti anak butuh bantuan
orang lain. Pendidikan adalah sebuah proses dengan beragam cara, termasuk agak
memaksa.
Odi Shalahuddin (Dewan Pembina SAMIN)
Apa dasar yang diberikan untuk menyebutkan eksploitasi ekonomi?
Dalam UU perlindungan anak No. 35 2014., eksploitasi berarti memperalat anak
untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi. Dalam konvensi ILO No. 138 Tahun
1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang disetujui pada
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional kelima puluh delapan tanggal 26 Juni 1973
di Jenewa merupakan salah satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak.
Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasi,
menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi, Indonesia melampirkan Pernyataan
(Declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 (lima belas)
tahun.
Namun demikian, Pasal 6 pada konvensi tersebut, tidak berlaku bagi
anak yang sekolah di lembaga pendidikan kejuruan, pelatihan, magang, dsb. Namun
demikian, harus ada payung hukum terkait bentuk-bentuk pekerjaan untuk anak.
Jadi, tuduhan eksploitasi anak pada Lembaga tersebut dianggap
“kebablasan”. Karena tidak ada bentuk pekerjaan terburuk : prostitusi,
perbudakan, atau kerja paksa. Idealnya, pelatihan keterampilan harus dimulai
sejak anak-anak.
Bagaimana anak diajarkan mandiri? Ketika anak ditarik dari keluarga (ke pesantren, asrama, dsb), maka sebuah Lembaga pendidikan menciptakan situasi yang aman bagi anak. Sesuai dengan pendapat Nadiem Makarim, kekerasan, bullying, pelecehan seksual, harus dihilangkan. Oleh sebab itu, kurikulum Merdeka Belajar mengedepankan disiplin positif: setiap anak yang bersalah, tidak diberlakukan dengan hukuman fisik. Hal ini selaras dengan Permen 82 th 2015 Upaya Pencegahan Kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan.
Prof. Muhtadi Ridwan
(UIN Malang)
SPI seperti pesantren. Siswa berada di Lembaga selama 24 jam dengan
pendidikan yang berbasis apda knowledge dan skill, performance,
spiritual. Inilah sejatinya pendidikan, di mana tujuannya adalah memanusiakan
manusia (ngewongne wong). Sementara, kunci pendidikan adalah peduli.
Hotman Siahaan, berpendapat bahwa pesantren adalah model yang paling ideal dan
baik di dunia. Karena semua potensi peserta didik dikembangkan. Jika terjadi
pelanggaran, maka punishment menjadi salah satu solusi. Namun, perlu
digarisbawahi bahwa punishment harus bersifat edukatif.
Prof. Husniyatus
Salamah (FTK UINSA)
Semua proses pendidikan tidak ada eksploitasi, karena tujuannya
adalah menjadikan anak didik dari tidak tau menjadi tau. Demikian pula dari
kedua Lembaga: SPI dan Pesantren Fathul Ulum. Eksploitasi jika ada tujuan
memeras dan menjadikan keuntungan bagi salah satu pihak. Dari laporan oknum
alumni, harus ada penyelesaian dengan jalan dialog bersama.
Faktanya, yang sering menjadi korban dalam kasus eksploitasi
adalah perempuan. Eksploitasi anak adalah akibat dari eksploitasi manusia
berdasarkan gender. Agar tidak terjadi ambiguitas terkait isu eksploitasi anak,
maka harus ada rumusan indicator terkait pekerjaan yang eksploitatif.
KH. Muzammil
Syafii (DPRD Jatim Fraksi NASDEM / Eks Wapub Pasuruan)
Sebelum menilai isu eksploitasi anak, harus definisikan istilah
eksploitasi terlebih dahulu. Jika proses pendidikan / pekerjaan menguntungkan
salah satu pihak saja, maka itulah yang disebut eksploitasi. Memang, kata KH.
Hasyim Muzadi lifeskill dan eksplotasi beda tipis. Namun, apa yang
dilakukan SPI adalah merangkul.
Oleh karena itu, perlu ada sinkronisasi antara pendidikan dan
hukum. Harus ada keselarasan antara Lembaga pendidikan dengan Lembaga penegakan
hukum dalam kriteria kekerasan. Hal ini untuk menjadi jawaban di tengah isu
tersebut.
Ignasius Budiono
(Rohaniawan Katolik)
Apa yang disharingkan oleh kedua lembaga adalah berkah di tengah
generasi “rebahan”. Latihan dan ketekunan adalah sesuatu yang penting dalam
institusi pendidikan. Saya beberapa kali berkunjung ke SPI. Di SPI lebih
menekankan pengalaman. Berbanding terbalik dengan pendidikan dalam Lembaga
formal yang lebih banyak menekankan aspek knowledge. Pendidikan di
Perancis, 1 tahun 2 bulan diberikan kesempatan anak didik untuk tinggal di
sebuah tempat sesuai dengan potensi anak didik.
Ibu Nur Aini
(Staf Kepresidenan RI)
Isu eksploitasi ekonomi di sekolah tida terlalu terdengar
dibanding di perusahaan, masyarakat, dsb. Ketika unsur pembelajaran atau
pelatihan tidak bisa disebut eksploitasi sejauh tidak ada pengambilan
keuntungan bagi salah satu pihak. Perlu dikaitkan dengan faktor lain atau “kaca
mata” masyarakat. KSP sudah terlibat Kemenag menyusun satu aturan diarahkan ke
sekolah menengah. Permenag kekerasan seksual sedang dalam tahap harmonisasi.
Yang terpenting, hal-hal konkrit apa yangmenjadi PR kita bersama. Pemerintah
sedang menggalang pendidikan vokasi di PT. Pemerintah sedang menyukseskan tidak
lepas dari visi presiden. Life skill tidak menyalahi justru saling
menguatkan. Apa yang dilakukan SPI dan Fatchul Ulum perlu didukung dan harus
didorong untuk mendirikan sekolah semacam seperti itu.
Bapak Wacono
(POLDA Jatim)
Semua pihak bertangggungjawab terhadap perlindungan dan
perkembangan anak. Eksploitasi ekonomi, social dan seksual pada anak perlu
ditinjau dan diselesaikan. Eksploitasi anak terjadi, jika ada unsur pemanfaatan
dan penyalahgunaan hak anak. Karena kasus SPI masih dalam proses penyelidikan,
maka tidak boleh ada klaim sepihak. Selanjutnya, perlu adanya aturan dan detail
terkait program penyelenggaraan pembelajaran di luar jam sekolah.
Dr. Ari Fahmi
(UTM)
Anak, perempuan, disabilitas, lansia rentan eksploitasi. Dalam UU Ketenagakerjaan
tidak mengizinkan anak bekerja tetapi memberi kesempatan untuk anak bekerja
dengan syarat administratif. Dalam syarat administrasi negara (nikah, kerja), batasan
usia berbeda. Ini problem.
Semua peraturan
pendidikan kita belum secara optimal menciptakan : aman, sehat dan nyaman.
Aman, berarti anak, orang tua, guru harus diberi perlindungan hukum yang jelas.
Sehat, lingkungan pendidikan mampu memberi kompetisi yang sehat. Nyaman,
perlindungan mencakup infrastruktur bisa diakses semua pihak.
Wisnu Kristiadi
(Shcolarship Aquinas)
Di daerah tertinggal akses pendidikan hanya sampai SD.
Pendampingan pada anak jalanan yang dilakukan tidak maksimal. Ketika terjadi
isu eksploitasi di SPI kami mengirimkan peserta didik ke SPI. Kami
berkesimpulan bahwa, terjadi pergeseran isu eksploitasi ekonomi dari perempuan,
social ke dunia pendidikan.
M. Sholahuddin
(Jawa Pos)
Isu anak dalam perspektif media adalah isu seksi. Jadi, kami tidak
asal menginformasikan. Media berpatokan selama ada laporan yang juga ada
tanggapan. Media harus independent, netral dan edukatif.
Auliya Ridwan
Di Australia melihat anak bekerja sudah biasa. Mereka adalah
Junior Staff, anak bekerja bertujuan untuk pengalaman (lifeskill).
Muhammad Fahmi
Pendidikan lifeskill tidak bisa disebut sebagai eksploitasi
anak, karena di sana ada pengarahan dan bimbingan untuk anak.
0 Comments