Pondok pesantren adalah sistem pendidikan khas yang mempunyai
tujuan untuk membentuk seorang mukmin muslim yang senantiasa taat dalam
melaksanakan perintah agama serta menguasai ilmu tentang tata cara dalam
melaksanakan perintah agama tersebut. Ini sebagai wujud dalam upaya
menyempurnakan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT.
Lembaga Pesantren telah
lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk
dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai
historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan
dikembangkan kualitasnya. Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung
secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan
nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan
langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam kondisi bangsa yang
krisis moral seperti saat ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus
inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan
tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung
pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah
pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pesantren juga berusaha untuk mencetak para peserta didiknya
menjadi insan yang mandiri, yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan
kelompoknya, di mana pun mereka berada, dan di sektor mana pun dia berkarya dan
bekerja. Ini juga berkaitan dengan tugasnya sebagai pelaksana dan pencipta
kemakmuran di Bumi Allah, yang senantiasa membuat kebaikan dan kemanfaatan bagi
ummat dan lingkungan di sekitarnya.
Misi lain pondok pesantren adalah membentuk manusia yang mampu berbuat
kebajikan untuk tujuan amar-makruf dan nahi mungkar. Sosok yang diharapkan
adalah figur yang peka terhadap apa yang terjadi di masyarakat, serta mempunyai
kemampuan dan kemauan untuk merubah hal yang tidak baik di masyarakat yang
bersangkutan, sehingga tercipta keadilan, keamanan dan ketertiban di
masyarakat. Sosok tersebut juga diharapkan dapat menjadi pemimpin yang bisa
melepaskan bangsa dan negara ini belenggu keterpurukan.
Jika kita menoleh ke belakang, Indonesia telah merasakan
kontribusi pesantren di dalam kancah politik. Santri sebagai produk pesantren
berperan aktif dalam kepemimpinan di negara ini. Integrasi antara
kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal
dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam
kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas.
Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.
Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan
nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di
banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta
sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan
politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini
justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.
Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan
membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu.
Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol
santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih
sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis
kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.
Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang
menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi
santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua
calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara
figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan
pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.
Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo, disebut sebagai
pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius
hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi
sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic
politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme
religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius
adalah antropo-teosentrisme.
Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa
yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil
diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang
lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok
masyarakat.
Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan
serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji.
Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini
mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional
relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.
Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari
sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah
terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut
kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum
santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti
yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan
kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas
mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah
integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan
mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak
melakukan pelanggaran terhadapnya.
Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan
keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa
kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya
dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun
akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung
oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam
sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral
akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai
kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah
satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan
yang lebih baik.
Itu sebabnya, ketika penulis menjadi pengurus Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyelenggarakan
Seminar Nasional dengan tema “Santri dan Kepemimpinan Nasional;
Menelisik Peran Pesantren dalam Dunia Politik di Indonesia” pada
Selasa, 20 Desember 2011. Acara tersebut dihadiri langsung oleh KH. Salahuddin
Wahid, atau yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah. Cucu Hadratusy Syaikh
Muhammad Hasyim Asy'ari tersebut membedah kontribusi pesantren dalam menentukan
arah bangsa dan negara ini dalam konteks historis dari masa ke masa.
0 Comments