Selama ini pesantren
diorientasikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang diasuh oleh para kiai atau
ulama dengan mengutamakan pendidikan agama dibanding dengan pendidikan umum
lainnya. Pesantren merupakan suatu sekolah bersama untuk mempelajari Ilmu agama;
lembaga yang mencakup ruang gerak yang luas, dengan materi hadits, ilmu kalam,
fiqih dan ilmu tasawuf dan lain sebagainya. Hal ini pernah diulas oleh Karel A.
Steenbrink, yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
yang pada dasarnya hanya mengajarkan agama Islam sedang sumber mata pelajaranya
adalah kitab-kitab dari bahasa Arab.
Di sisi lain, secara
akomodasi, pesantren kerap diasumsikan sebagai lembaga yang hanya mampu
berkembang melalui “sumbangan” (dana) dari santri, wali santri, dan alumni,
serta bantuan dari pemerintah. Padahal, pesantren merupakan sebuah kehidupan
yang unik, karena di dalam pesantren selain belajar santri juga dididik untuk
hidup mandiri, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya.
Dari kemandirian tersebut, potensi santri akan terbentuk tidak hanya dalam
pemahaman agama (Islam) saja, akan tetapi juga dalam ekonomi dan sosial
kemasyarakatan.
Maka pesantren dapat mensinergikan potensi-potensi yang ada.
Baik dalam pengembangan pendidikan keagamaan ataupun membangun kemandirian
komponen-komponen yang ada di dalamnya. Sinergi semacam ini sesuai dengan
falsafah realisme. Pendekatan ini memperjelas batasan suatu konsep keilmuan
sekaligus mempertegas relasinya.
Sebagai langkah solutif di era global, pesantren terus
mempersolek diri; mensinergikan potensi hingga terbangun sebuah konstruksi. Hal
ini merupakan antitesa dari asumsi bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, dan pengembangan lembaganya “bergantung”
pada sumbangan dan penggalangan dana. Potensi-potensi dibangun demi kemandirian
pesantren. Di antaranya adalah dengan menginternalisasian nilai-nilai
kewirausahaan dalam kegiatan pembelajaran dan kehidupan. Nilai-nilai ini
terbentuk dengan memfungsikan elemen-elemen pesantren dalam operasionalnya.
Melalui sinergi ini, diharapkan santri akan menyadari betapa
pentingnya nilai-nilai kewirausahaan, terbentuknya karakter wirausaha, dan
pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan dalam laku kehidupan sehari-hari di
lingkungan pesantren. Pada saat yang sama, kegiatan pembelajaran di pesantren
bukan lagi sekedar menjadikan santri menguasai kompetensi (materi) yang
ditargetkan, tetapi juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan mereka
mengenal, menyadari, peduli, mengimplementasikan proses kewirausahaan.
Dengan potensi wirausaha, menurut Geoffreg G. Meredith, berarti
sebuah lembaga memiliki kemampuan menemukan dan mengevaluasi peluang-peluang,
mengumpulkan sumber-sumber daya yang diperlukan dan bertindak untuk memperoleh
keuntungan dari peluang-peluang itu. Maka dalam hal ini, santri dididik utuk
menjadi pemimpin dan mereka menunjukkan sifat kepemimpinan dalam pelaksanaan
sebagian besar kegiatan-kegiatan mereka. Sistem pendidikan pesantren berbasis
pada kewirausahaan membuat pesantren memiliki kemampuan dalam memanajemen dan
menggunakan waktu dan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Hal ini menegaskan bahwa pesantren dewasa ini terus
berdialektika; dapat mensinergikan pendidikan agama dengan beberapa aspek,
termasuk wirausaha. Tentunya proses tersebut untuk pengembangan lembaga
pendidikan tertua di bumi Nusantara.
0 Comments