Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

HTI DAN NEGERI DEMOKRASI


           Di era modern, dunia seakan semakin terpangkas, hingga interaksi manusia tak lagi terikat oleh batas. Budaya, peradaban, sistem kenegaraan, ekonomi dan lain sebagainya tak lagi menampakkan perbedaan yang signifikan. Semuanya tertuju ke “Barat” sebagai tujuan dan kiblat. Sementara ada “tangan” tersembunyi bersamaan dengan misi modernitas.
Secara tidak langsung, ini akan memantik sebuah situasi, di mana kita sebagai muslim akan cenderung “alergi” dengan istilah atau simbol-simbol yang berasal dari Barat. Demokrasi umpamanya, sistem pemerintahan aturan rakyat (peoples rule), yang di dalamnya warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan, dengan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Sebuah istilah yang membuat kita tertuju pada adagium “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, yang ditandai dengan adanya pengakuan dan persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat.
“Sebagian” dari kita beranggapan sistem ini adalah produk Barat, yang akan menjauhkan Islam dari hakikatnya. Di dalamnya diisi oleh ideologi Kapitalisme dan kepentingan-kepentingan “kafirisasi” dunia Islam. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah mengembalikan Islam secara “kaffah”, dan menjadikannya sebagai aturan yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Selanjutnya, sistem pemerintahan yang berlandaskan syari’at harus diwujudkan demi berdiri tegaknya Islam di atas segalanya. Puncaknya, Negara Islam harus didirikan, demi mengembalikan Islam pada kejayaan.
Demokrasi dalam Islam
Meski demokrasi dalam beberapa aspek hampir sama dengan musyawarah, tapi “sebagian” dari kita ini tetap “kekeuh” dengan pendapatnya yang selalu disandarkan pada al-Qur’an dan Hadis. Tidak heran, jika ada yang menyamakan keduanya, maka dianggap keluar dari prinsip-prinsip syari’at. Maka, stempel kafir akan tersemat, dan logo bid’ah akan melekat. Lebih dari itu, negeri yang mereka minum airnya, dimakan hasil buminya, ditempati lahannya, dianggap sebagai negeri yang tidak “islami”.
Memang, istilah demokrasi berasal dari Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk, dan “cratein” atau ”cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa, demokrasi adalah sebuah Negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatannya di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Dalam satu sisi, mungkin demokrasi bertentangan dengan Islam, karena di dalam al-Qur’an dan Hadis tidak disebutkan. Namun, perlu diketahui bahwa Islam sebenarnya memberikan kebebasan kepada individu untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada di dalam dirinya, untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam juga memberikan petunjuk kepada pemeluknya, sekaligus menghendaki agar mereka tidak mengekang kebebasan individu dalam berkehendak, termasuk dalam hal bernegara.
Mari, kita menoleh ke belakang! Dalam sejarah, setiap kebijakan Rosulullah sebagai pemimpin agama dan negara selalu meminta pendapat para sahabat. Jalaluddin As Suyuti, dalam Al Itqon, menyebutkan bahwa Rosulullah pernah meminta pendapat Umar bin Khattab dalam pembangunan mushalla di sekitar Maqom Ibrahim. Seraya dengan itu, ayat al-Qur’an pun membumi untuk mempertegasnya.
Kemudian, kita perlu meninjau kembali pendapatnya Al-Ghazali dalam karya agungnya, Ihya’ Ulumuddin (Juz 1) dalam hal pemerintahan. Dia bependapat, bahwa kepala negara dianggap sah apabila dipilih oleh suara mayoritas umat. Apabila ada separatisme, maka dia dianggap sebagai pemberontak negara, dan wajib kembali untuk kepada suara mayoritas.
Dalam Fadha'ihul Bathiniyah, Al Ghazali, memberi ulasan; “seandainya Abu Bakar dibaiat hanya oleh Umar, dan mayoritas umat tidak mendukung dan membaiat, maka kepemimpinannya tidak sah”. Dari sini, kita dapat menperoleh pemahaman bahwa tujuan memilih kepala negara adalah untuk menyatukan pendapat. Dan kekuasaan tidak akan bisa tegak kecuali dengan kesepakatan mayoritas.
Sementara, IBNU TAIMIYAH, dalam Minhajus Sunnah, Juz 1, menyebutkan, ketika Umar Bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi khalifah menjadi tidak sah seandainya tidak mendapat dukungan baiat mayoritas sahabat. Seirama dengan pendapat Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah tadi, Abu A'la Al Maududi, dalam Nadhariyatul Islam, meneguhkan bahwa pemilihan kepala negara dalam Islam harus mendapatkan suara mayoritas umat. Dan tidak seorangpun bisa memberikan kekuasaan pada dirinya dengan tanpa adanya pemilihan sebelumnya. Jadi, seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan prinsip musyawarah dan harus mendapatkan dukungan dari semua pihak, sehingga kepemimpinannya dianggap sah.
Nah, dari sini jelas, Islam juga berdemokrasi, dan demokrasi juga ada dalam Islam. Dalam teks memang tidak termaktub, tapi dalam konteks, demokrasi tercermin ketika Rosulullah dan para Sahabat hidup. Sebagai muslim, kita tidak perlu kaku dalam berpikir dan jangan latah dalam bersikap. Sehingga, kata “KAFIR” atau “bidngah” (Bid’ah Red.) tidak mudah disematkan kepada yang lain, yang berbeda dari kita.
Indonesia Kini; Hati-hati HTI!
 Akhir-akhir ini “sebagian” – yang mudah bekata KAFIR dan “bidngah” - telah kehilangan legitimasinya. Selama puluhan tahun mereka ber”ada” di negeri demokrasi, dan kini tetap ingin bertahan. Dalam pergaulan dunia, mereka tak akan dilihat lagi sebagai kerumunan orang yang berlabel Islam. Mereka ingin seperti pahlawan, hanya dengan kostum yang teatral, ingin menjadi aktor tunggal dalam sebuah teater kolosal.
Dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legitimasi, dan jatuh sebuah komunitas. Apa gerangan yang akan terjadi dengan yang “sebagian” itu: gagalkah mereka bertahan dengan ”jihad” dan “takbir”? Butuhkah mereka diakui sebagai komunitas yang beradab? Jangan-jangan tidak. Jika mereka begitu kuat dan begitu tak peduli, Indonesia akan ditundukkannya. Sebab tak semua perlawanan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya seorang penguasa sebuah negeri demokrasi, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain yang menurut mereka “Islami”.
Tapi bagaimanapun, mereka adalah “sebagian” yang memiliki sikap membenci yang lain, mengelak, dan bahkan “mengharamkan” DEMOKRASI, namun pada saat yang sama berteriak: "MELANGGAR HAM!" Jangan-jangan mereka berlebihan. Perjuangan politik bukanlah drama yang kadang iya dan kadang tidak, tentang yang ”luhur” dan yang ”berdosa”. Perlawanan adalah sebuah strategi. Namun tiap strategi bisa keliru, bisa gagal. Maka demokrasi bukan hanya tentang keberanian untuk berkata ”tidak” kepada penguasa. Di dalamnya ada ketaatan pada hukum yang berasas PANCASILA, BHINNEKA TUNGGAL IKA, NKRI dan UUD 45.


      





Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ