Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

AGUSTUS


Setiap Agustus pasti meriah dan menggugah. Di bulan ke delapan ini Bangsa Nusantara menoreh sejarah; hasil perjuangan, perang dan tumpahan darah. Dan jauh sebelumnya, di bulan ini pula Muhammad bin Abdullah menerima titah. Ia mendengar suara langit ketika berkhilwat di gua Hira’ di tahun ke 41 dari kelahirannya. Peristiwa ini menyejarah di bulan Agustus 610 M. Sesuai dengan kemuliaannya, Allah menjadikan malam itu sebagai permulaaan turun sebuah perintah. Seorang yang bernama Muhammad didaulat sebagai Rasul dengan “membaca” sebagai perintah pertama.
Ibn Katsir, menjelaskan bahwa ketika Rasulullah pertama kali menerima lima ayat surat al-‘Alaq, Jibril menyuruhnya membaca, hingga tiga kali, barulah Nabi dapat membaca kelima ayat tersebut. Menurut Hamka, suku kata pertama; iqra’ (bacalah), telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan Islam selanjutnya. Rasulullah disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepadanya atas nama Allah. Secara harfiah, kata iqra’ yang terdapat pada ayat tersebut berarti menghimpun huruf-huruf dan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya dan membentuk suatu bacaan. Dengan kata lain, ini berarti; “jadilah engkau orang yang dapat membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya”.
Di sisi lain, iqra’ mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu pengetahuan. Allah menyuruh Nabi untuk membaca, dengan objek bacaan yang bermacam-macam, ayat yang tertulis ataupun ayat yang tidak tertulis; manusia dan jagat raya dengan segala hukum kausalitasnya. Berbagai ayat tersebut dibaca dalam arti ditelaah, diobservasi, diidentifikasi, dikategorisasi, dibandingkan, dianalisis dan disimpulkan yang dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya, seluruh ilmu dari Allah, dan harus diabdikan untukNya. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan ilmu-ilmu yang harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepadaNya. Dengan demikian, ayat pertama surat al-‘Alaq terkait dengan objek, sasaran dan tujuan pendidikan.
Membaca; Dulu
Dalam konteks historis, sejak Nabi melaksanakan fungsi dakwah secara aktif di Mekkah, telah didirikan lembaga pendidikan – di mana Nabi memberikan pelajaran tentang Islam sebagai doktrin secara menyeluruh di rumah-rumah dan masjid-masjid. Salah satu rumah yang dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan Islam ialah Da>r al-Arqam. Pun pula, Masji>d al-Hara>m di Mekkah dan Masjid al-Nabawi> di Madinah, menjadi pusat pendidikan. Di masjid-masjid inilah berlangsung proses belajar mengajar. Kegiatan pembelajaran tersebut dapat berlangsung dengan baik, hingga pada akhirnya setiap wahyu yang diturunkan kepada Nabi, dicatat dan dilafalkan oleh para sahabat yang pandai membaca dan menulis.
Rasulullah melakukan transmisi (pengetahuan dan nilai) dengan dua cara: Pertama, menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya. Kedua, menulisnya di atas berbagai jenis bahan untuk menulis. Pada mulanya bagian-bagian al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi dipelihara dalam ingatan. Tradisi hafalan yang kuat dikalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Qur’an dalam cara itu. Pada tahap berikutnya al-Qur’an ditulis. Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Uthman Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menulisnya.
Dari sejarah dan konsepsi iqra’tersebut, maka kemampuan berbahasa, berpikir, dan penguasaan pengetahuan menjadi hal mutlak yang harus menjadi tradisi. Apalagi melihat perkembangan pendidikan yang begitu pesat yang diiringi pergantian menteri yang “cepat”. Kemampuan berpikir hakikatnya merupakan kemampuan mengolah substansi materi yang diperoleh melalui berbagai mata pelajaran (content area) yang hasilnya dapat diwujudkan melalui kegiatan berbahasa. Oleh sebab itu, tanpa melalui proses berpikir yang kritis, kreatif, dan cermat substansi materi tersebut tinggal berupa tumpukan materi yang kurang bermakna.
Membaca; Kini
Dengan adanya proses berpikir, maka memungkinkan tumpukan materi menjadi mudah dipahami karena mempunyai struktur dan hubungan-hubungan yang jelas antara satu dengan yang lainnya. Materi yang telah diolah melalui proses berpikir tersebut menurut Melanie Wallendorf, akan dikomunikasikan kepada orang lain setelah dituangkan dalam wacana lisan atau wacana tulis. Wacana lisan dan tulis itu dapat berisi gagasan-gagasan anak didik, informasi, data, fakta, pandangan ahli, hasil penelitian, dan teori yang berhasil diserap siswa dari berbagai sumber. Siswa yang terbiasa memahami dan menghasilkan wacana lisan dan tulis sebagai hasil akhir kegiatan beredukasi, akan mampu memahami dan mendalami substansi materi pelajaran secara lebih komprehensif.
Kini tampak jelas bahwa kemampuan baca tulis – yang kini dikenal dengan istilah “literasi” – mempunyai posisi strategis dalam dunia pendidikan. Membaca, berpikir, menulis yang merupakan intinya. Ini sangat diperlukan siswa untuk menyelesaikan studi, melanjutkan studi, mempersiapkan diri memasuki dunia kerja, dan belajar “sepanjang hayat” di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila budaya literasi dijadikan basis pengembangan kegiatan pembelajaran di sekolah. Dengan dijadikannya literasi sebagai basis pengembangan kegiatan pembelajaran, berarti aktivitas pembelajaran yang dirancang guru bertumpu pada kegiatan membaca, berpikir, menulis. Kegiatan serupa akan menyertainya, seperti berdiskusi, memecahkan masalah, mengembangkan persepsi, dan meneliti.
Jadi, membaca(kan) Agustus barangkali dapat menjadi selingan di tengah ruang-ruang yang penuh sesak dengan kasus kopi bersianida, pergantian “cepat” para menteri negara, hingga hingar bingar agustus(an) dengan lomba-lomba. Jika tak dapat menjadi selingan, mungkin (coretan) ini dapat menjadi camilan; saat “film-film” sejarah kembali tayang tanpa melihat ke depan.
*Merdeka!!! 

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ