Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

KIRI ISLAM


Diskursus seputar masalah Islam dan sosialisme selalu mengemuka. Pembahasan berkisar pada tataran konsepsi teoritik maupun praksis. Wacana ini memang menarik, seiring dengan eskalasi politik internasional yang saat ini begitu hegemonik dan eksploitatif di bawah kendali negara-negara adi kuasa yang despotik. Tesis Francis Fukuyama-dalam The End of History and The Last Man-yang menyatakan Kapitalisme sebagai babak akhir sejarah, harus dielaborasi (kembali). Bagaimanapun, praktik kapitalisme dengan berbagai bungkusnya telah memperlihatkan wajah aslinya. Globalisasi yang selama ini begitu didewa-dewakan dan diyakini akan memberikan welfare equality bagi dunia, ternyata hanya “isapan jempol” belaka.

Sehingga wajar, praktik kapitalisme yang meniscayakan adanya imperialisme tersebut menumbuhkan kebencian kolektif serta perlawanan dari seluruh kawasan dunia. Yang menarik, perlawanan ini ternyata dapat mempersatukan golongan yang selama ini memiliki background ajaran yang berbeda, yaitu kelompok Islamis dan kelompok sosialis.

Mengulas Sejarah Sosialisme
Dalam sejarah, perkembangan awal sosialisme yang muncul di akhir abad ke-18 berangkat melalui pemikiran radikal François Noël Babeuf selama masa revolusi Prancis. Selanjutnya doktrin pertarungan kelas tersebut, diperjuangkan dan diteruskan oleh Karl Marx yang beraliran materialisme. Namun, fase-fase perkembangan sosialisme setelah  Babeuf menjadi lebih moderat, di mana konsep pertarungan kelas dan penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan tidak lagi digunakan. Akan tetapi, lebih mengedepankan kerjasama daripada persaingan. Generasi pemikir moderat ini biasa disebut sebagai sosialisme utopis dengan tokoh-tokohnya seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Setelah era kelompok pemikir sosialisme utopis, kemudian muncul tokoh-tokoh pemikir seperti Louis Blanc, Pierre Joseph Proudhon, Auhuste Blanqui yang lebih mengarah kepada ide-ide politik dan perjuangan yang lebih radikal.

Selanjutnya, perkembangan mutakhir sosialisme menjadi lebih progresif dan revolusioner di era Karl Marx dan Friedrich Engels dengan munculnya karya agung, Das Capital sebagai kitab suci dan manifesto komunisme sebagai pencetusan gerakan perlawanan terhadap tekanan sistem kapitalisme liberal. Awal perkembangan sosialisme adalah sebagai faham ekonomi yang merupakan reaksi dari revolusi industri yang telah memunculkan sebuah keadaan baru. Dengan terbentuknya kelas buruh atau dalam istilah Marx adalah sebagai kelompok proletar yang tertindas dan mengalami tindakan kesewenangan dari kaum borjuis. Namun, jauh sebelum munculnya ideologi sosialisme, bisa dipastikan di dalam kalbu kita tidaklah sepakat dengan adanya penindasan, penjajahan ataupun perampasan hak. Hal ini sejalan dengan keberadaan Islam yang dibawa oleh Sang Revolusioner Agung, Nabi Muhammad SAW.

Berawal dari sebuah keadaan masyarakat Arab yang penuh dengan kebodohan, pertikaian antar klan dan kebiadaban serta pengingkaran nilai ketauhidan, risalah Islam muncul sebagai sebuah jalan kebenaran dan keselamatan baik hidup maupun sesudah hidup itu sendiri. Meski kelahiran Islam adalah di tanah Arab, tetapi keberadaan Islam bukan bersifat ekslusif untuk bangsa Arab itu sendiri. Keberadaan Islam adalah bersifat global bagi siapa saja, kapan saja dan di mana saja (termasuk INDONESIA). Hal ini sejalan dengan konsep Islam yang bersifat rahmatan lil alamin.

Sejarah perkembangan umat Islam juga mengalami berbagai kemajuan dan kemunduran. Di dalam setiap fase sejarah yang dialami, tentunya sangat berbeda dari masa ke masa. Tidaklah sama baik dari segi sosiologi, politik, ekonomi yang dihadapi pada zaman Nabi Muhammad SAW dengan zaman kolonialisme atau pasca kemerdekaan. Akan tetapi, ada suatu “benang merah” bahwa keberadaan Al-qur’an dan As-sunnah sebagai pegangan hidup bagi umat Islam adalah mutlak bersifat universal. Hal ini mensyaratkan sebuah perjuangan dalam membumikan Islam baik secara fisik atau spirit. Selain itu, untuk hal tersebut diperlukan sebuah upaya yang tidak sebentar bagi para tokoh pemikir Islam untuk mengerti dan memahami ajaran Islam untuk sendiri sehingga dapat dicapai solusi-solusi cerdas bagi pemecahan di dalam setiap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri.

Nabi Muhammad, sebagai pembawa risalah keislaman secara sosiologis adalah peletak pondasi dasar bagi terciptanya sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera serta berketuhanan. Namun setelah meninggalnya Sang Nabi sebagai Pemimpin Besar Revolusi, tonggak pemerintahan diteruskan oleh para sahabat dan kemudian beralih kepada sistem kekhalifahan sesuai dengan konsep Islam bahwa manusia adalah sebagai Khalifah fil ardh. Di sinilah letak sebuah perkembangan Islam dalam berbagai bidang. Mulai penyebaran ajaran Islam, hingga kebudayaan serta ilmu pengetahuan yang dihasilkan begitu menyeluruh di setiap pelosok negeri. Bukan hanya di tanah Arab, tetapi bahkan hingga sampai ke INDONESIA.

Tak ada gading yang tak retak. Pepatah itulah yang akan menjadi hukum alam dalam kehidupan ini. Tak terkecuali di dalam sejarah Islam. Kemajuan Islam pun juga mengalami fase kemunduran. Pasca kehancuran pusat-pusat kebudayaan Islam seperti kehancuran Bagdad, keruntuhan Islam di Andalusia, Turki serta diikuti dengan perkembangan bangsa Eropa dengan renaissance-nya pelan tapi pasti. Terlebih, pasca revolusi industri yang menghasilkan berbagai perkembangan teknologi aplikasi dan perlengkapan modern, serta semakin berkembangnya ideologi kolonialisme serta kapitalisme liberal yang semakin mendorong Eropa mencari daerah-daerah pemasaran dan jajahan dengan mengusung semangat God, Glory, Gold.

Pergulatan Islam dan Sosialisme
Beragam kondisi kontemporer saat ini menyiratkan sebuah kenyataan. Bahwa perang ideologi dan saling memanipulasi dan tindakan hegemoni semakin menemukan bentuknya dalam bentuk-bentuk yang paling memuakkan. Benturan-benturan kepentingan dan saling menghancurkan adalah sebuah keniscayaan dalam bingkai yang dibungkus rapi dengan berbagai propaganda. “Hantu-hantu” kekuasaan berkeliaran dengan keyakinan akan satu hal bahwa kekuatan modal menjadi penopang utama dalam mempertahankan dan kudeta kekuasaan. Warga Negara berhadapan dengan tirani kekuasaan, kaum lemah vis a vis secara tidak seimbang dengan kaum kuat.

Memasuki masyarakat Dunia Ketiga ini, Ali Syari'ati, seorang tokoh revolusioner Iran, telah mengembalikan citra Islam dari tuduhan yang statis, anti kemajuan dan anti kemapanan. Sebab, Dunia Ketiga telah sepenuhnya terkena penyakit apa yang dikenal "westruckness" (mabuk kepayang terhadap Barat dan materialism syndrom). Ya, kegilaan terhadap kemegahan materialistik. Padahal, modernisme yang dibungkus dengan paham materialisme yang berkembang saat ini tidaklah mampu mengantarkan kebahagiaan dan ketentraman hidup manusia.

Menghadapi syndrom yang serba ke barat-baratan itu, Syari'ati telah membuktikan kepada dunia, bahwa Islam tidaklah reaksioner, pasif, dan status quo. Islam pun menggerakkan manusia melawan “berhala-berhala” peradaban duniawi itu. Islam adalah revolusioner. Yaitu menata perubahan hidup dari sistem jahiliyah menuju sistem yang berkeadaban dan berkemanusiaan.

Kehadiran Islam sebagai manifestasi kebijaksanaan Tuhan mengejawantah melalui Muhammad untuk membimbing dan membebaskan manusia. Bukan hanya masyarakat Arab, tetapi untuk keseluruhan manusia yang memang terbuka mata hatinya dari krisis social dan krisis moral. Betapa tidak, berbagai penumpukan kekayaan, persaingan antar klan dan suku malah semakin mempercepat dinamika masyarakat untuk menuju kebangkrutan moral.

Sementara itu, di belantara Eropa, Sosialisme-Marxis menjadi ideologi sosialisme paling dominan dalam gerakan perlawanan menuju masyarakat egalitarianisme dan sekaligus menjadi fundamental bagi setiap gerakan perlawanan dalam memperjuangkan kaum tertindas, penghancuran terhadap segala bentuk eksploitasi. Karl Marx dengan magnum opusnya yakni Das Capital menjadikan konsep pertarungan kelas dan faham ekonomi sebagai dasar pokok bagi perkembangan sejarah di setiap periode kehidupan umat manusia.

Memang, antara Islam dan sosialisme mempunyai jurang pemisah yang rasa-rasanya sangat sulit untuk dihilangkan. Sebuah jurang pemisah yang menjadi fundamen dasar bagi gerakan yang dilakukan dalam setiap gerakan perlawanan. Islam dengan fundamen dasarnya adalah Tauhid (monotheisme). Sebuah ajaran dengan kepercayaan bahwa hanya ada satu Tuhan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta beserta isinya. Sedangkan Sosialisme yang nota bene dengan patronase Karl Marx memandang bahwa agama adalah candu bagi masyarakat yang hanya membuat masyarakat terlena dengan janji-janji langitnya. Namun, antara Islam dan Sosialisme terdapat persamaan. Islam dan sosialisme sama-sama berjuang dalam ranah untuk menghilangkan segala bentuk tekanan sistem kapitalisme liberal atau apapun bentuk ideologi lainnya yang membawa segala penindasan, eksploitasi atas manusia.

Gerakan Pembebasan
Hal yang sering disampaikan oleh kelompok sosialis di Negara-negara dengan mayoritas Islam adalah bahwa sosialisme dan Islam memiliki kesamaan, yakni sama-sama memerangi kapitalisme. Di Indonesia misalnya, perjalanan sosialisme berawal dari Serikat Islam (SI) Semarang, dengan tokoh-tokohnya seperti Semaoen, Darsono, Mas Marco. Sosialisme di Indonesia dibawa oleh orang Belanda yang bernama Sneevliet.

Dalam beberapa hal, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan perlawanan terhadap tirani penguasa, sosialisme selalu menjadi pilihan platform gerakan perlawanan. Hal ini bisa kita fahami bahwa dengan sosialisme sebagai pisau analisis dalam membaca perubahan. Sebab, sosialisme mengusung semangat egalitarianisme masyarakat dan keadilan sosial. Namun, dalam bidang tertentu seperti konsep “ sama rata-sama rasa “ adalah hal yang tidak bisa diterima. Karena bagaimanapun juga dalam konsep Islam hak akan setiap individu tetap memiliki tempatnya. Apalagi tentang atheisme di dalam sosialisme-komunisme, tentu saja Islam menolak mentah-mentah akan hal ini. Bahkan faham atheisme perlu dihilangkan. Tentu saja karena bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, yang senantiasa menyandarkan setiap perbuatan bahkan tarikan nafas kepada Sang Maha Agung. Menjadi fitrah manusia untuk mempunyai Tuhan, atau setidaknya mengakui hal-hal yang superioritas di luar dirinya untuk menjadi sandaran manusia itu sendiri. Sehingga faham atheisme adalah faham yang pantas “mati” karena bagaimanapun juga tidak berkesesuaian dengan fitrah manusia itu sendiri.

Tentang dilema sosialisme dan Islam ini, Mohammad Hatta pernah mengatakan:
“Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme perikemanusiaan yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat. Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong”

Islam sangat menghargai baik peranan individu maupun peranan Negara. Islam dapat mengharmonikan keduanya. Sehingga seorang individu mempunyai kebebasan yang sangat diperlukannya untuk mengembangkan potensinya. Selain itu, memberikan kekuasaan kepada masyarakat dan negara untuk mengatur dan melakukan kontrol hubungan sosio-ekonomi untuk menjaga dan memelihara keharmonisan kehidupan manusia.

HOS Cokroaminoto juga pernah mengatakan bahwa, menghisap keringat orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang semestinya (dengan seharusnya) menjadi bagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu. Semua perbuatan yang serupa ini (oleh Marx) disebut memakan “keuntungan nilai lebih”. Hal ini jelas dilarang sekeras-kerasnya oleh Islam. Maka nyatalah, agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada “akarnya”, dan “membunuh” kapitalisme mulai dari “benihnya”. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan “meerwaarde” menurut kaca mata Marx, dan memakan “riba” dalam pandangan Islam.

Lebih lanjut, H. Agus Salim, mengemukakan bahwa, Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme, sejak 1200 tahun sebelum Karl Marx.  Hal ini menyiratkan sebuah hubungan khusus antara Islam dan sosialisme. Meski tetap dengan memperhatikan dan menghilangkan beberapa konsep dalam sosialisme yang tidak sejalan dengan Islam. Ini adalah sebuah jalan tengah. Sebuah langkah untuk menciptakan “Gelombang Pergerakan Baru” untuk melawan setiap bentuk penindasan dengan baju kolonialisme dan kapitalisme liberal yang kini semakin memasung sejarah.

Islam sosialis memiliki visi yang cemerlang bagi peningkatan kesadaran masyarakatnya. Islam sebagai agama tidak hanya dipahami sekadar aktivitas ritual dan fiqh yang tidak menjangkau wilayah politik, apalagi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Islam harus dikonstruk sebagai sumber inspirasi emansipasi dan pembebasan. Yaitu nilai-nilai yang menjungjung tinggi keadilan dan kesamaan derajat. Islam tidak mengenal kasta yang membelenggu tatanan sosial.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ