Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

SARUNG KIAI


Perdebatan tentang partisipasi kiai dalam pemerintahan baik terlibat sebagai pemangku kebijakan atau hanya sekedar dalam forum silaturrahim selalu berada dalam tarik-menarik dua kutub pendapat yang kontras. Pendapat pertama, mengasumsikan bahwa komunitas pesantren, bagaimanapun juga merupakan entitas yang memiliki hak dan aspirasi politik sebagaimana warga negara lainnya. Hal ini didukung oleh argumentasi-argumentasi teologis yang membenarkannya.
Pendapat kedua, mengkritik dengan keras, bahwa partisipasi kiai dalam pemerintahan lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Hal ini mengacu pada realitas politik kekinian yang sering dianggap “kelam”. Maka partisipasi kiai dalam pemerintahan bagaimanapun kokohnya argumentasi teologisnya, akan ikut tenggelam.
Perdebatan ini tak kunjung selesai. Sebab masing-masing akan menunjukkan berbagai argumentasi etis maupun praksis untuk meneguhkan pendapatnya.
Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa kiai juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik. Era reformasi yang telah membuka kembali kebebasan masyarakat untuk turut serta dalam berbagai bidang adalah bentuk nyata terbukanya “gerbang” politik kiai. Hal itu didasarkan pada peran politik kiai yang sejak dahulu memiliki pengaruh yang cukup besar.
Otoritas Kepemimpinan
Di masa sekarang, kiai semakin dekat dengan kekuasaan. Hal itu menjadi benar ketika melihat eratnya relasi kuasa kiai dengan pejabat publik. Banyaknya kiai yang menjadi anggota partai dan kemudian menduduki peranan-peranan penting di daerah juga akan menjadi sebab dominan perpolitikan kiai ke depan.
Partisipasi kiai dalam politik praktis salah satunya adalah karena komunikasi politik kiai dirasa sangat efektif ketika berhadapan dengan lingkungan masyarakat Islam tradisional. Efektifitas komunikasi yang dilakukan oleh kiai tidak terlepas dari peran kiai sebagai seorang yang memiliki otoritas dalam kehidupan masyarakat.
Max Weber, menjelaskan perihal otoritas pemimpin. Ia mengajukan tipologi kewenangan sebagai legal (rational) authority, traditional authority, dan charismatic authority. Jadi, selain karena didukung oleh otoritasnya sebagai pemimpin agama, komunikasi politik kiai juga didukung oleh budaya politik di Indonesia yang cenderung membentuk hubunganpatronase”.
Kiai sebagai pemimpin karismatik sudah umum dikenali masyarakat. Pengaruh kiai yang kuat menjadi incaran para politisi untuk  mendulang suara. Berbagai taktik dan strategi kampanye politik yang dijalankan partai politik biasanya tidak melupakan akan arti penting peran kiai sebagai “vote getter” terdepan dalam mendulang suara.
“Resi” dalam Kuasa
Perkembangan politik praktis di Indonesia membawa sejumlah kiai terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan tanah air. Aspirasi politik kiai dimanfaatkan partai politik di tingkat nasional maupun lokal di setiap momen pergantian kepemimpinan. Dengan demikian, kiai dihadapkan pada dunia politik praktis yang sarat akan ketidakpastian.
Meski sudah ada batasan bahwa kiai hanya bertugas mengurus umat dan tidak terlibat ke dalam kekuasaan, kharismanya masih kekuatan yang signifikan. Tak pelak, di dalam panggung politik, budaya “sungkem” terhadap kiai menjadi realitas sosial tidak dapat ditanggalkan. Hal ini dapat menjadi upaya untuk melatenkan kepemimpinan. Maka benar kata Habermas, bahwa kekuasaan turut menunjukkan pola komunikatif dan diskursif dalam kehidupan sosial.
Keterlibatan kiai dalam politik dapat dilihat dari kesejarahan Nahdatul Ulama (NU). Meskipun didirikan sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial-keagamaan, dalam perjalanannya NU sempat menjadi partai politik. Selama menjadi partai politik, para ulama itu pun ikut berkubang dalam pergulatan politik praktis di panggung kekuasaan di negeri ini.
Setelah menyatakan kembali ke khittah 1926, NU tak lagi memainkan diri sebagai organisasi politik. Muktamar NU ke-27 di pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo menjadi saksi NU kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan.
Sejarah tersebut setidaknya memberikan pemahaman bahwa relasi kuasa antara kiai dan pejabat publik nyaris tak terpisahkan. Beragam asumsi menilai relasi tersebut; ada yang sependapat, namun tidak sedikit yang menggugat. Bagaimanapun relasi antara kiai dan politik dalam realitas politik di Indonesia tetap menjadi diskursus yang menarik. Hal ini juga membuktikan bahwa kiai memiliki peran yang begitu kuat dalam lingkaran kekuasaan.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ