Terdapat hubungan dialektis
antara Kiai dengan santri ataupun masyarakat. Masyarakat
dengan berbagai nilai dan norma sebagai realitas sosial merupakan suatu entitas
yang berdiri sendiri (independen) di luar sana, dan terkadang bisa mempengaruhi
individu. Diri individu pada konteks ini juga memiliki potensi yang berpengaruh
atas tindakannya, tetapi tidak menentukan tindakannya tersebut. Ia terlebih
dulu menentukan kerangka realitas sesuai dengan penafsirannya.
Jelas tindakan individu
tidak bersifat mekanis dan deterministis, sebab ia bisa menentukan tindakannya
yang akan diperbuat. Akan tetapi di sisi yang lain, realitas sosial bisa untuk
memaksa individu mengikuti kemauan alurnya sebagai bagian dari dirinya. Konteks
ini memang menjadi bagian dari teori sosiologi yang pada faktanya mengkaitkan
antara hubungan sosial dengan kenyataan individu.
Robert D. Putnam,
membingkai keadaan ini sebagai suatu jaringan sosial yang memiliki nilai kontak
sosial berpengaruh terhadap produktivitas individu dan kelompok.
Sehingga mereka bisa menyalurkan gagasannya satu sisi ada suatu teori yang
memiliki pandangan bahwa esensi kehidupan sosial terletak pada kemampuan luar
biasa manusia untuk mengelola apa yang terjadi di sekitar mereka— kemampuan
mereka untuk melekatkan makna pada realitas—dan kemudian memilih untuk
bertindak menurut cara tertentu dalam intepretasi ini.
Pandangan di atas merupakan esensi dari teori tindakan. Akan tetapi, gagasan yang diusung dalam melakukan
konstruksi masyarakat tidak serta merta menjadi bagian “yang
dipaksakan” sesuai dengan nilai-nilai normatif yang inovator yakini. Tetapi ia
muncul dengan proses dialektika kesejarahan yang ada, sehingga gagasan
tersebut didialogkan oleh inovator dengan realitas konkrit yang ada (being),
serta meruang dan mewaktu menjadi bagian sejarah kemanusiaan. Inilah yang mungkin
sejak Descartes sampai Kant ketika memandang dunia yang
dipahami sebagai sebuah konstruksi epistemologis.
Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann pada konteks ini menyatakan bahwa kesadaran selalu intensional;
ia selalu terarah kepada obyek. Kita tidak dapat memahami apa yang
dianggap sebagai semacam substratum (dasar) dari kesadaran itu sendiri,
melainkan hanya kesadaran tentang sesuatu. Di mana gagasan-gagasan tersebut
akhirnya bermuara pada munculnya masyarakat yang sesuai dengan nilai normatif
mereka.
Namun kolaborasi rasional
dalam perencanaan dan tindakan antara Kiai pesantren dan anggota
masyarakat tersebut hampir tidak mungkin terwujud tanpa ada proses penyaluran
terhadap masyarakat dalam bahasa Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
disebut sebagai proses internalisasi.
Sedangkan Kenneth D. Benne
pada hal ini lebih menekankan pada kemampuan inovator dalam menemukan metodologi
yang dapat mengembangkan pemahaman tentang faktor-faktor rasional pada diri
anggota dan pemimpin kelompok tersebut. Pola ini merupakan bentuk dari proses konstruksi
realitas yang dalam pandangan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dinyatakan bahwa
bahwa tindakan bebas individu yang bersifat voluntaristik yang
menghasilkan realitas (struktur). Faktanya, usaha yang dilakukan oleh Kiai dalam berbagai aspek mampu mendorong masyarakat untuk searah
dengan visinya.
Semua aspek yang dilakukan Kiai
pesantren terformulasi secara fundamental pada sumberdaya sosial yang
di dalamnya tersimpul komponen kepercayaan (trust). Di mana varian ini merupakan konfguratif sosok inovator yang dilihat oleh masyarakat ketika ia menyampaikan dan mengimplementasikan gagasan-gagasannya, sehingga dengan gagasan tersebut ia
memobilisasi masyarakat menuju masyarakat yang mandiri secara sosial-ekonomi.
Hingar bingar 2019 mau
tidak mau menyeret Kiai sebagai pemimpin agama untuk terlibat, baik hanya untuk
dimintai pendapat, sebagai pendulang suara hingga terjun langsung ke kontestasi
5 tahunan tersebut. Yang pasti, dengan modal sosial dan kepemimpinan spiritual
yang dimiliki, Kiai memiliki kepercayaan yang tinggi dari masyarakat di
berbagai bidang kehidupan sosial. Wajar apabila varian ini
sangat mempengaruhi polaritas mobilisasi Kiai pesantren untuk mewujudkan
masyarakat yang sesuai dengan visinya. Kemampuan ini bisa
dimanfaatkan untuk membawa gagasannya pada dunia praksis.
Maka, modal sosial dan
kempemimpinan Kiai, berimplikasi pada power yang amat kuat, baik sebagai
konsultan atau sebagai aktor politik yang terjun sebagai pengurus dan aktivis
partai politik tertentu. Proses tersebut secara langsung melibatkan elite
pesantren. Keterlibatan ini memberikan peluang politik yang lebih besar bagi Kiai
untuk mendapatkan akses politik atau mencapai jabatan politik. Posisi tersebut
diharapkan memberikan ruang politik untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat
dan kepentingan pesantren, karena jabatan-jabatan politik turut menentukan
kebijakan dan program-program pembangunan.
Modal sosial Kiai dan
dinamika politik merupakan kajian menarik dalam lanskap penelitian politik
Islam di Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa seorang Kiai tidaklah dimaknai
sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang keagamaan saja, akan tetapi Kiai juga
merupakan pembentuk ruang kuasa sosial-poltik dalam masyarakat.
Dari kerangka inilah, modal
sosial tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan
kehidupan sosial pesantren dan masyarakat, tetapi juga memiliki nilai
guna dalam lingkaran kekuasaan. Pembentukan fenomena interaksi sosial Kiai
pesantren dengan masyarakat yang mendorong masyarakat pada idealitas perubahan
sosial, sangat perlu ditopang oleh jejaring sosial yang di dalamnya terdapat
kepercayaan sebagai fondasinya. Penekanan masyarakat pada konsensus berdasarkan
jaringan interkoneksi kepercayaan di antara warga, keluarga, organisasi jasa,
denominasi agama, dan asosiasi sipil. Dengan cara yang sama pula, “legitimasi”
masyarakat didirikan atas “kepercayaan” kepada otoritas Kiai sebagai
generalisasi.
0 Comments