Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

UU BHP


Pada tanggal 17 Desember 2008 lalu pemerintah telah menetapkan dan  mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Undang-Undang yang katanya dapat meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini. Institusi pendidikan di Indonesia pun berubah, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum. UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi.
Memang, hal ini memberikan keluwesan bagi suatu tingkat pendidikan tertentu untuk menyelenggarakan pendidikannya. Namun, Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi. Bagaimana tidak, asumsi yang muncul adalah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kepada suatu tingkat pendidikan. Jelas, hal tersebut bertentangan dengan tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Imbasnya, lembaga pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis-komersil ketimbang pada tujuan kritis yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra  terbaik yang dapat membangun bangsa ini.
Ahmad Tafsir, berpendapat bahwa salah satu penopang pendidikan adalah ketersediaan dana. Nah, apabila pemerintah melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan di Negara ini, setiap institusi pendidikan berlomba-lomba mencari donasi demi tercapainya tujuan mereka. Kondisi tersebut  semakin parah  jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang telah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi.
Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada. Hal ini membuka peluang bagi para kaum kapitalis asing untuk “berpartisipasi” dalam pendidikan di Indonesia. Sehingga, terjadilah “penjajahan pendidikan”, kelas-kelas sosial dalam masysarakat (stratifikasi sosial) tak terelakkan, dan kaum proletar pun semakin tertindas dan terbelakang.
Ironis memang. Tatkala pemerintah perlahan-lahan berlepastangan dari pendanaan pendidikan, pihak asing justru perlahan-lahan diberikan "kemudahan" untuk mendanai pendidikan negeri ini. Jika seperti ini, secara tidak langsung pemerintah telah melegalkan jalan bagi pihak asing untuk mulai mengambil alih otoritas pendidikan Indonesia. Sektor yang sangat penting seperti pendidikan dalam suatu negara dikuasai oleh modal asing.
Lebih dari itu, komersialisasi pendidikan dapat membatasi hak-hak masyarakat, termasuk golongan tidak mampu untuk menikmati pendidikan yang sangat dibutuhkan oleh semua warga Republik Indonesia tanpa terkecuali. Dan pada akhirnya, BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.
Jika ini terus berlanjut, maka yang terjadi adalah dehumanisasi pendidikan (pendidikan yang tidak memanusiakan manusia). Ketidakadilan, stratifikasi, eksploitasi, penindasan, dan kekerasan tak mungkin lagi dapat dihindari. Paulo Freire, menegaskan bahwasanya pada hakikatnya tujuan pendidikan adalah humanisasi (memanusiakan manusia). Oleh karenanya, pendidikan harus humanis, tanpa diskriminasi dan stratifikasi.
Apabila pemerintah memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan kepada institusi pendidikan, seyogyanya tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan tetap dilaksanakan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat tidak mampu untuk menikmati pendidikan yang sama dengan masyarakat kelas atas. Pun demikian dengan bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan, tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ