Di era informasi dan digital ini, kebiasaan membaca
memiliki peran penting dalam menjamin keberlangsungan belajar seumur hidup
secara mandiri. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai salah satu lingkungan
yang diyakini mampu menyiapkan generasi yang mandiri perlu membekali peserta
didiknya dengan keterampilan menyerap informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu, tingkat
kemampuan dalam menggunakan informasi tertulis sesuai dengan situasi yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari perlu menjadi perhatian. Kemampuan yang dikenal dengan istilah “literasi” ini
berkenaan dengan kemampuan memahami, menggunakan, dan melakukan refleksi
terhadap bacaan sesuai dengan tujuan membacanya, yaitu untuk menambah dan
mengembangkan pengetahuan dan potensi diri, serta untuk berperan di tengah masyarakat.
Dalam pandangan Irwin S. Kirsch, literasi mencakup tiga kemampuan dasar. Pertama,
kemampuan membaca teks (prose literacy), misalnya membaca perbedaan
pendapat dalam sebuah editorial, memahami pesan dalam sebuah cerita pendek,
menarik simpulan dari sebuah puisi, atau membaca instruksi dalam barang
elektronik. Kedua, kemampuan membaca dokumen (document literacy),
misalnya, kemampuan untuk mengisi formulir pendaftaran, formulir lamaran
pekerjaan, atau formulir penghasilan dan perpajakan, memahami tabel atau peta
perjalanan, membaca dokumen-dokumen penting dalam pekerjaan sehari-hari. Ketiga,
literasi kuantitatif (quantitative literacy), yakni kemampuan untuk melakukan
penghitungan dengan menggunakan simbol angka, misalnya menghitung uang
kembalian, membayar rekening listrik, menghitung pembayaran atau setoran uang
atau kartu kredit, menghitung bunga bank.[1]
Literasi dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu performative,
functional, informational, dan epistemic.[2]
Pada tingkat performative, seseorang mampu membaca dan menulis, dan
berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan; pada tingkat functional
diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
seperti membaca manual atau petunjuk; pada tingkat informational
diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasanya; sedangkan pada tingkat
epistemic diharapkan dapat mentransformasi pengetahuan.
Dimensi-dimensi
Literasi
Pengertian literasi yang di uraikan di atas berbeda dengan definisi umum
tentang literasi yang biasanya dibatasi hanya pada kemampuan membaca secara
harafiah dari teks tertulis. Konsep literasi membaca dibatasi oleh tiga
dimensi, yaitu format bahan bacaan, jenis tugas membaca atau aspek membaca, dan
situasi kapan bacaan itu digunakan. Dimensi pertama adalah format teks yang
dibagi ke dalam teks berkelanjutan (continuous texts) dan teks tidak
berkelanjutan (non-continuous texts). Teks berkelanjutan terdiri atas
teks yang padat kalimat dan diatur dalam paragraf serta dapat dalam bentuk
struktur yang lebih besar seperti bagian, bab, atau buku. Teks
tak-berkelanjutan adalah teks yang tidak dalam bentuk kalimat yang padat kata
melainkan dalam format non-teks yang biasanya memerlukan pendekatan atau cara
membaca yang berbeda.
Dimensi kedua adalah tugas membaca yang dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu:
1) Menemukan informasi, tepatnya mencari informasi di dalam suatu teks; 2) Menginterpretasikan
teks, yakni kemampuan untuk membangun makna dan menarik kesimpulan dari
informasi tertulis; 3) Refleksi dan mengevaluasi teks, untuk menghubungkan
informasi tertulis dengan pengetahuan, gagasan, dan pengalaman sebelumnya.
Menurut Thomas G. Sticht, dimensi ketiga adalah
situasi atau konteks yang merupakan kategorisasi teks berdasarkan pada tujuan
teks itu ditulis, hubungan teks itu dengan orang lain, dan konteks yang
sifatnya umum. Teks yang dipilih memaksimalkan keanekaragaman situasi, yaitu
situasi pribadi, pendidikan, pekerjaan, dan umum.[3]
Berdasarkan pendapat di atas, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh
kader pergerakan adalah menentukan tingkat literasi yang menjadi batas bawah
dan atas untuk jenjang kaderisasi. Pemetaan tingkat literasi ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, menyusun instrumen pemetaan
tingkat literasi untuk jejang-jenjang kaderisasi yang disesuaikan dengan
konteks organisasi dan realitas sosial. Kedua, mentransformasikan wacana
– yang dilakukan melalui diskusi atau seminar – ke dalam sebuah tulisan sebagai
instrumen untuk menentukan tingkat literasi.
(Meng)evaluasi
Sekolah; Gerakan dari Satuan Pendidikan
Tujuan evaluasi dalam pendidikan hendaknya diarahkan untuk menilai
pencapaian kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan dan pencapaian
tingkat literasi anak didik. Evaluasi berfungsi sebagai salah satu pertimbangan
untuk pemetaan mutu, akreditasi, dan pembinaan
satuan pendidikan (sekolah atau kampus), dan pemetaan tingkat literasi peserta
didik sebagai rujuk-mutu pencapaian global competency.
Untuk melakukan hal tersebut, perlu memperhatikan dua hal; pertama, kompetensi
sosial-budaya. Kompetensi sosial-budaya menguji kemampuan menggunakan bahasa
sesuai dengan konteks budaya. Kompetensi wacana meliputi ujian tentang
penggunaan piranti pembentuk wacana, yaitu unsur-unsur kebahasaan yang
digunakan untuk menyatukan atau menghubungkan berbagai gagasan agar tercipta
teks yang utuh, kohesif dan memiliki koherensi, misalnya, penggunaan kata
sambung, pengulangan kata, dan penggunaan kata ganti. Kompetensi ini menguji
kemampuan anak didik memproses wacana yang dibagi menjadi tiga kemampuan utama,
yaitu kemampuan mencari dan menemukan informasi, kemampuan mengembangkan makna
yang diperoleh dari informasi yang ditemukannya serta membuat inferensi dengan menggunakan
satu atau lebih informasi, dan kemampuan melakukan refleksi dan evaluasi
terhadap isi wacana dalam kaitannya dengan pengalaman sehari-hari, pengetahuan
yang telah didapat sebelumnya, dan pengembangan gagasan dari informasi yang
diperolehnya.[4]
Kedua, struktur teks. Struktur teks yang diujikan dibagi menjadi dua jenis, yaitu
struktur wacana berkelanjutan dan wacana tidak berkelanjutan. Wacana
berkelanjutan adalah jenis wacana yang terdiri atas rangkaian kalimat yang
diatur dalam paragraf dalam bentuk deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi
atau injungsi. Sementara wacana tidak berkelanjutan adalah wacana yang
dirancang dalam format matriks, grafik, gambar, peta, skema, tabel, dan aneka
bentuk penyampaian informasi lainnya, misalnya teks pengumuman, surat undangan,
peringatan, dan catatan.[5]
Dari kedua hal di atas, diharapkan akan mampu menguji kemampuan warga
pendidikan di sekolah atau kampus dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai
dengan perkembangan zamannya. Penerapan model ini diharapkan dapat meningkatkan
budaya membaca di lembaga pendidikan ataupun di lingkungan masyarakat. Selain
itu, cara ini diharapkan menjadi sumbu gerakan literasi dalam satuan pendidikan.
Membumikan Literasi; Menggerakkan Pendulum Pergerakan
Budaya literasi adalah kunci dari kemajuan
pendidikan di setiap negara. Kemampuan baca dan tulis adalah syarat utama untuk
membangun tradisi akademis. Untuk itu, PMII perlu melakukan upaya-upaya dan
menjadi mesin pengerak untuk meningkatkan kemampuan literasi yang merupakan
kunci dari ilmu pengetahuan. Untuk mengembangkan narasi gerakan melalui
literasi, PMII perlu menumbuhkan minat membaca, menulis dan meneliti.
Paling tidak ada tiga
strategi utama yang harus disegerakan, antara lain: Pertama, power
strategy. Dengan strategi ini, pengurus dapat “memaksa” seluruh warga
pergerakan dengan kebijakan-kebijakan terkait tradisi literasi. Power
strategy ini dapat didukung oleh berbagai faktor, antara lain : controlling
terhadap kebijakan, tersedianya berbagai alternatif untuk mencapai tujuan
literasi, dan pemberian apresiasi kepada distrik pergerakan atau kader yang
berhasil membudayakan literasi.
Kebijakan – yang oleh
Foucault disebut dengan istilah power of politic – adalah langkah
efektif untuk mengendalikan dan mengarahkan gerakan. Kekuasaan dapat difungsikan
sebagai instrumen untuk “memaksa” warga pergerakan dengan kebijakan-kebijakan. Veena Das dan
Michael Walton, memberi penegasan bahwa setiap kebijakan harus berorientasi
untuk kepentingan publik. Karena jika tidak, maka kebijakan tersebut mengarah
pada disfungsi politik itu sendiri.[6]
Oleh karena itu, untuk melaksanakan strategi ini, orientasi publik menjadi misi
penting untuk diutamakan.
Kedua, normative-educative strategy. Normative merupakan
kata sifat dari norm yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat
(norma sosial), sementara education dimaknai sebagai pendidikan untuk
menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang
baru. Sifat strategi perubahannya perlahan dan bertahap. Strategi ini dilakukan
dengan cara mendidik; bukan saja mengubah perilaku yang tampak, melainkan juga
mengubah kesadaran, keyakinan dan nilai sasaran perubahan. PMII dapat melakukan
strategi ini dengan pembinaan, pendampingan, pelatihan, dan lain sebagainya.
Ketiga, persuasive strategy. Strategi ini
dijalankan melalui pembentukan opini dan pandangan kader pergerakan, biasanya
menggunakan media dan propaganda. Strategi yang digunakan adalah membujuk,
yakni berusaha menimbulkan perubahan perilaku yang dikehendaki para sasaran perubahan
dengan mengidentifikasikan objek sosial pada kepercayaan atau nilai agen
perubahan. Bahasa merupakan media utamanya. Dalam hal ini, PMII dapat melakukan
seminar, workshop, bedah buku, pemanfaatan media sosial secara bijak dan lain
sebagainya.
[1] Irwin S. Kirsch, Adult Literacy in
America (Washington DC: National Center for Educational Statistics, 1993),
2-3.
[2] Komisi Nasional Pendidikan, Menuju Pendidikan yang Bermutu dan Merata (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2001), 50.
[3]Thomas G. Sticht, “Adult Literacy Education”, Review of Research in Education, Vol. 15 (1988 - 1989), 67.
[4] Komisi Nasional Pendidikan, Menuju Pendidikan yang Bermutu dan Merata (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), 51-52.
[5] Teks deskripsi dapat berupa deskripsi tentang orang,
tempat, atau objek; teks narasi dapat dalam bentuk teks cerita sastra, laporan,
dan artikel; teks eksposisi bisa dalam bentuk esai, definisi, eksplikasi, dan
simpulan; teks argumentasi/persuasi dapat berupa teks tentang pendapat seseorang atau
argumentasi ilmiah; serta teks tentang injungsi dapat berupa teks tentang
instruksi, aturan, regulasi, dan status seseorang atau sesuatu.
[6] Veena Das and
Michael Walton, “Political Leadership and the Urban Poor Local Histories”, Current
Anthropology, Vol. 56, No. S11 (October
2015).
0 Comments