Aflatoun merupakan pendekatan teruji dan
bertujuan untuk memberdayakan anak-anak melalui sebuah pendekatan berimbang
terhadap Pendidikan Sosial dan Finansial Anak (PSFA).[1]
Kata "Aflatoun" berasal dari bahasa Arab yang merujuk pada nama filsuf terkenal Yunani, Plato (427-347 SM).[2]
Program Aflatoun adalah sebuah jaringan yang tumbuh cepat guna mencapai tujuan
2010; untuk melaksanakan program-program berkualitas Aflatoun di 75 Negara,
dengan mencapai satu juta anak-anak sebelum 2010.[3]
Program Aflatoun ini berisi tema sosial dan
keuangan. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri, hak-hak anak,
tabungan, konsep keuangan dasar, dan perusahaan. Aflatoun menempatkan anak di
tengah-tengah proses belajar mereka dan melibatkan mereka dengan dunia di
sekitar mereka. Dengan demikian, Aflatoun percaya bahwa pelajaran sosial dan
keuangan yang mereka terima akan tinggal bersama mereka selamanya.
Sedangkan kurikulum Aflatoun berisi tema
sosial dan keuangan. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri,
hak-hak anak, bagaimana cara menyimpan, dan bagaimana konsep dasar keuangan,
dan perusahaan. Prinsip pengajaran yang digunakan dalam program Aflatoun
disebut pembelajaran yang berpusat pada anak (student oriented).
Anak-anak diberi ruang untuk mengekspresikan diri, untuk bertindak sendiri, dan
untuk memecahkan masalah praktis secara bersama-sama.
Aflatoun yang memberikan Pendidikan Finansial
dan Sosial secara seimbang pada anak muda di seluruh dunia. Terbentuk dari
empat sub program, yaitu Aflatot, Aflatoun, Aflateen dan afla akademi, program
ini menjangkau anak-anak yang berusia antara 3 sampai 18 tahun keatas.
Pendidikan Finansial dan Sosial bertujuan untuk membantu anak muda berfikir
secara kritis, belajar tentang hak dan tanggung jawab, dan mendapatkan
pengetahuan finansial dan kecakapan yang akan membuat mereka bisa meraih impian
mereka. Ia juga membantu mereka merefleksikan dan membuat bermakna transisi
kehidupan yang mereka lalui. Pendidikan sosial mengajarkan mereka percaya pada
diri mereka sendiri dan menjadi warga yang bertangung jawab dengan memahami dan
terlibat dalam isu-isu sosial yang berpengaruh pada mereka.[4]
Metode
Pembelajaran
Metode pembelajaran Aflatoun mendorong "learning
by doing". Kurikulum memberikan pelajaran terstruktur yang digunakan pada game
, seni dan teater memastikan bahwa belajar adalah menyenangkan serta efektif.
Guru dilatih dalam metodologi pengajaran progresif yang memastikan anak-anak
berpartisipasi aktif dalam suasana yang bebas dari ancaman kekerasan dan penuh
tawa dan pembelajaran. Aflatoun memimpin anak melalui perjalanan belajar mereka
dan membantu untuk menciptakan ikatan emosional antara anak dan materi program.
Anak-anak menunjukkan dan mempraktekkan
pembelajaran mereka melalui mikro - usaha sosial dan keuangan di mana mereka
berkolaborasi sebagai tim dan menemukan bagaimana mereka dapat membuat
masyarakat setempat lingkungan yang lebih aman , sehat dan adil.[5] Yang ketiga adalah kurikulum
Aflateen yaitu bagi anak muda usia 15 – 18 tahun atau lebih.
Anak-anak memiliki potensi besar. Mereka
memiliki penilaian, bertindak atas sendiri, memimpin orang lain, atau bekerja
sebagai bagian dari tim. Ini adalah keterampilan yang sering berkembang atau
tidak diketahui, meskipun dampak yang mendalam bahwa kemampuan tersebut terhadap
masa depan mereka dan dunia. Aflatoun berusaha untuk memanfaatkan masa awal
kehidupan seorang anak dan memberi mereka pengalaman pendidikan yang membuat
mereka dengan asosiasi positif dengan uang dan perubahan sosial. Anak adalah
waktu yang berharga, di mana pembangunan eksplorasi, pembelajaran dan karakter
adalah kunci. Dengan mengajarkan keterampilan sosial, dan memberikan anak-anak
dengan pengalaman praktis, Aflatoun berharap bahwa mereka akan percaya diri dan
mampu untuk membuat perbedaan dalam kehidupan mereka dan kehidupan orang-orang
di sekitar mereka.[6]
Implementasi Program Aflatoun di Madrasah/Sekolah
bertujuan untuk membangun dan membentuk sikap sosial yang lebih baik antar
sesama, mengingat kehidupan para santri yang hitrogen dan membutuhkan
pembelajaran hidup yang mandiri dengan keterampilan sosial dan keuangan.
Sedangkan sikap sosial yang diajarkan di Pesantren menurut K. H. R. Zainuddin
Fananie terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah mengajarkan segala kewajiban
supaya hidup sebagai manusia yang dapat berkomunikasi dan bergaul dengan sesama
dengan baik. Dan yang kedua adalah Akhlaq dan etika/kesopanan.[7]
Paradigma Pendidikan
Multikultural
Berkenaan dengan pendidikan multikultural, Andersen
dan Cusher mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.[8]
Kemudian, James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai
pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunnatullah).
Kemudian bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran
dan semangat egaliter.[9]
Banks, merinci lima dimensi yang dapat
membantu guru mengimplementasikan yang mampu merespon terhadap perbedaan
pelajar, yaitu; Pertama, Content integrastion, yaitu mengintegrasikan beragam
budaya dan kelompok. Kedua, the knowledge contruction process, yaitu membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
(disiplin). Ketiga, an equality paedagogy yaitu menyesuaikan metode
pembelajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik segi ras dan budaya. Keempat, prejudice
reduction yaitu mengidentifikasi krakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka, kemudian kelompok untuk berpartisipas dalam kegiatan
olahraga berinteraksi dengan seluruh siswa yang berbeda etnis dan ras dalam
upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dan yang kelima
adalah empowering school culture and social structure. Dimensi ini penting
dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari
kelompok yang berbeda.[10]
Dalam implementasi Pendidikan Islam
Multikultural adalah teori Azra yang menguraikan tiga perspektif pengertian
pendidikan multikultural. Pertama, pendidikan multikultural sebagai konsep
filosofis yang berlandaskan pada ide kemerdekaan, keadilan, kesamaan, hak
kekayaan, dan martabat kemanusiaan. Kedua, pendidikan multikultural sebagai
proses yang meliputi semua aspek praktek sekolah, kebijakan dan organisasi
sebagai alat untuk memastikan tingkat prestasi akademis para siswa. Ketiga,
pendidikan multikultural memperkuat keyakinan bahwa semua peserta didik, riwayat
hidup dan pengalamannya harus ditempatkan sebagai pusat dalam proses pengajaran
dan pembelajaran dan pembelajaran harus didasarkan pada konteks yang dekat
(terbiasa) dengan peserta didik dan menunjukkan berbagai cara berpikir.[11]
Core Value pendidikan multikultural mengingatkan
pada sirkulerisme pendidikan multikultur. Pada sirkulerisme pendidikan
multikultur tersebut dapat mencakup hubungan empat dimensi yakni dimensi
manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta dan
manusia dengan dirinya sendiri.[12] Dengan demikian, core value
pada pendidikan multikultur mencapai totalitas hubungan yang menjadi titik
pusat perhatian. Totalitas hubungan sesuai dengan derajat nilai-nilai diri,
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman.
Pada dasarnya paradigma multikultural pada
program Aflatoun Indonesia didasarkan pada nilai dasar toleransi, empati,
simpati dan kecerdasan sosial. Maka hasil dari proses pendidikan multicultural
tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya perdamaian dan upaya mencegah
serta menanggulangi konflik etnis, konflik umat beragama, radikalisme agama,
separatism dan disintegrasi bangsa.
Sesuai dengan substansi pendidikan multikultural
yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan keseragaman cara pandang,[13] program Aflatoun
juga berupaya membangun kesadaran diri terhadap keniscayaan pluralitas sebagai
sunnatullah, mengurangi kekurangan di samping kelebihan yang dimiliki baik
diri sendiri maupun orang lain. Sehingga tumbuh sikap sosial dalam kehidupan
yang demokratis dan humanis, dengan muaranya mewujudkan suatu kehidupan yang
damai, berkeadilan dan sejahtera.
[1] Sekretariat Aflatoun Indonesia, Manual
Evaluasi Aflatoun, Terj. Lapis (Program
for Islamic school supported by Australian Governmen), Manual Evaluasi Aflatoun
(Jakarta: Lekdis Nusantara, Lembaga Kajian Pendidikan, Keislaman dan
sosial Nusantara, 2008), 3.
[2] Salah satu filosof Yunani yang masyhur, ia
merupakan murid dari Socrates dan guru Aristoteles. Baca
Abdullah al-Alayali dan Saayyid Hasan al-Amien, Munjid fi al-A’lam (Bairut:
Darul Masyriq, 1998), Cet. 23, 58.
[3] Sekretariat Aflatoun Indonesia, Manual
Evaluasi Aflatoun,
3.
[4] Suryadi, Juknis Aflatoun (Jakarta: Lekdis Nusantara, Lembaga Kajian Pendidikan, Keislaman dan
sosial Nusantara, 2008), 1.
[7] Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern
(Solo : Tinda Medina, 2011), 24.
[8] R. Andersen dan K. Cusher, Multicultural and Intercultural Studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (Sydney: Prentice-Hall, 1994), 320.
[9] James Banks, Educating Citizens in a Multikultural Society (New York and
London: Teachers College Columbia University, 1997), 3.
[10] Kasinyo Harto, Model Pengembangan Pendidikan
Agama Islam Berbasis Multicultural (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012), 38-40.
[12] Hilda Hernandez, Multicultural Education; A
Teacher Guide Linking Context, Process, and Content (New
Jersey & Ohio: Prentice Hall, 1989), 68-70.
0 Comments