Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

PESANTREN SEBAGAI SUMBER PEMIMPIN IDEAL; DULU DAN KINI



                                                                                Oleh:

Dr (HC). Ir. KH. Salahuddin Wahid


Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di bumi Nusantara, telah berusia ratusan tahun, jauh sebelum ada pendidikan oleh pihak Belanda. Jadi pesantren-lah yang telah mencerdaskan muslim Nusantara. Jiwa keislaman yang ditanamkan ialah Islam moderat yang disebarkan tidak dengan pedang atau paksaan, tetapi yang disebarkan secara damai dengan perdagangan dan perkawinan serta pendidikan. Pesantren meneruskan tradisi wali songo yang mampu berdialog dengan budaya lokal, menggunakan media setempat yang diisi dengan substansi Tauhid. Dulu ada yang berpendapat bahwa suatu saat pesantren akan menyusut dan tinggal amat sedikit sehingga bisa dianggap lenyap dari peta pendidikan. Ternyata dugaan itu keliru. Jumlah pesantren pada 1942 sekitar 1.900, naik menjadi sekitar 4.200 pada 1997, naik lagi menjadi sekitar 21.000 pada 2008 dan sekitar 25.800 pada 2010, dengan santri sekitar 3,65 juta.

Pesantren dan Pembangunan Moral Bangsa

Wajar kalau dalam kondisi moralitas masyarakat luas kurang baik seperti kini, banyak yang menoleh ke pesantren dengan harapan akan diperoleh lulusan yang dapat ikut memperbaiki moralitas bangsa. Tetapi harapan itu saya anggap terlalu berlebihan kalau berharap semua tamatan pesantren mesti baik moralnya. Kalau tamatan pesantren hanya sampai tingkat sekolah menengah, maka sebetulnya yang akan membentuk akhlak atau karakter mereka ialah perguruan tinggi seperti universitas atau institut.

Kita perlu meninjau konsep pendidikan dalam buku "Adâb Al ‘Âlim wa Al Muta’allim" karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya berhenti pada tingkat kognitif saja tapi lebih dari itu, adalah pada pengamalan terhadap ilmu yang telah diperoleh oleh seorang santri yang disebut dengan ilmu bermanfaat (‘ilm nâfi’). Di sini tolok ukur keberhasilan seorang santri terletak pada seberapa jauh ia mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya pada kehidupan riil. Ketika kita berbicara tentang keikhlasan dan ketulusan berjuang, bagi Kiai Hasyim tidak akan berarti apa-apa kalau kata dan konsep tersebut tidak bisa kita introyeksikan dalam diri dan laku hidup kita.

Dengan ini sebenarnya Kiai Hasyim, dengan ukuran ‘ilm nâfi’-nya sejajar dengan pembentukan karakter yang tengah ramai diperbincangkan sebagai upaya untuk mengembalikan akhlak dan karakter bangsa yang luntur. Tujuannya adalah menciptakan manusia yang tak hanya mempunyai integritas keilmuan yang memadai tapi juga integritas moral yang akan menjadi modal utama ketika seorang santri kembali ke tengah masyarakat. Jadi, bagi Kiai Hasyim kemuliaan ilmu dan ulama terletak pada ulama yang berjuang di masyarakat yang sepenuhnya mencari ridha Allah, bukan demi harta, pangkat maupun nama besar. Ini oleh Kiai Hasyim disebut dalam karyanya sebagai khair al-bariyyah yaitu pencapaian pada derajat insan yang mulia. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya pesantren pada masa itu kita katakan sebagai laboratorium pendidikan karakter yang sangat sukses pada masanya. Namun, pada saat ini tentu tidak mudah untuk mengimplementasikan apa yang telah digagas Kiai Hasyim Asy'ari dalam karya beliau dan yang juga telah dipraktikkan.

Kepemimpinan Kaum Santri di Tingkat Nasional

Pada saat belajar di Mekkah para pemuda dari berbagai wilayah di Nusantara sudah banyak membahas perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Tetapi dalam tahap awal perjuangan kemerdekaan, harus diakui bahwa para kyai tokoh pesantren tidak banyak yang terlibat secara intensif. Yang banyak muncul ialah mereka yang belajar di lembaga pendidikan non-pesantren. Tidak banyak diketahui orang bahwa Bapak Nasionalisme Indonesia menurut Bung Karno adalah E.F.E Douwes Dekker (Setiabudi), cucu keponakan dari Multatuli, penulis novel Max Havelaar. Dialah yang mendirikan partai politik pertama yaitu Indische Partij pada 1912 yang punya semboyan "Indie voor Indiers" ("Hindia untuk orang Hindia). Semboyan itulah yang kemudian tumbuh menjadi Nasionalisme Hindia yang akhirnya menjadi Nasionalisme Indonesia melalui pengolahan Hatta dkk dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1924. Juga melalui Partai Nasionalis Indonesia Bung Karno di Bandung pada 1927. Dia membina partainya bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Mereka bertiga sudah memikirkan suatu bangsa yang bukan diikat sentimen primordial, kesamaan agama atau kesinambungan geografis, tetapi proklamasi sederhana rasa kesetiawanan bangsa yang membebaskan dan diserukan secara horizontal. Sumpah Pemuda yang dicetuskan dalam Kongres

Pemuda ke 2 tahun 1928 secara simbolis dianggap sebagai kelahiran bangsa Indonesia. Didalam pergerakan nasional sampai tahap ini, ketokohan ulama tokoh pesantren juga belum terlihat. Kepemimpinan ulama tokoh pesantren di tingkat nasional baru mulai menonjol di era pendudukan Jepang saat Pemerintahan Militer Jepang meminta KH Hasyim Asy'ari untuk memimpin Shumubu (semacam Kantor Urusan Agama) di Jakarta. Beliau menerima tetapi diwakili oleh KHA Wahid Hasyim. Jepang meminta beliau memimpin Shumubu karena memahami bahwa NU adalah organisasi Islam terbesar di Jawa. Bahkan pada Agustus 1945 pihak Jepang pernah mengutus Maruto Nitimihardjo ke Jombang untuk meminta KH Hasyim Asy'ari menjadi Presiden RI tetapi beliau menolak dan atas saran KHA Wahid Hasyim, beliau mendukung Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah itu banyak tokoh lulusan pesantren menjadi tokoh nasional khususnya sebagai menteri agama. Yang tidak menjadi menteri agama ialah KH Idham Chalid. Pada era 1990-an mulai banyak tokoh pesantren yang menonjol di tingkat nasional, misal Cak Nur dan Gus Dur. Puncaknya ialah saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden.

Sumbangsih Pesantren terhadap Kehidupan Politik di Indonesia

Sumbangsih pesantren terhadap kehidupan politik di Indonesia paling tidak terdiri dari tiga aspek : keterlibatan para santri dalam perang kemerdekaan dan di dalam parpol serta birokrasi pemerintah, pemikiran politik khususnya pada aspek hubungan Islam dengan negara dan kemunculan tokoh-tokoh pesantren didalam kehidupan politik, khususnya pada kepemimpinan lembaga negara tingkat nasional. Sumbangsih pada era pergerakan kemerdekaan telah kita uraikan di atas secara singkat. Pada aspek pemikiran politik telah banyak tokoh pesantren yang memberi sumbangsih besar bagi kehidupan politik Indonesia. Mulai dari KH Hasyim Asy'ari, KHA Wahab Hasbullah, KHA Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakkir, KH Ahmad Siddiq, Gus Dur, Cak Nur, Mahfud MD sampai tokoh muda seperti Yudi Latif.

Kalau pada era menjelang kemerdekaan para tokoh pesantren memperjuangkan negara Islam, hal itu adalah sesuatu yang wajar untuk kondisi saat itu. Toh akhirnya tokoh pesantren juga yang memikirkan dokumen historis tentang hubungan Islam dan Pancasila, yaitu KH Ahmad Siddiq dkk. Tokoh tamatan pesantren seperti Cak Nur dan Gus Dur adalah mereka yang mencoba mencari titik temu antara Indonesia, Barat (modernitas) dan Islam, yang antara lain muncul dalam ikhtiar menyelesaikan hubungan antara Islam dan hak asasi manusia (hak sipil dan politik). Untuk masalah hak ekonomi, sosial dan budaya, saya yakin ada tokoh tamatan pesantren yang akan muncul memperjuangkannya. Di dalam kalangan masyarakat sipil banyak tokoh alumni pesantren yang menonjol, antara lain: KH. Muhmmad Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. As'ad Syamsul Arifin, KH Ahmad Siddiq, KH. Zainal Mustofa, KH. Zarkasyi dan banyak lagi lainnya.

Sosok (Karakteristik) Pemimpin Ideal

Di dalam wacana dan kepustakaan ilmu kepemimpinan, didalam organisasi sosial, keagamaan, bisnis ataupun pemerintahan (sipil dan militer), karakter lebih diutamakan daripada kemampuan (kompetensi). Rumusan tentang karakter tentu amat beragam. Apa yang ditulis oleh KH Hasyim Asy'ari di atas tentang akhlak mungkin dapat dianggap mewakili pendapat kalangan pesantren. Perlu diketengahkan batasan tentang karakter dari berbagai pihak. Di Amerika Serikat, Konsep pendidikan karakter memiliki enam nilai etik utama, yang diterapkan pada sistem pendidikan karakter dan dikenal dengan sebutan six pillars of characters (Josephson, 2001) : 1. Trustworthiness (dapat dipercaya); 2. Respect (memperlakukan orang lain dengan hormat); 3. Responsibility (tanggung jawab); 4. Justice and fairness (adil dan seimbang); 5. Caring (perhatian dan kasih sayang); 6. Civic virtue and citizenship (sikap warga negara yang baik). Thomas Lickona dalam bukunya yang terkenal "Educating for Character". (1991) menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai- nilai etis. Dia menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar serta melakukan apa yang diyakininya benar - bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.

Dalam upaya itu, para siswa bisa mengidentifikasi perilakunya dengan watak para pahlawan dalam kesusatraan. Tentu juga bisa dari watak para tokoh panutan dalam keagamaan dan juga tokoh sejarah bangsa. Menurut Lickona, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Secara sederhana, kepemimpinan (nasional, daerah, bisnis, ormas) yang ideal membutuhkan pribadi yang mempunyai kemampuan dan karakter yang baik. Kemampuan itu tidak hanya bermakna mempunyai visi yang baik, tetapi juga mempunyai kemampuan membawa visi itu menjadi kenyataan. Pemimpin itu harus mempunyai kemampuan memilih tokoh-tokoh yang juga mampu di bidang masing-masing, artinya punya visi yang baik dan mampu mewujudkan visinya.

Dalam konteks kehidupan bangsa dan negara Indonesia saat ini, masalah-masalah utama kita ialah penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi dan penegakan HAM, reformasi birokrasi yang nyata bukan hanya di atas kertas. Perencanaan ekonomi yang tidak mengejar pertumbuhan saja tetapi juga bagus didalam pemerataan, pelayanan pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan. Pendidikan yang selama ini kita peroleh baru menyentuh aspek kognitif belum aspek afektif dan psikomotorik. Kebijakan pembangunan ekonomi masih perlu diubah orientasinya dengan melihat kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa pemihakan terhadap rakyat kalah oleh pemihakan terhaap pengusaha. Yang paling akhir tetapi paling utama ialah karakter calon pemimpin. Dari sekian banyak rumusan tentang karakter, yang tidak pernah terlewatkan ialah kejujuran. Justru di dalam masalah utama ini kita mengidap kelemahan yang merata. Yang perlu juga kita garis bawahi ialah sikap adil, berani dalam memperjuangkan kebenaran, sederhana, peduli terhadap orang miskin dan lemah.

 

*Naskah ini disampaikan dalam acara Seminar Nasional yang diselenggarakan BEM Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada 20 Desember 2011.

 


Post a Comment

0 Comments