Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

3 ADEGAN, 3 SKENARIO

Bermula dari “kitab” kuno yang dipinjamkan oleh seorang guru di Astinapura, Kanjeng Atmari Enje. Kitab itu berjudul "Telikungan Kapitalisme Global", yang ditulis oleh Romo Hasyim Wahid, seorang Begawan yang enggan “nampang". Ia lebih nyaman berada dalam diam; sebuah kediaman yang berapi-api dalam fikir, kediaman yang tak tunduk kepada kuasa yang beku. Coretan ini juga terilhami dari pitutur seorang panglima perang di Kurushetra, Panglima Zainal Alim Al Badaqi, yang mengajarkan saya keberanian kepada tiran. Ia pula yang memberi kognisi tentang bagaimana rumitnya teori konspirasi.
Dari 2 orang yang saya hormati, saya melakukan 2 diskusi, saya belajar tentang sebuah bangsa yang dinamik, romantik, dan dialektik. Dan dari diskusi itu, saya tersadar akan beberapa hal tentang Indonesia. Indonesia yang tak pernah lepas dari konstelasi dunia. Indonesia yang sering dijejali dengan wacana dari “luar” yang liar – yang kadang membuat negeri ini masuk ke dalam lingkaran hegemoni global. Nation-state, politik etis, nasionalisme, pembangunanisme adalah beberapa wacana yang berhembus.
Persoalannya bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur” yang berwatak dangkal dan picik. Ini adalah persoalan bahwa wacana-wacana di atas – yang (kebetulan) berasal dari Barat itu sering menelikung dan imperialistik.
Dominasi global hampir-hampir telah menggerus. Dari dulu hingga kini, banyak sejarah yang dicampurtangani. Kadang kita terperangah, kadang tak sadar. Sebut saja : drama PKI, keruntuhan Orde Revolusi dan naiknya Orde Baru, peristiwa malari, berbagai sparatisme, inflasi, dan penyerbuan ke Timor-Timur, tumbangnya Orde Baru, euforia reformasi, dan bisa jadi tentang beberapa “aksi”.
Maka, setiap upaya diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa mengaitkannya dengan konstelasi global, niscaya akan gagal. Pasalnya upaya-upaya tidak sekedar berhadapan dengan kekuasaan, militer, elit politik, elit ekonomi, dan semacamnya. Secara lebih luas, upaya itu akan berhadapan dan membentuk struktur kapitalisme global yang dominatif dan hegemonik. Untuk itu, “pembacaan ulang” terhadap sejarah Indonesia, serta pembongkaran terhadap wacana kapitalisme global tentu menjadi urgensi.
Ada asap berarti ada api. Ada aksi tidak hanya ada reaksi, namun juga (pasti) ada konstelasi, bahkan ada konspirasi. Maka dari 2 diskusi, agaknya saya perlu memberikan pembacaan “utak atik matuk” tentang situasi Indonesia terkini:
Pertama, nuansa agama akan membangkitkan dogma. Dengan agama, ada sebuah setting tentang sebuah laju bangsa. Agama akan menjadi pemersatu dan menjadi dorongan agar “ulama” berperan sebagai pemangku. Maka sutradara akan mencoba adegan-adegan dengan “rayuan” Revolusi Islam (seperti yang terjadi di Iran).
Kedua, dalam situasi tak aman, militer akan mengambil peran. Ini mirip dengan adegan G30S di era Presiden Soekarno. Karena kuatnya pengaruh Soekarno, maka digunakan teori domino, yaitu dengan cara dihangcurkan kekuatan PKI, dengan logika jika PKI hancur maka kekuatan Soekarno akan lebur. Melaui sebuah rekayasa maha canggih, akhirnya pada tahun 1965 terjadi “drama politik” yang menghancurkan kekuatan Soekarno setelah kekuatan PKI lumpuh. Dengan beberapa “aksi” – entah yang “membela” atau “makar” – maka negara kalut dan penguasa saling bergelut. Dalam situasi ini, militer memiliki peran dan fungsi. Dan jika situasi serupa terus terjadi, maka akan ada “suara” yang akan menghendaki militer (kembali) mengambil kendali negeri ini.
Ketiga, munculnya geliat “jihad”. Jika Islam (pernah) seirama dengan nasionalisme (dan bahkan komunisme), maka Islam pun sering “bertikai” dengan keduanya. Ada beberapa golongan – yang tak pasti muasalnya – berangan agar Indonesia “diIslamkan”. Dengan situasi negara yang bergejolak, maka akan memantik para “jihadis” untuk bergerak. Mereka akan membakar sumbu “jihad fi sabilillah” untuk menegakkan “islam kaffah”. Sebagaimana Afghanistan, Irak, Suriah dan sebagainya, isu terorisme akan sering diangkat, dan Indonesia disetting oleh “invisible hand” menjadi negeri darurat. Indonesia akan kedatangan “pahlawan kesiangan” untuk membasmi “kejahatan”.
Menghadapi situasi tersebut memang sulit. Kita sulit keluar dari cengkraman kapitalisme global saat ini, karena Indonesia (kini) masih belum bisa bertrisakti. Yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menerima keberadaan kapitalisme global secara sadar, kritis dan cerdas. Langkah selanjutnya adalah merumuskan kepentingan nasional dengan memperhatikan konstelasi politik global, dengan tetap menjadikan kepentingan dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai titik pijak bersama.
Semoga Tuhan memberkati negeri ini.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ