Sebuah pertanyaan yang memiliki beragam jawaban, misalnya: membaca buku, kerja kelompok, konsultasi kepda senior, atau yang lebih popular di era digital ini: sowan “Mbah Google”. Jawaban terakhir memang praktis dan menjanjikan. Bagaimana tidak. Semua ada, semua tersedia. Termasuk makalah yang diinginkan. Padahal, tidak mesti yang tersaji dapat dipercaya. Karena siapapun (dengan beragam latar belakang, tujuan, atau strata akademis) dapat menuangkan informasi di sana.
Rujukan
Belakangan, rujukan yang lebih valid dan ilmiah seperti buku dan jurnal
Ilmiah mulai tersisih. Memang dua rujukan (buku dan jurnal ilmiah) adalah seolah "sulit" ditemukan. Dua rujukan yang identik dengan “zaman old”. Tapi bagi saya,
keduanya sangat berharga, utamanya sebagai sumber autentik di dunia akademik.
Kita tak harus kembali ke “zaman old”; era di mana beberapa hal
masih manual. Kita berada di “zaman now”. Semua serba cepat, termasuk informasi
dan referensi. Namun, kita harus mengambil jalan tengah; menghadirkan tradisi
di era modernisasi.
Lalu, bagaimana teknisnya? Bagaimana mengakses referensi dan informasi autentik seperti buku dan jurnal ilmiah dengan mesin pencari? Sekedar berbagi, kita dapat mengakses google (atau mesin pencari lain) dengan menyisipkan beberapa kata kunci seperti: jurnal atau book pdf. Misalnya: “nasionalisme jurnal” atau “nationalism book pdf”. Dengan kata kunci tersebut, kita akan mendapatkan materi atau sumber dari jurnal ilmiah atau buku yang terunggah.
Format
Setelah rujukan didapat, kita melangkah ke format. Secara umum, makalah
terdiri dari Cover, Kata Pengantar, Daftar Isi, Bab I Pendahuluan, Bab II
Pembahasan, Bab III Penutup, dan Daftar Pustaka. Ini langgam utama. Namun demikian,
setiap institusi memiliki format berbeda. Ini lumrah.
Baik. Kita rinci satu persatu: Pertama, cover. Cover terdiri
atas: Judul, Keterangan Mata Kuliah, Logo Lembaga, Nama Penulis, Nama Dosen Pengampu,
Identitas Lembaga (Program Studi, Fakultas, Nama Institusi).
Kedua, kata pengantar. Kata pengantar merupakan tulisan singkat yang berada pada awal suatu karya
tulis sebelum masuk ke pembahasan inti. Di dalamnya berisi rasa syukur,
ucapan terima kasih, judul makalah dan kesediaan penulis menerima saran dan
kritik.
Ketiga, Bab I Pendahuluan. Bab paling awal ini berisi : masalah, pendapat
terkait masalah, fokus dan maksud/tujuan
penulisan makalah. Sederhananya pendahuluan membentuk format piramida terbalik;
dari umum ke khusus.
Keempat, Bab II Pembahasan. Ini adalah inti dari makalah. Pada bagian ini
harus diuraikan kajian teori, dialog data pustaka atau lapangan (jika ada) dan
analisis penulis. Analisis kerap menyulitkan penulis. Namun, jika penulis
membaca, mengetahui, memahami dan membandingkan hasil baca, saya kira akan
mudah.
Kelima, Bab III Penutup. Bab ini gampang-gampang susah. Terkadang,
banyak penulis pemula menyusunnya dengan rumus: “ambil sedikit” dan “tempel”. Artinya, mengambil beberapa bagian pada bab sebelumnya, lalu diletakkan pada bagian
kesimpulan. Padahal, kesimpulan merupakan konklusi dan rekomendasi. Ibarat buah
kelapa, kesimpulan adalah santannya. Santan harus melalui proses: mengupas
kulit, membuang “bathok”, mengambil daging, memarut dan memeras, lalu jadi sari
pati.
Untuk memetakan isi makalah, penulis harus paham istilah “numbering”. Sederhananya, numbering adalah tanda berupa huruf atau angka yang disematkan pada daftar tulisan, baik satu paragraf atau keseluruhan draf. Secara umum, numbering dapat diuraikan sebagai berikut: Bab I, II, III, dst., Sub Bab : A, B, C, dst., kemudian : 1, 2, 3, dst., selanjutnya : a, b, c, dst., berikutnya : 1), 2), 3), dst., kemudian : a), b), c), dst. Perlu diingat, perbedaan institusi juga memungkinkan perbedaan format kisi-kisi.
Sitasi
Tak kalah penting. Dalam penyusunan makalah, kita perlu
memperhatikan sitasi. Ini akan menentukan kadar ilmiah karya kita. Sitasi bagian
dari objektifitas penulisan. Bagi sebagian institusi, catatan kaki (footnote) menjadi
penyebutan referensi.
Catatan kaki berfungsi untuk menunjukkan sumber informasi bagi
pernyataan ilmiah yang terdapat yang terdapat dalam tulisan. Selain itu, caatatan
kaki adalah pendukung keabsahan penemuan atau pernyataan penulis yang tercantum
dalam teks atau sebagai petunjuk sumber. Di sisi lain, ia berfungsi sebagai referensi
silang, yaitu petunjuk yang menyatakan pada bagian mana / halaman berapa, hal
yang sama dibahas di tulisan. Lebih jelas, berikut contohnya:
´ Ahmed Soekarno, Indonesia Merdeka (Surabaya:
Bina Ilmu, 1945), 17. (Buku)
´ Siti Raisa Andriana, Musik dan Keindahan (Jakarta: Raisa Press, 2017), 9. (Buku)
´ Mamah Dedeh, “Ayat-ayat Cinta” Jurnal
Cinta Suci, Vol. 35, No. 2 (Juli 2011), 201. (Jurnal)
´ Boy, “Anak Layangan dan Anak Sangit” dalam http://www.arekjamannow.com./post/read/69419. Diakses pada 30 Februari 2021 (Web).
Selain disematkan di bagian bawah teks, catatan kaki harus
dikonversi menjadi daftar pustaka. Daftar pustaka memuat beragam sumber informasi (buku, jurnal, internet, majalah, surat
kabar, makalah sebelumnya, skripsi, tesis, disertasi) yang digunakan dalam membuat makalah. Ia ditulis secara berurutan
dan alfabetis. Berikut contohnya:
´ Soekarno, Ahmed. Indonesia Merdeka.
Surabaya: Bina Ilmu, 1945. (Buku)
´ Andriana, Siti Raisa. Musik dan Keindahan. Jakarta: Raisa Press, 2017. (Buku)
´ Dedeh, Mamah. “Ayat-ayat Cinta”. Jurnal
Cinta Suci ,Vol. 35, No. 2 (Juli 2011). (Jurnal)
´ Boy. “Anak Layangan dan Anak Sangit” dalam http://www.arekjamannow.com./post/read/69419. Diakses pada 30 Februari 2021 (Web).
Problem Menulis
Dengan segala macam petunjuk, buku pedoman, hingga tutorial,
menulis tidak selalu mulus, tidak selalu mudah. Tentu ada beberapa masalah,
seperti: Pertama, Faktor “M”. Istilah ini masyhur. Faktor “M” (malas) sering
menimpa penulis. Selain pengaruh dari dalam (individu), juga bisa dari luar
(teman atau lingkungan). Di era digital, terkadang gawai menjadi faktor yang
sulit dielak.
Kedua, Minim Ide. Hal ini terjadi karena penulis minim baca. Ini persoalan
krusial. Data Progress in International Reading Literacy Studi (PIRLS) tahun
2017 menemukan bahwa tingkat membaca anak -anak Indonesia berada di urutan ke 4
terbawah dari 45 negara. Miris sekali.
Ketiga, Kurang Persiapan. Hal ini terjadi karena manajemen waktu yang
kurang baik. Keempat, Mental. Kebanyakan mahasiswa baru “kaget” saat
pertama masuk jenjang pendidikan tinggi. Ada banyak keluhan: banyak tugas,
tugas sulit, tidak ada buku dan sebagainya. Padahal tugas kuliah adalah bagian
penting dari proses pendewasaan dan pembiasaan menulis. Itu sebabnya, tugas itu
harus diakrabi, dijadikan teman.
Kelima, Tidak Ada Target. Dalam KBBI, target adalah sasaran (batas ketentuan dan sebagainya)
yang telah ditetapkan untuk dicapai. Definisi penting untuk dipahami. Sehingga
kita dapat menentukan batas dan prioritas. Makalah harus ditentukan batas waktu
penyusunannya. Juga, harus ada prioritas, baik berdasarkan waktu presentasi
atau tingkat kesulitan. Harus presisi.
Keenam, Pengulangan. Pengulangan terjadi ketika kita minim inspirasi dan
referensi. Praktiknya, seorang penulis mengulangi ide atau isi (kalimat atau paragraph).
Maka membaca dapat menjadi solusi.
Ketujuh, Similarity. Istilah yang mengemuka di era digital. Similarity merupakan tingkat kemiripan pada tulisan yang bersumber dari data yang diunggah di internet. Tingkat similarity index dapat dicek (salah satunya) melalui aplikasi turnitin. Semakin tinggi tingkat kesamaannya, semakin tinggi pula kemungkinan suatu tulisan dikatakan “menjiplak” atau plagiat. Namun demikian, “ada penyakit, pasti ada obat”. Maka dalam hal ini, parafrase dapat menjadi “obat” yang efikasinya paling tinggi.
Parafrase dan Otentisitas
Tulisan
Menurut Jakobson (1959), parafrase adalah model intralingual translation / rewording yang digunakan untuk menyampaikan pesan makna dengan frasa (gabungan kata) redaksional
berbeda-beda.
Ia adalah cara mengekspresikan apa yang telah ditulis
dan dikatakan oleh orang lain dengan menggunakan kata-kata yang berbeda agar
membuatnya lebih mudah untuk dimengerti.
Yang perlu menjadi perhatian adalah pengutipan yang dilakukan dalam parafrase merupakan kutipan yang menggunakan kata-kata sendiri untuk mengungkapkan ide yang sama. Selain
membuat gagasan tersebut lebih mudah untuk dimengerti, parafrase dapat juga
digunakan untuk menjaga koherensi dan otentisitas alur tulisan.
Sebagai bagian penting dari penulisan makalah, berikut saya
uraikan beberapa teknik parafrase:
´ Aktif-Pasif,
menjadikan kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Contohnya: “Kiai pesantren memiliki ciri kepemimpinan yang berkarakter”, menjadi “Kepemimpinan berkarakter dimiliki oleh kiai pesantren”.
´ Pasif-Aktif,
menjadikan kalimat pasif menjadi kelimat aktif. Contohnya: “Tradisi tasawuf
dan hidup zuhud diajarkan melalui sejumlah kitab kuning yang lazim digunakan di
banyak pesantren salaf”, menjadi “Pesantren salaf mengajarkan tradisi tasawuf dan hidup zuhud melalui sejumlah kitab kuning”.
´ Deduktif-induktif,
menjadikan parafraf deduktif menjadi induktif. Contohnya: “Belajar di waktu tua ibarat melukis di atas air. Sebab, belajar di masa tua
memerlukan usaha yang lebih karena daya tangkap yang dimiliki saat tua sudah
berkurang. Selain itu, motivasi yang dimiliki sudah melemah karena terlalu
banyak pikiran.” menjadi “Belajar di masa tua memerlukan usaha yang lebih
karena daya tangkap yang dimiliki saat tua sudah berkurang. Selain itu motivasi
yang dimiliki sudah melemah karena terlalu banyak pikiran. Alasan itulah yang
menggambarkan bahwa belajar di waktu tua seperti melukis di atas air.”
´ Induktif –
Deduktif, menjadikan paragraf induktif
menjadi deduktif. Contohnya: “Ketika ujian telah
selesai, nilai anak-anak diperiksa. Ternyata terdapat berbagai nilai siswa,
sebanyak 19 siswa nilainya melampaui standar kelulusan. 10 siswa memperoleh
nilai tepat pada standar kelulusan, dan tidak ada seorang siswa pun yang
memperoleh nilai dibawah standar. Sehingga bisa dikatakan kegiatan belajar di
kelas ini berhasil.” menjadi “Kegiatan belajar di kelas A dapat dikatakan berhasil. Karena, ketika ujian
telah selesai, terdapat berbagai nilai siswa: sebanyak 19 siswa nilainya
melampaui standar kelulusan dan 10 siswa memperoleh nilai tepat pada standar
kelulusan. Tidak ada seorang siswa pun yang memperoleh nilai dibawah standar.”
´ Banyak-Sedikit,
menjadikan kalimat atau parafgraf dengan konten yang banyak menjadi lebih
singkat. Contohnya: “Berbagai inovasi pesantren merupakan bukti bahwa pesantren
bukanlah institusi yang tertutup atau kedap terhadap perubahan. Para kiai
terbukti memiliki wawasan yang terbuka atas berbagai perubahan yang terhadi di
lingkungannya. Banyak pesantren melakukan inovasi, adaptasi dan modifikasi atas
proses dan metode pembelajaran karena para kiainya memiliki watak yang terbuka.
Jika dulu kita hanya mendapati satu jenis pesantren saja, yakni pesantren
salaf, maka tidak demikian halnya dengan sekarang. Ada banyak jenis pesantren
dengan penekanan pembelajaran yang berbeda-beda, tetapi tidak meninggalkan
porsi pembelajaran keagamaan yang terbanyak. Ada pesantren yang menekuni bidang
Teknik atau teknologi, pertanian, usaha (entrepreneurship), dan
lain-lain.” menjadi “Dunia pesantren
memiliki watak yang terbuka terhadap segala bentuk perubahan zaman.
Ini semua membuktikan bahwa dunia pesantren memiliki watak yang terbuka
terhadap segala bentuk perubahan.”
´ Sedikit-Banyak,
menjadikan kalimat atau paragraf dengan konten sedikit menjadi lebih luas dan
banyak. Contohnya: “Memahami pesantren
pada saat ini tidak bisa terlepas dari konteks sejarah di mana dunia pesantren
memaknai eksistensinya di tengah perubahan-perubahan zaman.” Menjadi “Dalam sketsa historisnya, pada zaman ketika penjajahan dipersepsi sebagai
musuh, apapun yang berbau modern hampir pasti dilarang di dunia pesantren.
Perlawanan pesantren paling monumental adalah ketika para kiai merumuskan
sebuah kaidah yang berbunyi: “barang siapa menyerupai sebuah kaum, berarti dia
menjadi bagian dari kaum tersebut”. Misalnya, berpakaian ala penjajah Belanda
yang kafir berarti dia menjadi bagian dari kafir Belanda. Oleh karenanya,
berpakaian ala penjajah diharamkan oleh para kiai pesantren. Selanjutnya, dunia pesantren di era paska-kolonial menampilkan wajahnya yang
jauh berbeda. Jika pada masa kolonial pesantren memposisikan dirinya sebagai
antitesis dan antinomi modernitas, maka pada abad ke-21 dunia pesantren menjadi
bagian dari modenritas itu sendiri. Pesantren terlibat secara intim dan mengakrabi
modernitas”.
´ Mencari Padanan
Kata. Teknik ini yang tersulit namun paling efektif. Menggunakan Teknik ini
berarti intensitas dan kualitas baca kita menentukan. Contoh: “Bagi sejumlah
kalangan, pesantren barangkali diasosiasikan sebagai sesuatu yang bernilai
tidak modern, kuno, kolot, bahkan anti-modernitas.” menjadi “Beberapa
kalangan menilai pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak modern, klasik,
terbelakang, bahkan menolak modernitas.”
Pada intinya parafrase berarti: baca-pahami-tulis.
Perlu saya tegaskan, tulisan ini hanyalah teori, hanya pengetahuan.
Teori harus dipraktekkan, disesuaikan dengan realitas. Pengetahuan hanyalah kognisi tanpa adanya aksi. Maka sebagai penutup tulisan ini, saya ingin
berpesan:
“Menulis itu
seperti berenang. Hanya ada 2 pilihan; menuju TEPIAN atau TENGGELAM”.
“Menulis ibarat bersepeda. Kita tak akan pernah SEIMBANG jika kita tak pernah TUMBANG”.
Demikian. Semoga bermanfaat.
2 Comments
Jika untuk makalah , brp persen sekiranya parafrase dibutuhkan ? Terkait dengan harus ada pernyataan dari berbagai sumber
ReplyDeleteJika tidak menggunakan kutipan langsung, maka setiap kalimat/paragraf harus diparafrase..
Delete