Tentang perempuan dewasa ini masih menarik. Terlebih, ketika
kesadaran akan ketidakadilan di antara kedua jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) – yang sering disebut ketidakadilan gender - ini semakin mengemuka
di masyarakat kita. Perempuan yang kini lebih mayoritas dibanding laki-laki,
belum bisa mengisi ruang publik. Kalaupun iya, posisinya selalu berada di bawah
laki-laki.
Kenyataan
seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia,
tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Berbagai upaya ditempuh untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan
agar setara dengan laki-laki. Di sisi lain, orientasi lebih luas tentang gender
- yang selama ini hanya mencakup tentang sex – menjadi misi yang diperjuangkan.
Gender
merupakan konsep yang mengkaji tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan
sebagai hasil dari pembentukan kepribadian yang berasal dari masyarakat. Gender
dalam arti ini adalah suatu konstruksi, bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sementara, idea kesetaraan gender – yang selalu mengemuka - adalah konsep
analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi, atribut,
peringkat, karakteristik, serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ini
ditujukan untuk menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan dalam Sudut Pandang
Sebenarnya untuk memahami gender, perlu dibedakan antara gender
dan seks. Seks adalah jenis kelamin; sebuah perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari sisi biologis. Keduanya tidak dapat dipertukarkan.
Artinya, jenis kelamin itu melekat secara kodrati dan memiliki fungsi
tersendiri. Misalnya, manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia
yang memiliki kelamin, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma.
Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi serta rahim, memiliki kelamin dan
memiliki alat menyusui. Secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan
biologis.
Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan karena dikonstruk secara sosial, pengaruh kultural, agama dan
politik. Sifat ini tidak kodrati yang melekat pada jenis kelamin tertentu, ia
bisa berubah sewaktu-waktu. Misalnya, anggapan laki-laki rasional dan perempuan
emosional, laki-laki kuat dan perempuan lemah, laki-laki perkasa dan perempuan
lemah lembut. Sifat-sifat itu bisa berubah dan tidak melekat secara permanen.
Pada momen tertentu, tidak sedikit laki-laki lemah lembut, emosional, sedangkan
ada perempuan perkasa dan rasional.
Dalam
menjernihkan perbedaan ini, yang menjadi masalah adalah, terjadi kerancuan
makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan
pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat. Apa yang sesungguhnya
gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial, justru dianggap sebagai kodrat
atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang kini sering dianggap
"kodrat perempuan" adalah konstruksi sosial dan kultural.
Sering
diungkapkan bahwa mendidik anak, merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga
sering dianggap sebagai "kodrat perempuan". Padahal kenyataannya,
peran itu adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena
itu, peran itu bisa dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu
tidak bersifat universal, apa yang sering disebut "kodrat perempuan",
sesungguhnya adalah gender.
Dari Sandaran Hati hingga Pasung Tradisi
Sifat perempuan telah terkonstruk; tersosialisasi cukup lama. Ia
akan membentuk watak dan perilaku sesuai dengan konstruksi sosial masyarakat.
Maka hal ini akan menimbulkan peran-peran domestik; sebagai ibu rumah tangga
yang hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur, dan laki-laki diberi kebebasan
untuk masuk di wilayah publik. Dari sinilah muncul ketimpangan yang diakibatkan
pembagian peran yang tidak adil.
Sejarah
perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi
melalui proses panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh
banyak hal. Ia dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
secara sosial dan kultural melalui ajaran agama maupun negara. Melalui proses
itu, ia akhirnya mengkristal, menjadi dogma yang dianggap ketentuan Tuhan.
Perbedaan
gender (gender differences) ternyata memunculkan perbedaan peran gender (gender
roles) yang akhirnya melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).
Identifikasi bahwa laki-laki itu kuat dan rasional telah menimbulkan kesan
bahwa dia lebih layak untuk memimpin. Sebaliknya, pandangan bahwa perempuan itu
lemah lembut, telah memunculkan anggapan bahwa perempuan hanya bisa untuk
tinggal di rumah.
Sebaliknya,
melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara
evolusional, perlahan-lahan mempengaruhi sifat biologis masing-masing. Misal,
karena konstruksi sosial gender, laki-laki terlatih dan tersosialisasi serta
termotivasi untuk menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat.
Sebaliknya, perempuan harus lemah lembut. Sejak lahir, proses sosialisasi
tersebut tidak saja berpengaruh pada perkembangan emosi dan visi perempuan,
tetapi juga mempengaruhi perkembangan biologis.
Dalam
perspektif budaya, setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya; laki-laki
atau perempuan. Sejak lahir setiap orang sudah ditentukan peran dan atribut
gendernya masing-masing. Jika seorang lahir sebagai laki-laki, maka diharapkan
dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya, jika seseorang
lahir sebagi perempuan, maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai
perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun kenyataannya,
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi
perempuan.
Perempuan dan Dogma; Noktah dalam Sejarah
Agama merupakan pandangan hidup yang paling fundamental bagi
manusia. Ia memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur sosial masyarakat.
Bahkan oleh pemeluknya, ajaran agama ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Termasuk salah satunya adalah struktur sosial yang
melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Dalam
membahas pengaruh agama terhadap anggota masyarakat yang mendukungnya, perlu
dibedakan – paling tidak secara analitis – antara dalil-dalil atau nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dengan interpretasi dan penerapannya. Dalil-dalil
yang terkodifikasi dalam kitab suci bisa memberi peluang bagi hasil
interpretasi yang berbeda-beda.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa peran agama juga turut serta melanggengkan
hegemoni ini, dengan pola teks-teks tafsir yang didukung oleh kekuatan
legitimasi theologis sebagai representasi ajaran Tuhan. Sehingga dapat
dipastikan bahwa teks-teks tafsir yang muncul dari tradisi dan budaya
masyarakat yang patriarkhi, kemudian menjadi dogma yang dianut dan dipelihara
oleh masyarakat secara turun menurun. Pada saatnya, sepanjang perjalanan
sejarah kemanusiaan, perempuan hanya menjadi obyek yang tereksploitasi.
Menurut
sebagian besar tradisi agama, perempuan diberi peran sekunder dan subordinat.
Namun dalam tiga dasawarsa terakhir, sebagian besar tradisi agama menarik
sarjana feminis yang berpendapat bahwa bukan teks agama yang menjadi sebab
masalah, melainkan penafsirannya. Kaum feminis meneliti kembali ayat suci
mereka, dan tiba pada kesimpulan bahwa agama menawarkan kemungkinan pembebasan
dan perbaikan dalam posisi perempuan. Namun asa itu semu; hanya halusinasi.
Tradisi dan sejarah telah menumbangkan potensi ini.
0 Comments