Gus Dur
meminta maaf kepada korban-korban pembasmian massal PKI pada tahun 1965. Dengan
meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu sejarah semu selama ini; bahwa
tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau dihabisi.
Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi; adilkah yang
terjadi sejak 1965 itu?
Seandainya
pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, tetap terlalu naif hukuman
yang dikenakan kapada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun
tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba; sebuah kota
dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.
Gus Dur
agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai Presiden, membiarkan
dirinya dipotret duduk mesra dekat putri D.N. Aidit, yang hampir seumur
hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada
gugatan; bersalahkan putri D.N. Aidit hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban
Gus Dur; tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian. Tak gampang untuk
seperti itu.
Gus Dur
juga telah membongkar belenggu “teori” tua ini; bahwa PKI selamanya berbahaya.
Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal tahun 1965 itu.
Ia juga menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari
Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah sejarah yang
menjauh, gagal diterapkan.
Memekikkan
tema kolosal “komunis akan bangkit” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih
mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan terorisme. Siapa
yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia
sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin sejarah tak
jadi sebuah ranjau.
Gus Dur
memang bukan Mandela yang pernah dipasung. Tapi ia meminta maaf. Maaf bukanlah
penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan
dosa, hidup pun berjalan, dengan trauma, tapi di sana ada harapan.
Salam hormat kepada Sang Presiden, Sang Kiai, dan Sang Guru
Bangsa.
0 Comments