Bagi seorang ksatria, rawarontek
adalah sebuah ilmu kebal dengan penempaan kanuragan yang dilakukan dengan tapa,
meskipun terkadang mustahil. Bahkan semakin lama sering semakin absurd apakah
seorang ksatria tidak berbeda dengan ksatria yang lain dalam hal kesaktian.
Rawarontek bisa mudah, ketika kita seraya memandang kagum pada
ajian langka itu. Bahkan kita bisa kehilangan kepekaan terhadap manusia dan
alam. Di masa lampau, rawarontek tak sekadar sejenis kanuragan dengan deretan
tahap yang wajib dilakukan. Ia selalu mengandung kekuatan. Kekuatan yang
mengalahkan manusia tapi sekaligus menempatkannya di atas takhta.
Bayangannya adalah Bhisma yang gugur bersandar pada puluhan anak
panah yang menembus tubuhnya; Tan Malaka yang dibuat “mati”; dan Soekarno yang
remuk berbenturan dengan struktur kapitalisme global.
Kita memang umumnya tergetar dengan gugurnya Bhisma, kematian
Tan Malaka, dan tergulingnya Soekarno. Namun kita sering lebih terpesona oleh
kehebatan di sana. Kita lupa akan rasa sakit yang menyayat dalam luka dan
kekalahan. Dengan segera, tokoh besar itu pun menjadi orang yang diagungkan.
Setiap 5 tahun ada peralihan kuasa, di mana etika diabaikan.
Barangkali ini benar, tapi sebagian dari kita agak berbeda menilainya. Setiap
kekuasaan seperti ”petaka”, tatkala pemegang takhta enggan ditanya, tak mau
disapa. Barangkali karena mereka telah mengalami transformasi dari seorang
(mestinya) berbakti menjadi seorang sakti.
Kita sering melihat ksatria dengan paras muka yang cerah dan
seakan-akan dilingkari kesantunan. Ada hiasan dalam tutur kata, ada gelar
bangsawan pada busananya. Dan tiap kali kita berdiri di depan kraton itu, atau
tiap kali kita berbicara kepadanya, kita seperti memasuki sebuah ruang kosong
tanpa suara. Seperti kurushertra setelah kemenangan Pandawa atas Kurawa.
Dan semua diam. Karena kata-kata terbungkam. Mereka yang duduk
di sana nyaman, karena senjata benar-benar tak mempan. Rawarontek benar-benar
ajian yang mutlak ada; ia terencana. Entah dari mana, ia menjadi ilmu yang kini
datang kemudian matang.
Tidakkah kita lupa bahwa seorang Bima sebenarnya kebal terhadap
senjata? Bahkan ia adalah seorang yang kuat; tak kenal kalah, ketakutan, dan
rasa sakit. Bahwa semua itu ada pada dirinya, ia tetap patuh terhadap Guru
Drona, ia tetap segan pada para Pandawa, bahkan ia tetap mendengar para sudra
di Hastinapura.
Tapi siapa yang memandang tokoh seperti Bima (juga Bung Karno
atau Tan Malaka) dengan pandangan itu akan menghentikan semua sejarahnya?
Manusia yang begitu gagahnya hingga tidak kenal suatu kesedihan, atau
kebimbangan, atau bahkan pamrih. Mereka tak bisa dihilangkan.
Namun kini, sejarah – yang mengandung pengorbanan yang sangat
besar itu – belum bisa diteladani. Takhta ibarat mesin yang hanya mengikuti
satu gerak yang telah diprogram. Kekuatan ibarat suatu ungkapan tentang banyak
hal yang tak adil. Barangkali karena semua sudah terkendali. Entahlah!
Kadang kita ingin membayangkan sebuah bangsa tanpa lingkaran
kekuasaan. Kita membayangkan lahir seorang yang menderita tatkala di atas
takhta. Seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tak tersandera. Seorang
dengan jiwa besarnya; tetap lembut, tetap memandang ramah manusia, tetap kuat
meski tak bertangan besi.
Duh, Gusti..
0 Comments