Kritis tapi solutif,
filosofis tapi reflektif. Fahruddin Faiz seakan mengulang keyakinan Rene
Descartes, bapak filsafat modern, dengan “cogito ergo sum”: “aku berpikir maka
aku ada”. Ia juga seakan menyampaikan pesan Andre Gide: “aku merasa, maka aku ada”
dan memungkinkan “aku memberontak maka aku ada”nya Sang Absurdis, Albert Camus.
Kata Pak Faiz (panggilan
akrabnya): “Benar belum tentu bijaksana”. Ia kata magis, mendalam, yang akarnya
tertanam bersama tumpahnya informasi di era digital, ketika manusia merasa
mampu dalam segala hal dan mengakumulasi pengetahuan yang tersebar. Agak anomali
memang. Karena sejak era layar kaca datang, semua tertuju pada yang sedang
viral. Viralitas sekan menjadi tujuan.
Namun, sejauh-jauhnya sebuah
viralitas, ia akan berhenti di satu pertanyaan ganjil: apakah ia adalah sebuah
kebenaran? Jika memang benar, apakah yang benar bisa menjadi bijaksana?
Tentu saja Pak Faiz — dengan
ikhtiar filsafat dan ilmu pengetahuan — tak mempersoalkan itu. Dan justru
karena itu kajian filsafatnya menghasilkan hal-hal yang menakjubkan dan menjadi
bagian viralitas itu sendiri. Meski harus digarisbawahi, Pak Faiz menjadi viral
bukan karena sensasi, melainkan karena filsafat dan edukasi.
Meski semula “Ngaji
Filsafat”nya menjadi hal ganjil. Namun, nyatanya hari ini menjadi jawaban atas
kegelisahan sebuah generasi.
Saya selalu ingat kata
magisnya yang lain: “manusia yang sejati adalah yang memiliki kerendahan hati”.
Ini jelas bukan kampanye saat “momentum 5 tahunan” itu. Ini adalah karakter
yang melekat, yang berusahan ia tularkan kepada santri-santrinya, (barangkali)
termasuk saya.
Kajian filsafat yang
dianggap “njlimet” bahkan “kafir”, seolah menjadi oase di tengah keringnya
kerangka berpikir. Dengan kata lain, filsafat dapat menjadi dunia realitas yang
mandiri dari persepsi kita tentangnya. Di sisi lain, ia dapat landing kepada
siapa yang ingin memahaminya.
Heisenberg, salah satu filsuf
Kelompok Kopenhagen, sudah menegaskan: “mustahil mengasumsikan ada sebuah dunia
yang obyektif, yang tak tergantung dari subyek, atau kesadaran manusia”. Namun
kaum “rasionalis” membantah. Mereka menganggap Heisenberg tak mau mengakui
bahwa filsafat modern adalah “sebuah gambaran yang lengkap tentang realitas”.
Memang, filsafat, beribu
tahun setelah Plato, ternyata tak kunjung menyimpulkan apa yang secara
universal dianggap sebagai “benar”. Tapi hari ini justru filsafat “asyik”
dinikmati, lebih-lebih selaras dengan pengalaman pribadi.
Dalam situasi itu,
Richard Rorty memberi pandangan, bahwa proses mencapai “kebenaran” bukanlah
dengan mengacu ke “sabda” yang universal, melainkan dalam “dialog” di suatu
masa, di suatu tempat, di suatu kondisi. Apa yang “benar” adalah apa yang disepakati
sebagai “benar” oleh mereka di mana yang lain menganggap “rasional”. Singkatnya,
pengetahuan tak punya kebijaksanaan jika hanya kesepakatan sosial, kecuali
diiringi dengan kemampuan mengakui kebenaran lain. Dengan begitu, filsafat bisa
menjadi pegangan yang otonom dan teguh.
Dalam gemuruh revolusi
industri, yang tumbuh adalah dialog terus menerus antara sains, teknologi, seni,
agama, dan sebagainya. Tak ada sekat, tak ada hierarki. Dengan “menghidupkan”
filsafat, maka ia ibarat sebuah “matahari”, yang mencerahkan dan bersama-sama
menjadi percakapan yang merupakan jalan baru yang lebih baik, menarik, dan menggugah.
Di sana tak ada “hakim” yang menentukan apa itu “kebenaran”.
Dengan “ngaji” filsafat,
kata Pak Faiz, hidup pun mengalir, bebas, tak dikungkung doktrin yang menjadi “berhala”.
Baginya, “menghidupkan” filsafat bukanlah suatu yang mudah, namun tak susah. “Menghidupkan”
filsafat berarti proses membuat “wadah” pengetahuan. Semakin besar “wadah”,
semakin banyak pengetahuan yang ditampung. Muaranya, terbuka kemungkinan
berfikir yang hidup dengan empati kuat kepada sesama.
Maka, filsafat sebagai perenungan tak boleh ditinggalkan. Sebab, jika filsafat “mati”, bisa jadi akan datang masa ketika manusia lupa “ada”nya sendiri.
0 Comments