“Ganti menteri ganti kebijakan"; menjadi kalimat yang
sering disematkan pada Kementerian Pendidikan. Tetapi memang saat kebijakan itu
memiliki potensi bias yang cukup besar, Kemendikbud (yang sekarang menjadi
Kemendikbud Ristek) perlu melakukan telaah ulang.
“Merdeka belajar” adalah kata-kata magis yang menggambarkan
kebijakan terkini pendidikan nasional. Jargon itu disampaikan oleh Mendikbud, Nadiem Makarim pada acara rapat koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi
dan Kabupaten/Kota di Jakarta 11 Desember 2019 silam.
Ada empat program pembelajaran nasional yang digadang-gadang:
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih simpel, zona penerimaan pèsera
didik baru (PPDB) dibuat lebih fleksibel, ujian sekolah berbasis nasional
(USBN) diganti dengan ujian asesmen, serta ujian nasional (UN) dihentikan, dan
diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Kebijakan “merdeka belajar” di atas seolah menjadi bejana dari
sekian kritik dan saran. Dalam konteks UN, diharapkan sekolah bisa lebih merdeka
dalam melakukan penilaian. Mendikbud juga menginginkan untuk menghilangkan
beban orang tua, guru, dan siswa, karena UN dalam praktiknya menentukan
kelulusan. UN membuat mereka tidak “merdeka” dalam menentukan keberhasilan.
Sebagai bagian dari evaluasi pendidikan, asesmen kompetensi
minimum tidak dilakukan berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi
kurikulum seperti yang selama ini diterapkan dalam UN. Ia merupakan peta dua
kompetensi minimum siswa; literasi dan numerasi. Sementara, survei karakter dilakukan
untuk mengetahui data secara nasional mengenai penerapan asas-asas Pancasila.
Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter dilakukan ketika
siswa berada di tengah jenjang (misalnya kelas IV, VIII, XI), sehingga dapat
mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Di sisi lain,
program ini tidak digunakan sebagai alat seleksi siswa, sehingga tidak
menimbulkan stres pada anak dan orang tua akibat ujian yang sifatnya formatif.
Untuk menunjang proses dan hasilnya, Kemendikbud bekerja sama
dengan organisasi pendidikan baik di dalam negeri maupun di luar negeri seperti
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Langkah tersebut
diambil agar asesmen memiliki kualitas yang baik dan setara dengan kualitas
internasional dengan tetap mengutamakan kearifan lokal.
Melalui asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, maka ada
keadilan dalam pendidikan. Karena, standar pendidikan yang dimiliki untuk
masing-masing satuan atau daerah berbeda. Tolak ukur kelulusan siswa tidak lagi
hanya mencakup ranah kognitif. Ranah afektif dan psikomotor akan menjadi
penilaian yang komprehensif. Dengan demikian, evaluasi dapat dilaksanakan
dengan objektif. Tak kalah penting, perkembangan karakter peserta didik dapat
dimonitoring.
Bagi saya, penerapan asesmen kompetensi minimum dan survei
karakter merupakan hasil "evaluasi" terhadap UN yang menyejarah itu.
Evaluasi tidak untuk menyalahkan, melainkan memberikan solusi alternatif yang
dapat menghimpun saran. Ini merupakan salah satu tawaran yang kontektekstual.
Namun demikian, sebagai bagian dari kebijakan “Merdeka Belajar”,
asesmen kompetensi minimum dan survei karakter harus dilengkapi dengan
instrumentasi yang baik. Bentuknya, mulai dari petunjuk teknis pelaksanaan
hingga prosedur pelaksanaan standar. Pada saat yang sama, komponen dasar yang
wajib dipenuhi oleh penyelenggara pembelajaran harus ditentukan, agar konsep
“Merdeka Belajar” tidak menjadi praktik merdeka dari aturan.
Selamat #HariPendidikanNasional!
Semoga kita bisa menjadi peserta didik / pendidik yang tidak
berhenti belajar.
0 Comments