Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…! Begitulah pekik takbir
yang diteriakkan oleh sebuah komunitas islamis dengan beragam ciri khasnya. Dalam setiap gerakannya, mereka senantiasa
berkoar, bertindak keras, bahkan anarkis kepada siapa saja yang tidak sesuai
dengan ideologi mereka. Dengan dalih jihad fi sabilillah, mereka
mengatasnamakan Islam dalam setiap gerakannya. Tanpa pikir panjang, jihad
dilakukan untuk memberantas aroma “kekafiran”. Tak ayal, stigma negatif pun
tersemat kepada Islam. Banyak yang mengatakan Islam tidak lagi cinta kedamaian,
namun tidak sedikit yang mengklaim Islam adalah teroris.
Indonesia yang notabenenya Negara berpenduduk mayoritas
beragama Islam, menjadi pusat perhatian dunia intrnasional pasca tragedi-tragedi miris yang menimpa.
Bisa kita review memori kita, tragedi
bom Bali, bom Kuningan, dan masih banyak lagi tragedy yang menggemparkan
seantero Negara ini dan bahkan dunia. Dari kejadian-kejadian itu, banyak korban
berjatuahan, tak hanya target pemboman, orang-orang tak berdosa pun ikut
terbenam oleh bom berdaya ledak tinggi.
Siapakah dalangnya? Dari investigasi polisi, pelaku
pemboman adalah kelompok Islam garis keras yang dipelopori oleh Noordin M. Top,
Dr. Azhari, Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas, dan para koleganya. Mereka terlibat
jaringan teroris di Indonesia. Akhirnya, sebagian dari mereka pun tertangkap
dan diancam dengan hukuman mati. Namun, mereka tetap tenang seolah tak terjadi
sesuatu. Alih-alih menyesal dengan
perbuatan keji mereka, mereka justru menampakkah wajah gembira dan tanpa beban.
Ya, mereka menganggap bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan jihad
memperjuangkan agama Islam. Di hadapan media, mereka mengatakan Amerika sebagai
penjajah, oleh karenanya harus dibasmi.
Dari tragedi itu, Indonesia
mulai berbenah. Pemerintah berusaha keras memberantas terorisme dan
mengembalikan citra Indonesia di mata dunia. Namun tindakan terorisme kembali
mengoyak bangsa ini. Masih segar dalam benak kita, peristiwa pemboman yang
terjadi di dua hotel ternama di Jakarta, yaitu hotel JW Marriot dan Ritz
Carlton. Tragedy nahas tersebut menelan banyak korban jiwa, dan lagi-lagi
orang-orang tak berdosalah yang menjadi tumbal. Lebih dari itu, tragedy
tersebut kembali mencoreng nama Negara ini. Dapat kita bayangkan, jika saja tragedy itu tidak
terjadi, Indonesia terutama tim nasional sepak bola kita akan kedatangan tamu
istimewa, sebuah klub raksasa Eropa yang sarat akan pengalaman dan kenyang akan
gelar yakni Manchester United (MU). Timnas Indonesia dijadwalkan menjamu MU di
Stadion Gelora Bung Karno Senin, 20 Juli 2009. Sebelumnya, mereka (MU) akan
disambut dan menginap di hotel Ritz Carlton. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi
bubur. Dengan alasan keamanan pemain, pihak MU membatalkan lawatannya untuk
singgah di Indonesia.
Sementara itu, peristiwa penyergapan teroris yang diduga
Noordin M. Top di Temanggung, Jawa Tengah, sedikit membuat tenang masyarakat.
Memang, penangkapan tersebut setidaknya mengurangi jaringan teroris di Negara
ini, tetapi, hal itu justru akan membuat Noordin dan para koleganya percaya
diri. Mereka merasa eksistensi mereka diperhatikan. Imbasnya, mereka akan terus
menebar terror. Hal itu terbukti dengan teror bom yang kembali terjadi dalam
beberapa waktu lalu. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini teror dilakukan dengan
kiriman paket berupa buku, atau yang lebih dikenal dengan istilah “bom buku”.
Bom tersebut diletakkan di dalam sebuah buku yang kemas menyerupai paket buku
yang berisi surat permohonan penulisan kata pengantar pada buku tersebut. Ulil
Abshar Abdalla, salah seorang cendikiawan Muslim dan tokoh Jaringan Islam
Liberal (JIL), menjadi sasaran teror bom buku tersebut. Mengingat Ulil
merupakan sosok kontroversial, tak heran, sebuaah paket buku berisi bom pun
dikirimkan kepadanya. Sebagai intelektual muda, Ulil sering mengeluarkan statement
terkait paham keislaman yang dianggap mereka nyeleneh, bahkan mereka menganggap
Ulil sesat dan menyimpang dari ajaran Islam.
Dari rentetan kejadian tersebut, dapat kita cermati bahwa
begitu dangkalnya pemahaman para pelaku teror tentang Islam. Semangat
konservatisme yang mereka usung sering kali gagal menciptakan tujuan Islam
sebagai agama perdamaiana dan progresif. Dalam alur sejarah Karen Amstrong mencatat,
Nabi Muhammad membawa ajaran Islam dengan tanpa kekerasan. Ada beberapa hal
yang patut kita simpulkan dari perjangan Nabi adalah bahwa: Pertama,
Nabi tidak pernah menaklukkan musuh-musuhnya dan menuntut pembentukan
kemenangan itu dengan jalan kekuasaan negara yang absolut. Memang ada beberapa
barisan yang kurang lebih bisa dikatakan sebagai militer untuk melindungi
komunitas dalam setiap kali pertempuran. Tapi itu bukan semata didasarkan
karena tuntutan kekuasaan, melainkan karena desakan alamiah tradisi kesukuan. Kedua,
Islam yang dimaksudkan Nabi adalah agama baru bagi warga Arab yang benar-benar
memihak kaum lemah dan terpinggirkan. Perlawanan Nabi terhadap kaum Yahudi atau
suku Qurays pada waktu itu bukan dilandasi sikap perbedaan agama atau kesukuan
melainkan karena secara kebetulan mereka adalah orang-orang kaya yang menguasai
harta rampasan perang dan memonopoli pasar dagang di kota Mekkah.
Alhasil, Islam dalam hal ini tidaklah sebagai agama yang
netral atau cenderung a-sosial yang melepas tanggung jawab terhadap situasi
keberadaannya. Karena misi Islam ini cenderung sesuai dengan kondisi zaman para
pengkaji sejarah banyak yang mengatakan Islam adalah agama progresif. Suatu
ajaran pembaruan bagi bangsa Arab saat itu. Memang pada dasarnya apa yang
dilakukan oleh Nabi dalam hal ini masih dalam bentuk sederhana (belum
sistematis dan se-ilmiah sistem sosial sekarang).
Hasyim Muzadi,
berpendapat bahwasanya dari pelbagai tindakan terorisme di Indonesia, kita
tidak boleh serta-merta menjustifikasi Indonesia sebagai “sarang teroris”.
Beliau mengagaskan bahwa Indonesia bukanlah sarang teroris melainkan adalah “victim
of terrorism” (korban terorisme). Tidak hanya itu, kita tidak seharusnya
terkontaminasi wacana-wacana yang mengatakan Islam adalah teroris. Sebagai
warga Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu kita tidak setuju
dengan hal tersebut. Dalam sejarah disebutkan Islam masuk ke Indonesia melalui
budaya. Sehingga tidak menutup
kemungkinan proses Islamisasi yang terjadi juga melibatkan tranformasi budaya
timur tengah.
Lihat saja, dalam menyoal keislaman, kita cenderung
mempertautkannya dengan dengan symbol-simbol budaya arab. Semisal, jika kita melihat sekelompok orang yang
berjubah, bersorban, dan berjenggot, maka paradigma yang muncul dalam benak kita adalah
bahwasanya mereka merupakan kelompok yang benar-benar Islam. Sehingga,
“jihad” berupa anarkisme bahkan
terorisme yang mereka lakukan memunculkan stigma negatif bagi Islam sendiri.
Menurut M. Quraish Shihab, Islam itu beragam tetapi tetap
dalam satu akidah. Jadi, sangat ironis apabila ada kalangan yang mengklaim
dirinya paling Islam. Kalaupun terorisme menjadi jihad bagi Islam garis keras,
hal itu terjadi karena perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Islam di
Indonesia berbeda dengan Islam di timur tengah. Indonesia mempunyai budaya
peramah dan merupakan Negara moderat. Maka seyogyanya kita tidak menjadikan
budaya Islam garis keras ala timur tengah sebagai dasar berpikir dan bertindak
agar budaya peramah kita tetap tejaga.
Untuk itu, usaha menggugurkan stigma Islam adalah teroris
dan Indonesia merupakan sarang teroris harus digalakkan. Pertama, sebagai
fondasi awal, kepala Negara harus adil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Lebih dari itu kepala Negara harus tegas menyikapi tindakan terorisme. Kedua,
pemberantasan terorisme menjadi gerakan nasional. Tidak hanya ulama yang
menjadi gerbong gerakan ini, para penegak hokum juga harus all-out dalam
memberantas terorisme dengan bantuan masayarakat. Ketiga, demokrasi
semestinya dibangun dan ditegakkan demi terwujudnya bangsa dan negara yang adil, aman, dan
sejahtera.
0 Comments