Indonesia kini
bukan hanya sebuah daerah yang di rajang perang, tapi juga sejumlah teka-teki.
Teka-teki itu semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah “Indonesia” yang
hendak dipertahankan. Indonesia yang dulu hingga kini menjadi ladang pengabdian.
Kata para
jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus pertahankan. Kata
para “ulama”, agama yang ada di dalamnya harus dibela. Tapi apa arti “wilayah”
sebuah negeri? Apa pula “agama” itu? Kita terkadang lupa “wilayah” adalah
sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan
sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia
mempertahankan ruang itu sebagai membela milik sendiri.
“Milik” pada
akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah.
Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak
menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang
kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini
disebut “Indonesia”.
Atau
sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut
“Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang
sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu
berarti, hingga kepentingan-kepentingan perlu dipertahankan? Benarkah begitu
penting membela “agama”, hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan?
“Agama”—kata
ini pun terkadang kita tidak tau dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup
pengertian yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas. “Agama”
bukan sekadar persoalan spiritual. Ia juga bisa berarti sumber perdamaian dan
keseimbangan sosial, termasuk kehidupan dan khazanah kebudayaan. Apa artinya
“agama” yang dibela bila amarah jadi terbakar, dan suatu masyarakat berantakan? Apa
artinya “agama” jika kelompok manusia yang berbeda saling bertikai?
Tapi mungkin
juga yang hendak “dipertahankan” dan “dibela” adalah sebuah “Indonesia” sebagai
sejarah yang berharga. Sejak kecil, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri
yang terbentang dari “Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Nusantara
yang menyumbangkan yang mereka miliki untuk Republik Indonesia yang baru
berdiri, tentang kolonialisme yang justru mempersatukan orang-orang di
Nusantara.
Sejarah itu
sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa lalu
selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan
dan juga apa yang mengerikan. Sejarah tentang sebuah “Indonesia” dapat berisi
dokumen yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang
berbeda—niat yang membuat berIndonesia adalah sebuah keinginan yang tulus
melupakan “ikatan-ikatan” kesetiaan lama, untuk membangun sebuah Indonesia baru;
sebuah “Indonesia” yang masih bercita-cita, sebuah “Indonesia” yang pandai berkompromi,
sebuah “Indonesia” yang percaya kepada keIndonesiaan, sebuah “Indonesia” yang harus dibanggakan.
0 Comments