Apa yang kita ingat tentang KKN (Kuliah Kerja Nyata)?
Dulu, KKN sering diplesetkan menjadi “Kisah
Kasih Nyata”, seiring ada beberapa mahasiswa yang “cinlok” (cinta lokasi). Ada
beberapa yang berlanjut ke pelaminan. Termasuk dua teman (KKN tahun 2011) sekelompok saya.
Secara anekdotis, KKN juga dipelintir
menjadi “Kenalan, Ketemu, Ngilang”. Hal ini terjadi karena romantisme hanya
berlangsung di tempat KKN. Setelah selesai, cinta hilang dan kisah kandas di
tengah jalan.
Belakangan, KKN tergambar lebih seram. Kisahnya
divisualisasikan ke dalam sebuah film bergenre horror. Ya, tajuk “KKN di Desa Penari”
hadir menggebrak. Pasca-pandemi, film garapan Awi Suryadi ini menjadi yang
paling “meledak”.
Setting film ini masih menjadi misteri.
Itu sebabnya banyak mahasiswa yang ngeri-ngeri sedap untuk melaksanakan KKN tahun
ini.
Baik. Sekarang kita (agak) serius!
Harus dipahami, KKN adalah potret kegiatan pengabdian
kepada masyarakat yang dilakukan mahasiswa. Kegiatan ini dilakukan menggunakan pendekatan
lintas keilmuan dan sektoral pada waktu dan daerah tertentu.
Semula, KKN hanya paduan dari dua dharma
yaitu pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya, KKN juga
meliputi dharma penelitian. Perpaduan tri dharma perguruan tinggi menjadi tanda
bahwa KKN adalah salah satu sub-sistem pendidikan.
KKN STAI YPBWI Surabaya
Bulan Juni lalu, STAI YPBWI Surabaya
melaksanakan kegiatan KKN. KKN kali ini cukup unik, karena dilakukan di sebuah daerah
yang multi etnis dan agama, tepatnya di Desa Meliling Kecamatan Kerambitan Kabupaten
Tabanan Bali.
Meski pengalaman perdana, mahasiswa berangkat
dengan raut mukanya yang tenang-riang; mereka bersemangat melaksanakan kegiatan
di salah satu daerah yang menjadi ikon toleransi di Indonesia.
Kita tau, KKN itu penanda mahasiswa diajak
membumi; menanggalkan egoisme dan menyesuaikan atribut ”pribumi”. Kata kuncinya
adalah “rendah hati”, karena ia akan menentukan keberhasilan.
Mahasiswa boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi, tapi tak boleh tampak seperti orang yang “tinggi”. Di lokasi, mereka tak disebut ”mahasiswa” penuh. Mereka adalah ”komunitas” yang menjadi bagian masyarakat Meliling yang kental akan pluralitas.
Bersama Kita Bisa
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) STAI YPBWI Surabaya menulis sejarah baru. Lembaga ini telah
menggabungkan pengabdian mahasiswa dan dosen sekaligus. Pengabdian kolaboratif yang
dilakukan tanpa mengganti “bungkus”.
Mahasiswa
dan dosen merasakan, menyadari, betapa pentingnya kolaborasi saat ini. Mereka
pun kompak. Sebab, memang tak ada sukses tanpa proses, dan tak ada proses yang mengkhianati
sukses.
Syahdan,
tiap malam, sepenuh hati mereka menyanyikan Mars. Dan, kata-kata sihir soliditas
itu agaknya telah terpahat: “bersama kita bisa”.
Analisis Sosial
Selain melaksanakan kegiatan fisik seperti kerja bakti hingga bakti sosial, mahasiswa juga melakukan kegiatan survey dan observasi lapangan. Mahasiswa melaksanakan Analisis Sosial (Ansos); sebuah konsep baru LPPM.
Ansos adalah bagian dari subyek yang bergerak
untuk menjawab “rasa penasaran”. Dengan kata lain, subyek yang lahir dari dunia
akademis-sosial, akan menjadi solusi dari beragam tanya. Mahasiswa harus
berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda tapi disebut ”sesama”.
Maka, analisis sosial bukanlah sebuah
solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri. Ia adalah
bentuk kinerja nalar kritis mahasiswa. Itu sebabnya mahasiswa harus “peka”.
Tentu, analisis itu sikap yang tak berpihak. Ia bukan partisan. Tapi di sebuah desa di mana ada masyarakat yang berbeda, kinerja intelektual harus berpadu dengan sosial-emosional. “Saya” harus menjadi “kami”, dan “kami” harus menjadi “kita”. Sebuah pengalaman berharga yang sarat makna.
Penyuluhan
Semangat pengabdian telah membuat dosen, sebagai peneliti yang mengajar, jadi panggilan yang menggugah. Sebab, bukan ”aku mengabdi, maka aku ada”, melainkan: ”aku mengabdi, maka kita ada”.
Dalam
bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Jika definisi ”kita”
lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma,
merindukan yang lain sebagai saudara dalam sebuah “rumah”. Dengan kata lain,
merindukan agar ”kita” ada.
Dari
sini solidaritas lahir, dan pengabdian—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit.
Agenda penyuluhan menunjukkan bahwa pengabdian penting untuk gerak perkembangan. Pengabdian tak bisa sepenuhnya terwakili oleh organisasi dan identitas apa pun. Ia harus menjadi bagian integral dari sebuah individu-individu yang berpadu.
Empat Program Studi (PAI, PIAUD, PGMI, dan Ekonomi Syari’ah) melaksanakan penyuluhan secara paralel. Kurang lebih ada 100 (seratus) peserta hadir. Agenda itu dibentuk sebagai sejarah yang diharapkan berlanjut setelah itu. Sebab pengabdian sebagai bagian dari tridharma tak hanya terbatas pada satu waktu. Ia harus terus berjalan, harus kontinyu.
----------------------------------------------------
----------------------------------------------------
KKN adalah sebuah proses: ia lahir sebagai
laboratorium pembelajaran kehidupan di tengah-tengah masyarakat. KKN mengasah
kecerdasan sosial dan emosional. Pada saat yang sama, kegiatan ini menjadi sarana
pembelajaran mengidentifikasi dan mencari solusi atas problem sosial.
0 Comments