“Knowledge is power”.
Semboyan yang dipopulerkan oleh Francis Bacon ini sering digunakan oleh
kebanyakan orang dalam kajian keilmuan. Terkesan sederhana, namun tersirat
ribuan makna. Konon dengan semboyan tersebut, dunia bisa mencapai peradaban
tertinggi di sepanjang sejarah manusia. Namun, Michael Foucault, memberikan
pandangan berbeda dengan; “power is knowledge”_nya. Ia berdalih bahwa di era
ini, kuasa akan sesuatu bisa berimplikasi pada perkembangan wacana.
Pendidikan dan kekuasaan adalah dua sisi penting dalam sistem
sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dua
segi yang sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah. Padahal, keduanya
saling melengkapi; bahu-membahu dalam proses pembentukan karakter bangsa.
Satu sisi, pendidikan selalu sepihak; disajikan berdasar
keinginan penguasa yang selalu ingin di puncak. Karenanya, pendidikan berkait
erat dengan (meninjam bahasa Foucault) “kuasa politik”. Politik adalah
kebijakan, tapi dalam situasi lain ia adalah kekuasaan. Karena itu, Ivan
Illich, menggugat pendidikan formal. Selain karena afiliasianya dengan
kekuasaan, peningkatan ilmu selalu dikaitkan dengan keberhasilan. Imaginasi
murid dilatih untuk menerima jasa, bukan nilai. Pelembagaan nilai akan
mengakibatkan polusi fisik, polarisasi sosial dan impotensi psikologis.
Sementara, praktik politik dewasa ini telah melupakan perannya
sebagai “kekuatan” pendidikan. Pendidikan hanya dipandang sebagai sebuah tujuan
dan bukan sebagai proses belajar. Karenanya, perubahan sosial yang merupakan
muara pendidikan cenderung terabaikan. Semua tergantung kepada penguasa dalam
menentukan kebijakan. Sebagai contoh; pelajaran sejarah adalah sebuah pelajaran
yang sangat rentan terhadap manipulasi pendidikan. Sejarah bisa ditulis oleh
"yang menang", bukan berdasarkan yang benar.
Fakta sejarah telah memperlihatkan pertautan antara pendidikan
dan kekuasaan. Pada periode 1908-1965 ditandai dengan kehadiran
pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka
mengusahakan Indonesia merdeka. Sebaliknya dalam periode antara 1965 dan 1998,
kita saksikan bersama kehadiran pelaku politik yang tidak memiliki idealisme
patriotik, atau kalau memilikinya, mereka tidak mampu menyatakan dengan etika
yang baik.
Timbul kontras yang begitu tajam dari kedua periode itu. Pada
era pra-kemerdekaan dan revolusi, dunia politik dipenuhi oleh para kalangan
terdidik, sedangkan pada era pasca-revolusi, dunia politik dihuni oleh golongan
yang hanya mampu menggalang dukungan. Selanjutnya, adanya perbedaan “semangat
zaman”. Dalam periode 1908-1965 semangat melawan dan membebaskan tumbuh dengan
baik, sedang dalam periode 1965-1998 semangat melawan dan membebaskan ini
diperlemah secara sistematis, dan akhirnya menjadi lumpuh dan statis.
Dari generalisasi tersebut, dapat dilihat bahwa pendidikan bukan
satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat
inter-generasional dalam budaya politik. Namun tidak juga menyangkal tesis
tentang pentingnya peranan pendidikan dalam pembinaan budaya politik yang baik.
Bersandar pada substansinya, pendidikan mestinya membawa nilai.
Sebuah nilai akan menyadarkan peserta didik bahwa pendidikan bukanlah “jasa”,
melainkan sebuah proses sepanjang masa. Anthony Giddens, memperjelas bahwa
pendidikan mempunyai hubungan yang sangat kompleks dengan pemerataan.
Pendidikan dapat membantu penegakan keadilan dan mengurangi ketimpangan,
terutama pada kelompok pinggiran.
Dalam sebuah perspektif, penulis memberikan pandangan, bahwa
tujuan akhir pendidikan adalah misi pembebasan masyarakat dari kebodohan,
kemiskinan dan penderitaan ⎼ bukan untuk membuat
para penguasa "nyaman". Pemerintah sebagai pemegang kuasa politik ⎼ yang juga sebagai pengemban kuasa pengetahuan ⎼ harus menelurkan kebijakan yang bisa membumi, sehingga
kesempatan untuk memperoleh pendidikan bisa dirasakan semua manusia di Republik
ini.
Selamat
hari (ber)pendidikan!
0 Comments