Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

MENULIS


Sebelum masuk pada pokok tentang bagaimana kiat menulis, akan dipaparkan terlebih dahulu konsep berpikir filosofis di balik semua kegiatan bertajuk menulis. Manusia memiliki nilai lebih dibanding binatang. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihannya, yakni memiliki ratio (pikiran) dan kemampuan untuk “merekam” segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Manusia, menurut Gabriel Marcel, tidak hanya memiliki kemampuan mimesis (meniru kembali apa yang sudah berlalu), tapi juga dilengkapi kemampuan untuk mencipta, berkreasi justru karena punya potensi daya pikir dan daya rekam yang kuat.  Kemajuan teknologi teknologi telah membuat lompatan jauh ke depan, dari semula hanya terekam dalam pikiran, kini bisa terekam dalam format artefak, foto, tulisan, dan kemudian dalam format digital.
Jutaan informasi kini bisa genggam dalam kepalan tangan, karena data itu telah terekam secara digital. Nah, menulis merupakan proses kreatif. Artinya, menuangkan rekaman dan hasil pikiran manusia dalam bentuk  “padat”, hingga kekayaan intelektual itu kini menjadi “milik bersama”.
Nalar Kritis dan Pengembangan Diri
Untuk mengasah nalar kritis dan pengembangan diri, menulis menjadi salah satu kredit poin yang layak diperhitungkan. Dengan menulis, orang bisa menarasikan pergumulan ide dan pengetahuan. Kapabilitasnya sebagai “orang intelek” pun bisa diketahui publik melalui tulisan-tulisannya.
Tentu saja, kategori tulisannya harus intelek juga. Bukan sekedar tulisan dengan tujuan untuk bernarsis ria. Menulis artikel atau opini adalah jembatan paling efektif untuk  bisa menunjang eksistensi diri dan tentu untuk menjadikan dunia pergerakan agar semakin dinamis, progresif dan humanis.
Jika kita berpikir, maka kita akan merasa, jika kita merasa maka kita akan sadar, dan jika kita sadar, maka kita akan memberontak (meminjam istilah Albert Camus). Dengan begitu, semangat kita menulis akan bangkit, dan tentu saja dunia pergerakan tidak hanya dihisasi dengan demonstrasi saja, tapi juga dengan nuansa intelektual yang lain, yakni menulis.
Sebagai insan intelektual, tulisan juga menjadi wahana untuk ekspresi diri dan menyampaikan aspirasi. Terlebih, jika berhasil dipublikasi media massa, tulisan akan mengerek positioning yang bersangkutan secara sosial. Social impact inilah yang bisa mendorong motivasi dan intensi kita untuk sekarang memulai belajar menulis.
Menulis; Waktu, Mau, dan Insentif
Pesimisme selalu menghantui benak kita. Ada keinginan untuk membuat gerakan, membagi pengetahuan, dan menjadi pewarta. Panggung dan segala properti sudah siap, kita punya buku sebagai panggungnya dan segala isu sehari-hari sebagai propertinya. Tapi, kita sering diterjang kegalauan yang amat dashyat. Kita tidak bisa menulis.
Kita pesimis  akan kemampuan kita dalam menulis. Pesimisme kita sungguh merajalela sehingga kita merasa butuh untuk dilatih. Maka, di hari Minggu yang harusnya jadi hari tidur berjamaah itu, kita malah ingin berkumpul. Berkumpul untuk dilatih. Dilatih untuk menulis. Dilatih untuk memelihara pesimisme dari kacamata yang berbeda.
Di tengah pesimisme, kita harus mencoba mengkritisi keadaan ini. Apa betul kita ini tidak bisa menulis? Lihatlah ke dalam perpustakaan kampus, berpuluh-puluh skripsi beraneka jenis jilidan nongkrong dengan rapi di rak. Coba kita login ke twitter! Paling tidak setiap 3 menit sekali pasti ada kicauan baru nongol di timeline. Coba buka Facebook! Setiap detik akan ada status baru dengan gaya bahasa yang berbeda-beda. Yang terkini, lihatlah instagram (IG)! Setiap saat akan ada gambar berikut deskripsinya yang terposting dengan ragam ekspesi.
Sebenarnya setiap orang berbakat menulis. Bukan hanya berbakat, setiap orang bisa menulis. Dan tanpa disadari, kita sangat  produktif  menulis!. Menulis itu bukan soal kemampuan, karena sejatinya kemampuan itu bisa dilatih. Namun, untuk latihan itu butuh waktu. Dan yang lebih mendasar lagi adalah, kemauan. Untuk menimbulkan kemauan melakukan sesuatu, di antaranya adalah menulis, kita harus tahu dengan jelas apa tujuannya, apa insentif buat kita untuk melakukan itu. Insentif di sini bukan soal value of money, tapi apa yang kita dapatkan jika kita menulis.
Aksara Pengetahuan
Jika menulis adalah fungsi dari Waktu, Mau, dan Insentif, maka diferensial dari menulis adalah hasil otak-atik dari unsur-unsur menulis. Ini adalah refleksi. Ada beberapa unsur dalam menulis, yaitu: Pertama, existence. Dengan menulis berarti kita sedang membuktikan eksistensi kita. Kita ini ada dan hidup. Kita pernah punya pemikiran dan imajinasi akan isu-isu tertentu. Dengan dituliskan, pikiran dan imajinasi kita ini akan tetap hidup meski raga kita sudah mati.
Kedua, passion. Menulis itu adalah soal hasrat. Hasrat untuk menulis. Hasrat untuk berbagi. Hasrat untuk agak narsis. Hasrat untuk menceritakan hasrat kita yang lain. Ada Ivan yang berontak akan metode mendidik di sekolah tempat dia belajar; Lalu ada juga Koesno yang ingin menginspirasi pemuda-pemudi di Indonesia; pun pula ada Fadjroel  yang merasa diuntungkan dengan adanya demonstrasi. Passion ini yang harus diolah dan dipaksa untuk dituangkan dalam bentuk tulisan.
Ketiga, intelectual activity. Menulis itu ajang pembuktian intelektualitas, bahwa otak kita ternyata ada isinya, bukan cuma "onggokan" jaringan dan lendir yang berdenyut tanpa arti. Kita termasuk orang yang tidak bisa bicara dan menulis tanpa data pendukung. Data ini yang akan diolah otak menjadi informasi, dan aplikasi dari informasi ini yang bisa disebut sebagai pengetahuan. Menulis berarti adalah aktivitas untuk merubah informasi yang kita punya menjadi sebuah pengetahuan. Semakin banyak yang kita tulis, berarti, semakin banyak informasi yang kita punya dan semakin banyak pengetahuan yang kita bagi.
Keempat, sacrifice. Ini adalah turunan langsung dari fungsi Waktu dalam menulis. Ada opportunity cost  yang akan ditanggung dari aktivitas menulis. Ketika kita merasa sedang “on” menulis, maka kita hendaknya meluangkan waktu, pikiran, dan kesempatan untuk menggerakkan otak kita untuk kemudian diuraikan dalam bentuk tulisan. Artinya, ada opportunity cost yang kita tanggung untuk, misalnya: jalan-jalan PS-an, atau nonton, shopping, dsb.
Kelima, motivation. Menulis itu butuh motivasi. Entah motivasinya sekadar ingin curhat hingga ingin terkenal. Dengan curhat mungkin mendapatkan kepuasan sendiri setelah “mengeluarkan” kegalauannya dalam bentuk tulisan. Sedangkan bagi yang ingin terkenal mungkin akan senang jika suatu saat nanti, ada yang mengutip tulisannya.
Menulis adalah fungsi linear dari pengetahuan dan iman. Unsur menulis di atas adalah idea, sebuah integrasi pengetahuan yang kita miliki. Dengan demikian, pengetahuan akan menjadi berlipat tak terhingga. Pengetahuan yang dilipatgandakan dengan menulis dan didasari keimanan yang konstan, akan menghasilkan tulisan yang luar biasa. Tulisan yang inspiratif, edukatif, emosional dan mencerdaskan.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ