25 November 2011: Beberapa saat
sebelum masa bakti saya dan sahabat² berakhir di BEM Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Ampel Surabaya (kini UIN Sunan Ampel Surabaya). Saat itu, kami berencana
melaksakan agenda penutup yang berkesan. Berawal dari ngopi bersama Mas Gesang Manunggal, Mas Atis Setiawan, dan Mas Mohammad Zen J-Pe Al-mannan di
warkop Pak Ali, kami sepakat untuk mengundang tokoh nasional dalam sebuah
seminar. Kesepakatan yang agak "utopis" namun menantang.
29 November 2011: BEM Fakultas
Tarbiyah masih belum ada keputusan terkait tokoh yang akan didatangkan.
Sehingga, jam 11 siang saya sowan ke Prof. Dr. H. Abd. Haris, M. Ag, Penbantu
Rektor II IAIN Sunan Ampel Surabaya (saat ini Rektor UIN Maliki Malang).
Spontan, Prof. Haris langsung menyebut satu nama: KH. Salahuddin Wahid (Gus
Sholah). Saya terdiam sembari mbatin: "Mana mungkin BEM Fakultas Tarbiyah
bisa menghadirkan tokoh sekaliber Beliau?". Lalu Prof. Haris memberikan
kontak Gus Sholah, agar saya menghubungi dan sowan Beliau.
30 November 2011: Bingung. Ya
bingung bagaimana cara menghubungi Gus Sholah. Saya sadar, saya orang biasa dan
belum mengenal betul tradisi pesantren. Terlebih, yang akan saya hubungi adalah
cucu Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari. Ngopi barangkali adalah
alternatif solusi. Entah kebetulan atau memang pentunjuk Tuhan. Di kantin saya
bertemu Sahabat Aldo Usman Al-adipni, senior berpengalaman di berbagai
lini. Beliau lah yang membantu saya menghubungi Gus Sholah via telefon.
Alhamdulillah, Gus Sholah merespon dengan meminta BEM Fakultas Tarbiyah
menghadap.
1 Desember 2011: Saya ingat hari
Kamis legi. Saya mengajak Mas Gus Haikal Atiq Zamzamy ke Pesantren Tebuireng
Jombang. Saat itu Beliau kabinet BEM Fakultas Tarbiyah. Kini Beliau adalah
tokoh, intelektual dan peneliti muda NU yang sering tampil di seminar² dan
layar kaca.
Setibanya di Tebuireng, saya
khawatir ditolak dan disuruh pulang. Bagaimana tidak, saya lupa bawa sarung dan
kopyah, rambut gondrong, dan berpenampilan ala rocker. Duh, Gusti. Sementara
Mas Haikal mengenakan sarung, baju Jawa lengkap dengan kopyah hitam.
Ketika ditanya abdi ndalem:
"Dari mana dan ada keperluan apa mas? Mas Haikal menjawab: "Kami dari
BEM Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, mau sowan Kiai untuk menyampaikan
undangan". Kami pun disuruh menunggu hingga setelah shalat dhuhur.
Jam 12.15: Kami disuruh masuk
ndalem. Gus Sholah yang sedang membaca buku, bertanya: "Sampeyan dari IAIN
Surabaya ya? Tadi sebelum dhuhur juga ada mahasiswa mengundang saya. Katanya
dari IAIN Surabaya", Beliau serius. "Kami dari BEM Fakultas Tarbiyah
IAIN Surabaya, Yai. Rencana ingin mengundang Yai dalam acara Seminar pada 20
Desember 2011", jawab Mas Haikal. Singkat cerita, ternyata di tanggal
tersebut ada 3 undangan: 1 dari forum lintas agama, 1 dari salah satu UKM IAIN
Sunan Ampel dan 1 dari BEM Tarbiyah.
Dengan menunjukkan 2 undangan
sebelumnya, Beliau bertanya: "Sek.. Sek.. Saya lihat dulu tema seminar
sampeyan". Sambil membaca undangan dan TOR, Beliau menegaskan: "Wah,
saya hadir ke acara sampeyan saja. Ini tema menarik. Saya harus mengungkap
kontribusi besar pesantren bagi bangsa ini". Tema yang kami angkat adalah
"SANTRI DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL". Saya kira Beliau paham betul
bahwa sejarah bangsa ini melibatkan peran besar pesantren. Sejarah itu seolah
tertutupi kabut gelap dan tidak pernah diungkap.
Jam 13.00: Setelah lama kami
sowan dan berdialog, tibalah saatnya pamit. Saya berbisik kepada Mas Haikal
untuk meminta foto bersama dengan Gus Sholah. Mas Haikal menyampaikan keinginan
saya dengan kromo inggil kepada Gus Sholah. Beliau tersenyum dan berkata:
"Monggo² mas. Sebentar ya, saya ambil kopyahnya Gus Dur dulu". Dengan
bangga Beliau berseloroh: "Lhaa.. Sudah mirip Gus Dur kan?! Hehe..".
Nampak sekali Gus Sholah begitu merindukan Sang Kakak.
Setelah sowan Gus Sholah, kami
sowan Gus Dur, Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
Ini sejarah yang akan selalu saya
kenang. Saya sangat senang. Kamis legi itu memberikan saya banyak hal: sowan,
sungkem, berdialog, dan berfoto dengan Gus Sholah.
*Selamat jalan, Gus Sholah.
Alfatihah.
0 Comments