Berbicara
Islam di Madura kerap diselimuti “misteri”. Informasi tersebar dalam beberapa
versi. Namun, jika merujuk catatan D. Zawawi Imron, Sang Celurit Emas itu,
diperkirakan Islam hadir di Madura tahun 1062. Hal ini dibuktikan dengan adanya
pondok pesantren di Pamekasan. Artinya, Islam telah diterima oleh masyarakat
Madura sekitar 450 tahun sebelum datangnya Walisongo ke Nusantara. Bahwa Islam
tersebar masif oleh Walisongo, itu lain soal, beda masa.
Namun
sayangnya, masyarakat Madura tidak mempunyai tradisi tulis yang baik. Rentetan
sejarah Islam jarang terekam dan terdokumentasi. Tidak seperti masyarakat Jawa
yang telah mapan dengan tulisan. Singkat kata, mencari jejak awal sejarah Islam
di Madura hampir-hampir sulit ditemukan.
Lalu,
mengapa Islam diterima dan begitu kuat di Madura? Padahal karakteristik
masyarakat Madura, kata Huub De Jonge, dikenal dengan stereotipe keras, garang,
agresif dan eksklusif terhadap paham yang berbeda. Saya kira pendapat De Jonge
masuk akal. Namun ada beberapa alasan lain yang juga rasional:
Pertama,
tradisi berdagang. Dengan adanya pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat yang
melakukan transaksi ekonomi di beberapa pelabuhan di daerah Sumenep,
memungkinkan dialog - yang juga melibatkan agama - terjadi. Sikap pedagang
Timur Tengah santun, jujur dan ramah. Hal inilah yang membuat pedagang Madura
sumringah. Teladan itu pula yang menarik simpati masyarakat untuk memeluk
Islam. Tradisi berdagang kian berkembang setelah Islam datang. Bahkan ada
sebuah kalimat anekdotis: “Dalam urusan berdagang, orang Madura selangkah lebih
maju daripada orang Cina”. Jangan heran! Karena di setiap toko orang Cina,
sering ditemui lapak orang Madura. Hiihihi..
Kedua,
kepatuhan terhadap prinsip Bhuppa’, Bhubbu’, Ghuruh, Ratoh. Prinsip tersebut
memungkinkan Islam tersebar secara masif. Dengan adanya Ghuruh dan Ratoh, Islam
diterima melalui jalur pendidikan dan politik. Di bidang pendidikan misalnya.
Seorang guru (baik guru kehidupan ataupun guru spiritual seperti kiai) akan
dipatuhi segala wejangan dan ajarannya. Sementara, di bidang politik, seorang
pemimpin (baik klebun hingga Raja) akan ditaati titahnya.
Ketiga,
pernikahan. Dengan syarat pernikahan dalam Islam wajib seagama, maka
konsekuensi logisnya setiap pasangan harus mameluk Islam. Hal ini tidak hanya
dilakukan oleh pedagang Timur Tengah. Tetapi juga dilakukan oleh Raja dan
Pangeran. Menurut catatan Raden Panji Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat,
ketua Yayasan Keraton Bangkalan, seorang Raja di Bangkalan Madura bisa memiliki
400 istri. Luar biasa bukan? Menurutnya, tujuan utamanya bukan syahwat,
melainkan untuk melanggengkan kekuasaan, juga menyebarkan agama Islam.
Di
balik beberapa stereotipe negatif, masyarakat Madura begitu memegang teguh
prinsip. Jadi, ketika Islam datang dengan damai, maka bak gayung bersambut,
Islam pun dianut. Islam selainkan dijadikan agama juga prinsip hidup. Itu
sebabnya masyarakat Madura dikenal religius.
Bahkan
untuk mengekspresikan religiusitasnya, hampir di setiap rumah dibangun langghar
(mushalla). Dalam hal busana, mayoritas lelaki Madura menggunakan songkok
(kopyah hitam), mulai dari kiai hingga blater (preman) sekalipun. Bagi
perempuan, kodung (kerudung) hampir selalu menjadi tudung. Di sisi lain, dalam
urusan tata krama, tengka (sikap) menjadi hal utama. Ini selaras dengan
paparegan (puisi singkat) Madura yang berbunyi:
Jhuko’ bhulus macem barna
Melle bhendheng sesse’ pote
Reng se bhagus tata kramanah
Mon epandeng macellep ateh
(Ikan bhulus bermacam warna
Beli bandeng bersisik putih
Orang yang bagus tata kramanya
Kalau dilihat mendinginkan hati)
Maka, kita harus bangga menjadi orang Madura. Dengan penuh rasa
cinta, D. Zawawi Imron melantunkan:
Seusap
debu hinggaplah
Setetes
embun hinggaplah
Sebasah
madu hinggaplah
Menanggung
biru langit moyangku Menanggung karat emas semesta
Menanggung
parau sekarat tujuh benua
Aku
lari mengejar ombak
Aku
terbang memeluk bulan
Dan
memetik bintang-gemintang
Di
ranting-ranting roh nenek moyangku
Di
ubun langit kuucapkan sumpah:
Madura,
akulah darahmu!
*Tulisan
ini juga dipublis di Facebook: Zaini
Tamim AR dan laman https://www.korek.id/2020/10/26/islam-di-madura/.
0 Comments