Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

JIBS

 

Hampir satu bulan dengan dua belas pertemuan kami mengikuti short course JIBS (Jurnal Internasional Bereputasi Scopus dan/atau Sinta 1). Acara yang dihelat oleh DIKTIS Kemenag ini begitu meriah dan menggugah. Bagaimana tidak. Jumlah Peserta 150 (seratus lima puluh) orang dari 75 (tujuh puluh lima) jurnal. Target juga tidak tanggung-tanggung: peserta dapat mensubmit dan menjadi jurnal internasional bereputasi (scopus) dan/atau Sinta 1. Ngeri.

JIBS, tempat berkumpulnya para "Suhu" jurnal. Ini adalah gelanggang original (Orang Gila Jurnal). Narasumber pun merupakan para pakar dan Guru Besar. Mereka adalah “jihadis” yang tak diragukan jihadnya. Buktinya, Journal of Indonesian Islam, Al-Jami’ah, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, dan Qudus International Journal of Islamic Studies bercokol di papan Q1 Scopus.

Sebagai peserta, tentu ada harapan dan tantangan. Harapan memang bisa dijunjung setinggi langit. Tapi tantangan adalah keniscayaan. Memang sulit, tapi harus dilalui. Yang terasa bagi kami, JIBS adalah sebuah proses. Proses itu bernama perjuangan: “jihad” akademis. Syaratnya: kesediaan meluangkan waktu, ketelitian, dan keseriusan, meski tak mudah—adalah sebuah “mantra” untuk meningkatkan "kekuatan".

Kita harus sadar, jurnal adalah jendela sebuah perguruan tinggi. Ia adalah etalase kultur akademik. Ia merupakan akumulasi simbol dari kualitas akademik sebuah perguruan tinggi. Jurnal sebagai perantara kenaikan pangkat atau menjadi guru besar hanya tujuan personal. Tujuan yang lebih besar adalah diseminasi ilmu pengetahuan. Maka benar kata Prof Suyitno: “jangan hanya terjebak pada tujuan praktis, karena itu sementara. Yang harus melekat adalah tujuan akademis, karena ia akan memberi makna”.

Harus diingat pula, lanjutnya, bahwa jurnal dikelola oleh orang-orang yang memiliki “kegilaan”. Itu sebabnya, ada sebuah ungkapan: “jika hanya ingin nominal, jangan mengelola jurnal”. Ungkapan singkat yang lugas. Ia bukan sederet kata yang ilmiah. Tak panjang. Tapi harus terekam dalam ingatan.

Melalui JIBS, meski hanya bertatap maya, para pengelola harus mereproduksi semangat belajar dalam ukuran besar. Bukan hanya untuk naik kelas internasional, tapi juga untuk berproses yang berkelanjutan. Karena dari masing-masing jurnal, ada keadaan yang tak sama. Ada evaluasi dan perbaikan lebih di satu tahap.

Tapi memang JIBS mengajak kita bergegas. Dalam keadaan apapun "membantu" melahirkan karya, meski saat-saat yang tak pernah sempurna. Bergegas selalu mengandung sesuatu yang segera. Sebab itu kita harus terbuka.

Dalam sebuah catatan, forum ini memang bagian dari kelahiran (kembali) gelanggang diskusi di tengah pandemi. Di forum itu, yang berperan adalah percaturan pendapat, pengalaman dan passion. Tujuan yang hendak dicapai jelas: muncul jurnal-jurnal yang kian bersegera naik tangga, tanpa meninggalkan substansi akademis yang ada.

Seorang "original" terkadang yakin bahwa memasuki dunia “menulis” (dan naik kelas) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang niscaya”. Dan bahwa JIBS, sebagai forum akademis, sebenarnya sebuah forum tempat kita belajar dan “berkaca”.


Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ