Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

MBAH MOEN

Saya tak menyangka dapat sowan dan sungkem ke Kiai Haji Maimoen Zubair Sarang. Saya mengira bertemu dengan Kiai alim yang diakui di Indonesia, bahkan dunia seperti Beliau akan sulit. Terlebih, saya belum mengenal betul tradisi pesantren.
Takut, sungkan dan gugup. Ya, semua rasa itu bercampur. Hingga saya memberanikan diri untuk berangkat ke Rembang. Dan alhamdulillah, saya bisa sowan dan sungkem kepada Mbah Moen. Dua kali pula.
Pertama, di pertengahan tahun 2013. Saya berangkat bersama Abu Djibriel HaliEmRosif Daniele dan Dr. Qustena Ismail. Sebagaimana lumrah, manusia butuh Nabi sebagai wasilah. Saya menghubungi Ustadz Husnan, salah seorang santri Mbah Moen yang diutus ke Bangkalan pada masa tugasnya.
Mulanya, Ustadz Husnan menolak mengantarkan. Beliau takut menghadap Kiainya. Kami "paksa" Beliau hingga akhirnya berkenan setelah lama tidak sowan. "Tapi nanti sebetar saja ya, cung. Saya takut", ujarnya sembari menahan air mata. Beliau takut bukan karena Mbah Moen akan “duko”. Bukan. Ini adalah perasaan seorang santri: rasa takzim yang mendalam.
Setibanya di pondok pesantren Al Anwar, kami masuk, menunduk kemudian duduk. Kami dipanggil dan ditanya oleh Mbah Moen: "Kowe teko ndi?" Tidak ada yang berani menjawab, kecuali Ustadz Husnan: "Kulo Husnan Mbah. Santri Panjenengan." Beliau pelan menyampaikan.
Singkat cerita, Mbah Moen berdialog dengan Ustadz Husnan, mulai masalah pondok, Bangkalan, hingga masalah pribadi. 
"Iki rombongan teko ndi?", Mbah Moen bertanya. "Kami dari IAIN Surabaya, Yai", kami menjawab pelan. Lalu Mbah Moen berpesan: "Nek sekolah kuwi sing temen. Ojo mikir engko dadi opo." Pesan sederhana ini mengandung ribuan makna.
Ketika kami hendak pamit, kami berjejer rapi. Duduk, menunduk. Kami sungkem, dimulai dari Ustadz Husnan hingga terakhir saya. Saya gugup. Tapi di hadapan saya ada lautan ilmu. Dalam hati saya berdoa: "Ya Allah percikkan ilmu Beliau kepada Hamba". Barangkali ini hiperbola. Tapi itu pinta saya kepada Tuhan.
Di saku, saya sediakan uang. Bukan apa-apa. Ini penghormatan, meski tak seberapa. Beliau tersenyum dan dawuh: "Ndak usah, cung. Ndak perlu", Beliau menolak halus. Tapi saya tetap menyalami Beliau. Hingga Mbah Moen kembali dawuh: "Yo wes, yo wes. Ini saya terima, tapi saya sedekahkan ke kamu. Terima ya!"
Hati saya tergetar. Saya diam. Saya ambil kembali uang itu. Sampai saat ini masih ada, masih tersimpan di dompet saya. Ini barokah. Meminjam kalimat KHR. As'ad Syamsul Arifin (saat diberikan uang oleh Syaikhona Kholil Bangkalan menjelang dimandati menyampaikan tongkat dan tasbih kepada Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari): "tak abudu', keng abuwe. Bennya' buwenah" (tidak beranak, tapi berbuah. Banyak buahnya).
Kedua kalinya, saya sowan Mbah Moen pada awal tahun 2017. Kala itu saya berniat mohon doa barokah Beliau untuk istri saya, Ninda Purnamasariyang sedang hamil 7 bulan.
Kali ini saya bersama Abu Djibriel HaliEmQustena IsmailMohammad Fahrudi NoerMuhamad Fatih RusydiAhmad Hayyan Najikh dan beberapa santri Pesantren Luhur Al Husna Surabaya, yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M. Si.
Sebelumnya, saya menghubungi Ustadz Husnan untuk kembali mengantarkan. Tapi sayang, Beliau menolak. Beliau takut, sungkan. Kami berangkat dengan “bondo” nekad. Tanpa "wasilah".
Kami tiba di gerbang pondok pesantren Al Anwar. Kami bingung menentukan siapa yang akan menjadi ketua rombongan. Tak ada yang berani. Apalagi saya. Kami berembuk lama, hingga setelah shalat ashar ada keputusan bahwa saya yang “dipaksa” untuk maju. Allah Karim.
Saat di depan pintu, kami ditanya abdi ndalem: siapa, dari mana, keperluannya apa dan seterusnya. Saya hanya bisa menunduk, diam. Saya hanya bisa menjawab: "dari Bangkalan".
Alhamdulillah, kami mendengar Mbah Moen dawuh dari dalam: "Sopo, cung?". "Rombongan sangking Bangkalan, Yai", jawab abdi ndalem dengan sopan. "Konkon mlebu!", perintah Mbah Moen. Dengan perasaan dag dig dug, kami masuk. Saya di depan, menunduk dan duduk.
Banyak tamu. Kami kloter ke 3. Setelah para tamu (selain kami) sungkem. Kami disuruh duduk di atas. Seraya kami memohon maaf, agar kami tetap di bawah. Tapi Mbah Moen mempersilahkan di kursi.
Mbah Moen menyampaikan banyak pesan. Pendidikan tinggi, pesantren, sejarah peradaban Islam, dan sebagainya. Saya "mbatin": ini setara kuliah 8 semester. Begitu dalam ilmu Beliau.
Sampai tiba saat kami ingin berpamitan. Kembali saya di depan. Sebelum sungkem, saya menyerahkan sebotol air, memohon doa Beliau untuk istri dan anak saya yang dikandungnya. Lalu Beliau dawuh: "Yo didungakno dewe to", Beliau sambil tersenyum. Kemudian Mbah Moen mengambil sebotol air itu. Didoakan dan diludahi oleh Beliau. Saya merinding saat itu dan bahkan hingga saat saya menulis “coretan” ini. Ini barokah. Ini barokah.
Terakhir, Beliau berpesan: Fatihah, cung. Fatihah, cung!". Saya jawab dengan mata berkaca-kaca: "Nggih Mbah". Saya masih dan selalu ingat pesan itu. Sampai kapanpun.
Saya bersyukur pernah bertemu, sowan dan sungkem kepada Mbah Moen. Seorang Kiai lintas zaman, guru bangsa, dan paku bumi Nusantara. Meski telah kembali menghadap Sang Maha Tak Terhingga, saya yakin beliau tetap "hidup" dalam jiwa bangsa ini.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ