A.
Pendahuluan
Serupa, tapi tak sama. Mungkin kalimat
itu yang dapat kita sematkan pada dua istilah yang akan kita bahas dalam awal tulisan
sederhana ini. Dua kata yang sering kali kita temukan kerancuan dalam
mengartikannya. Tidak hanya itu, keduanya juga kerap disebut dalam satu
bahasan. Ya, kedua istilah tersebut
adalah “ilmu” dan “pengetahuan”. Dua istilah yang sering disamaartikan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya, ilmu disamakan artinya dengan
pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan.[1]
Padahal, dua istilah tersebut sangatlah berbeda.
Oleh Poedjawijatna, (dalam Endang
Saifuddin Anshori: 1987), pengetahuan (knowledge)
diartikan sebagai apa yang kita ketahui dan dipergunakan untuk keperluan
sehari-hari.[2]
Sedangkan ilmu (ilmu pengetahuan) dalam Encylopedia Americana, diartikan
sebagai pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.[3] Sementara, Jujun Suriasumantri, berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan atau ilmu adalah merupakan pengetahuan yang didapat
melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.[4] Jadi,
jelas antara pengetahuan dan ilmu (ilmu pengetahuan/sains) berbeda maknanya.
Pengetahuan hanya sekedar apa yang kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan ilmu pengetahuan atau sains merupakan pengetahuan yang mempunyai
sistem dan metode tertentu. Sederhananya, ilmu pengetahuan berarti akumulasi
pengetahuan yang telah memalui proses ilmiah.
Ilmu pengetahuan telah banyak mengubah
dunia dengan manfaatnya. Namun, ia juga bisa membawa malapetaka bagi kehidupan
manusia dan alam semesta. Semua itu tergantung kepada manusia sebagai subjek
daipadanya. Jikalau manusia dapat menggunakannya dengan disertai
nilai-nilai yang melekat dalam kerangka
filosofisnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka ilmu pengetahuan akan
menjadi alat perkembangan dan perubahan yang berdampingan dengan sisi
kemanusiaan. Namun, jika sebaliknya, maka ilmu pengetahuan akan menjadi boomerang yang akan menyerang dan
mengancam kehidupan manusia dan alam sekitarnya.
Fakta manfaat dan bahaya ilmu pengetahuan
di atas telah menimbulkan pertanyaan: apakah ilmu pengetahuan itu diciptakan
untuk dua hal tersebut atau ilmu pengetahuan itu diciptakan sesungguhnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan makhluk? Dari pertanyaan itu, maka akan
muncul pertanyaan selanjutnya dengan menyisipkan rasa curiga kepada ilmu
pengetahuan, yakni: mungkinkah ilmu pengetahuan itu palsu, mungkinkah ilmu
pengetahuan itu tiruan atau tidak sebenarnya?
Dari uraian di atas, menarik perhatian
kami terhadap ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya (sains) dan ilmu pengetahuan tiruan (pseudo sains). Untuk mendeskripsikan
keduanya, kami akan bahas dalam uraian selanjutnya.
B.
Deskripsi tentang Sains
1. Definisi Sains
Aristoteles mengawali metafisikanya
dengan pernyataan: “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin
tentang hal itu, sehingga tidak hanya disadari, rasa ingin tahu ini
diejawantahkan ke dalam karya-karyanya.[5]
Dari rasa ingin tahu inilah pengetahuan lahir dan berkembang ke dalam lingkup
yang lebih luas.
Dalam Encyclopedia of Philosophy,
dijelaskan bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan yang benar.[6]
Amsal Bakhtiar, dalam bukunya Filsafat Ilmu, mengemukakan bahwa pengetahuan
adalah hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[7]
Senada dengan itu, Sidi Gazalba menyatakan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu
yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu yang merupakan hasil dari proses
kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.[8] Behishti
dan Bahonar, mendeskripsikan bahwa pengetahuan mencakup semua jenis proses
pembelajaran dan informasi.[9] Dengan
demikian, pengetahuan merupakan sesuatu yang manusia ketahui yang diperoleh
dari pembelajaran dalam kehidupannya.
Salah satu corak pengetahuan adalah
pengetahuan ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan, atau sering disingkat
ilmu. Ilmu pengetahuan ekuivalen dengan science (Inggris), wissenschaft
(Jerman) dan wetenschap (Belanda).[10] Dalam
bahasa Arab, ilmu berasal dari kata ‘alima, ya’lamu,’ ilman, yang
berarti mengerti, memahami benar-benar.[11]
Secara
istilah, dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (Pengetahuan)[12] Menurut Bachelard, ilmu pengetahuan merupakan suatu
produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum
pemikiran dengan dunia luar.[13] Sementara itu, The Liang Gie memberikan pengertian
ilmu sebagai rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan sesuatu
metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini
dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai
gejala yang ingin dimengerti manusia.[14] Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ilmu pengetahuan
merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematis, rasional, empiris dan
universal yang telah melalui proses ilmiah.
Dari proses/aktivitas
ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapat dihimpun
sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada,
sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat
kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.
2.
Objek Sains
“No problem, no science”.
Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana, namun padat akan makna. Dari
ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwasanya ilmu pengetahuan muncul dari
adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan, menurut Bahm, diperoleh dari
pemecahan suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi.
Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan
masalah. Ada metode berarti ada sistematika ilmiah.[15]
Permasalahan merupakan obyek dari ilmu
pengetahuan. Permasalahan apa yang coba dipecahkan atau yang menjadi pokok
bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai
sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan.[16] Setiap
ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Yang disebut obyek
material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau
penelitian ilmu.[17] Obyek
material bisa dimaknai dengan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang diselidiki,
dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material mencakup apa
saja, baik yang konkret maupun yang abstrak,
yang materil maupun yang non-materil. Bisa pula berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Misal objek material
dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan dalam logika
adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan
sehat. Maka, berpikir merupakan obyek material logika.
Istilah obyek material sering juga
disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini
dibedakan atas dua arti, yaitu:
a. Pokok persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang
khusus dari penyelidikan faktual. Misalnya, penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika;
penyelidikan tentang chlorophyl termasuk penelitian bidang
botani atau bio-kimia dan sebagainya
b. Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang
saling berhubungan. Misalnya, anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur
tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari
fungsinya. Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang
sama, namun juga dikatakan berbeda. Perbedaaan ini dapat diketahui apabila
dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang
diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang
statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.
Sedangkan obyek formal adalah
pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang
dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Objek formal menunjukkan
anasir yang menentukan, yang memberikan bentuk tertentu bersama-sama materi dan
forma merupakan barang tertentu, tetapi barang-barang diberi nama menurut
bentuknya, menurut formanya.[18] Obyek
formal dapat diartikan sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari
penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek
material itu disorot.
Obyek formal suatu ilmu tidak hanya
memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari
bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandang sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan
tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu.
Dengan kata lain, tujuan pengetahuan sudah ditentukan.
Misalnya, obyek materialnya adalah
“manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda
sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, diantaranya: psikologi,
antropologi, sosiologi dan sebagainya.
3.
Ciri-ciri Sains
Sains atau
ilmu pengetahuan terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan
untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang.[19] Ilmu
pengetahuan harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilakukan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. The
Liang Gie, menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah mempunyai 5 ciri pokok:[20] Pertama, empiris, pengetahuan itu diperoleh
berdasar pengamatan dan percobaan. Kedua, sistematis, yaitu berbagai
keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai
hubungan ketergantungan dan teratur. Ketiga, objektif, yakni ilmu
berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kekuasaan pribadi.
Keempat, analitis, yakni pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan
pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat,
hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu. Kelima, verivikatif, yakni
dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Archie J. Bahm
dalam bukunya “What is Science?”, menjelaskan bahwa secara umum ada enam
komponen dari rancang bangun ilmu pengetahuan, artinya dengan enam komponen
itu, sesuatu itu biasa disebut ilmu pengetahuan, yaitu:[21]
a.
Adanya masalah (problem). Suatu masalah disebut
sebagai masalah ilmiah, jika memenuhi persyaratan, yaitu bahwa masalah itu
merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah; masalah yang
terus cari solusi; masalah yang saling berhubungan dengan masalah dan solusi
ilmiah lain secara sistematis (dan lebih memadai dalam memberikan pemahaman
yang lebih besar)
b. Adanya sikap, dalam
arti sikap ilmiah.
Sikap ilmiah, menurut Bahm, paling tidak, meliputi enam karakteristik pokok,
yaitu: keingintahuan, spekulasi, kemauan, untuk objektif, kemauan untuk
menggunakan penilaian, dan kesementaraan
c. Menggunakan metode ilmiah. Secara lebih khusus, Bahm
menjelaskan bahwa metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu a).
Menyadari akan masalah; b). menguji masalah; c). mengusulkan solusi; d).
menguji usulan atau proposal; e). memecahkan masalah
d. Adanya aktifitas. Ilmu pengetahuan adalah apa yang dikerjakan oleh para
ilmuan, yang kemudian bisa disebut dengan “riset ilmiah”
e. Adanya kesimpulan. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
dihasilkan.Maka ilmu pengetahuan sering dipahami sebagai kumpulan pengetahuan.
Bahkan kumpulan ide-ide dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Kesimpulan
–pemahaman yang dicapai sebagai hasil dari pemecahan masalah- adalah tujuan
ilmu pengetahuan. Kesimpulan adalah ilmu yang diselesaikan, bukan ilmu sebagai
prospek atau dalam proses. Kesipulan adalah segala sesuatu yang diusahakan
secara ilmiah. Pentingnya kesimpulan itu adalahmembenarkan kesan umum bahwa
ilmu pengetahuan terdiri dari pengetahuan yang dapat dipercaya, atau lebih tepatnya
pengetahuan yang pasti
f. Adanya pengaruh. Bagian apa yang digarap ilmu pengetahuan, kemudian
menimbulkan pengaruh yang beragam, yang mana dapat dihubungkan pada dua hal,
yaitu: a). Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industry melalui
apa yang disebut ilmu terapan. b). pengaruh ilmu terhadap –atau dalam-
masyarakat dan peradaban.
a. Ilmu pengetahuan
secara metodis harus mencapai sesuatu keseluruhan yang secara logis koheren.
Itu berarti adanya system dalam penelitian (metode) maupun harus (susunan
logis)
b. Ilmu pengetahuan
tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitanya dengaan tanggung jawab ilmuwan
c. Universalitas ilmu pengetahuan
d. Objektivitas,
artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif
e. Ilmu pengetahuan
harus dapat diversifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, kaena
itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan
f. Progresivitas,
artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila
mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi
g. Kritis, artinya
tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan
kritis yang memanfaatkan data-data baru
h. Ilmu pengetahuan
harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan
praktis.
C. Menyoal Pseudosains
1. Pengertian Pseudosains
Dalam dunia realitas, kerap kali ditemukan
istilah-istilah sinonim dari sebuah objek tertentu. Pada tataran tertentu
istilah-istilah yang disinonimkan tersebut tepat adanya karena adanya
kesesuaian dengan teori ilmiah. Namun, di sisi lain ada juga istilah lain yang
lahir dari spekulasi semata. Satu objek kadang mendapat defenisi yang beragam
karena adanya keumuman makna atau memiliki kekhususan makna. Sains (science)
misalnya yang berawal dari makna ilmu sampai pada pengkhususan hanya pada ilmu
tertentu.
Ilmu pengetahuan (science) sebagai sebuah
istilah dari sebuah objek juga memiliki istilah lain yang kerapkali disamakan
dan kadang juga dibedakan yakni dengan pengetahuan (knowledge) kadang
juga disandingkan tanpa perbedaan dengan istilah ilmu pengetahuan atau
pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge). Selain itu ilmu penegtahuan
kerapkali juga disandingkan dengan sebuah istilah yang memang agak berbeda,
yaitu pseudoscience.
Pseudosains (pseudoscience) adalah
sebuah istilah yang secara etimologi dari bahasa inggris yang terdiri dari dua
kata yaitu pseudo yang berarti palsu, lancung atau gadungan seperti
kata pseudo scholar yang berarti sarjana gadungan[23]dan science yang
telah dijelaskan sebelumnya. Jika keduanya digabungkan maka maknanya akan
menjadi kurang lebih “ilmu palsu” atau “ilmu gadungan”.
Karl Popper,
mendefinisikan pseudosains sebagai istilah atas teori ilmiah yang
bersifat palsu (falsifiable). Teori ini bukan berarti tidak benar, tapi
teori ini membutuhkan pengujian melalui pengalaman. Jika dalam pengujian teori
tersebut ternyata salah maka teori ini bersifat falsifiable dan menjadi bukti
terbalik atas ketidakbenaran teori ilmiah tersebut. Menurut Karl Popper bahwa
teori ilmiah yang dikira benar tapi tidak membawa pada kondisi yang
meyakinkan tidak bisa disebut ilmu secara mutlak tetapi ia istilahkan
dengan pseudoscience.[24] Jika
melihat defenisi ini, boleh jadi yang dimaksud adalah teori yang berupa
hipotesa.
Menurut Mark Joyner, pseudosains adalah sekumpulan
pengetahuan yang tampaknya seperti sains, tetapi sebenarnya tidak bergantung
pada metode ilmiah, dan hanya mengandalkan keyakinan.[25]
Sesuatu yang menyerupai ilmu pengetahuan ini tidak valid dan memiliki banyak
kekurangan, tidak rasional dan cenderung dogmatis. Dengan kata lain ilmu palsu.
Ilmu palsu atau pseudoscience merupakan jenis
pengetahuan yang seperti menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan.
Misalnya saja astrologi. Astrologi berasal dari pengamatan yang panjang
sehingga nampak seperti ilmu, namun karena berbagai sifatnya yang meragukan dia
dianggap pseudoscience.[26]
Sehingga, Lakatos pun menyatakan bahwa pseudosains bersifat samar, namun banyak
orang mempercayainya, dan mungkin juga bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan
meskipun hal itu sulit dipercaya.[27] Pseudosains
mungkin kelihatan ilmiah, tapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang
dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan kesepakatan/konsensus ilmiah
yang umum.
Istilah pseudoscience
muncul pertama kali pada tahun 1843 yang merupakan kombinasi
dari akar Bahasa Yunani pseudo,
yang berarti palsu atau semu, serta Bahasa Latin scientia,
yang berarti pengetahuan atau bidang pengetahuan.[28]
Istilah tersebut memiliki konotasi negatif,
karena dipakai untuk menunjukkan bahwa subjek yang mendapat label semacam itu
digambarkan sebagai suatu yang tidak akurat atau tidak bisa dipercaya sebagai
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pembela serta yang mempraktikkan pseudosains
biasanya menolak klasifikasi ini.
Kadang pseudosains juga menyangkut sesuatu yang
berpura-pura sebagai ilmu pengetahuan padahal tidak. Seperti misalnya
penelitian fenomena supranatural, UFO dan sejenisnya namun tidak menyuguhkan
metodologi yang valid. Sebenarnya bagaimana memisahkan antara sains dan pseudosains
cukup susah. Ada para filsuf yang mencoba membuat batasan dari metodologi. Ada
pula filsuf Paul Feyerabend salah satu filsuf yang menggugat pembedaan dari
sains dan pseudosains.
Memang kita harus mewaspadai berkembangnya ilmu palsu.
Apalagi dalam jenis yang akan mengeruk kantong uang bagi mereka yang tertipu
oleh daya pikatnya. Namun, mengatakan sesuatu sebagai pseudosains dan
menolaknya mentah-mentah mengandung bahaya sendiri. Itu adalah bahaya dari
berjangkitnya scientisme dan dogmatisme dalam Ilmu.
2. Contoh-contoh Pseudosains
Ilmu palsu ini bisa bermacam-macam, contoh paling mudah
adalah Astrologi dan Alkemi. Pada masa dahulu mungkin kedua bidang ilmu ini
dianggap bagian dari ilmu pengetahuan. Sayangnya kedua ilmu ini sulit
berkembang, juga banyak keraguan dalam metodenya. Pada masa sekarang ilmu
pengetahuan mengikuti suatu metode ilmiah yang rigid.
Teori aktivasi otak tengah: mengklaim bahwa aktifasi
otak tengah dapat meningkatkan kecerdasan berfikir, emosi dan motivasi
seseorang. Kenyataannya adalah: otak tengah tidak memiliki fungsi berpikir,
emosi, dan motivasi. Otak tengah yg merupakan bagian dari batang otak memiliki
fungsi otak primitive yaitu mekanisme pertahanan diri dan refleks-refleks pada
fungsi vegetative. Sedangkan kemampuan berpikir, proses belajar, dan memori
terutama terletak pada korteks dan subkorteks. “Teori otak tengah sudah jelas
penipuan. Dengan berpikir atau bertanya sedikit,setiap orang bisa tahu bahwa
ini adalah penipuan. Namun orang Indonesia itu malas bertanya dan ingin yang
serba instan.
Terapi urin menjadi tren 10 tahun yang lalu, sampai
buku terapi urin banyak diterbitkan dan didisplay di Gramedia. Namun sekarang
tampaknya trennya sudah berakhir, tidak ada lagi orang yang mau minum urin
paginya. Pada kenyataannya urine (air kencing) adalah hasil eksresi (buangan)
dari tubuh manusia yang tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Food combining dan diet berdasar
golongan darah: teori food combining mengungkapkan bahwa makan
karbohidrat harus terpisah dari protein dan lemak. Pagi makan karbohidrat,
siang lemak, malam protein. Makan buah dan sayuran harus dalam keadaan perut
kosong.[29]
Pada kenyataannya, teori food combining
dan diet berdasar golongan darah tidak memiliki dasar ilmiah yang benar dan
tidak diakui oleh para ahli gizi di perguruan tinggi. Saluran cerna manusia
mengeluarkan enzim2 untuk pencernaan KH, protein, dan lemak secara bersama-sama
sehingga tidak perlu adanya pemisahan zat makanan. Pemberian buah dan serat
dalam keadaan perut kosong dapat menyebabkan iritasi pada saluran cerna dan hal
ini menyebabkan tidak terbentuknya feses yang bagus konsistensinya. Beberapa
hal di atas merupakan pseudosains yang tidak didukung oleh langkah-langkah
berpikir ilmiah.
D.
Kesimpulan
Dari paparan kajian pustaka tersebut
di atas, dapat kami simpulkan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan. Ilmu pengetahuan
merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematis, rasional, empiris dan
universal yang telah melalui proses ilmiah. Ilmu pengetahuan mempunyai 5 ciri
pokok, yakni empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verivikatif. Sementara,
pseudosains adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan,
atau praktik yang diklaim sebagai
ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Sesuatu
yang menyerupai ilmu pengetahuan ini tidak valid dan memiliki banyak
kekurangan, tidak rasional dan cenderung dogmatis. Pseudosains tidak memenuhi
persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan
kesepakatan/konsensus ilmiah
yang umum.
[1] Lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
[2] Endang Saifuddin Anshori, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Cet. VII, 43.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 90.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), Cet XII, 9.
[5] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi;
Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 13.
[6] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy (New
York: Macmillan Publishing, 1972), vol. 3.
[7] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 85.
[9] Behishti dan Bahonar, Philosophy of Islam
(Pakistan: Ansariyan Publication, 1990), 52.
[11] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 1.
[12] Wihadi Admojo, et.el., Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: BalaiPustaka, 1998), 324.
[13] Lihat dalam Rizal Muntasyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. VIII, 139.
[14] Surajiyo, Filsafat Ilmu dalam Perkembangannya
di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 56.
[15] Archi J Bahm, What
is Science?
(New Mexico: Al-Buquerque, 1980), 1.
[16] Surajiyo
dkk., Dasar-dasar Logika
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 11.
[17] Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar
Filsafat. (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), 97.
[18] Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 17.
[19] Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 59.
[20] Salam, Pengantar Filsafat , 59.
[21] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008), 47.
[22] Surajiyo, Filsafat Ilmu dalam Perkembangannya
di Indonesia, 59.
[23] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris- Indonesia, an English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia,
2003), 454.
[24] Samir Okasha, Philosophy of
Science: a Very Short Introduction (New York: Oxford University
Press,2002), 13.
[25] Mark Joyner, Simple.ology; Cara Sederhana untuk
Mendapatkan Keinginan Anda (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 99.
[26] Ridwan Fendy, ”Dimensi
Filsafat Ilmu, Makalah Filsafat Ilmu, Pengertian dan Definisi, Teori Filsafat
Ilmu”, dalam
http://www.filsafatilmu.com/artikel/objek-kajian/problema-batas-batasdemarcation-problem-pendahuluan.
[27] Lihat dalam Martin Curd dan J. A. Cover, Philosophy
of Science: The Central Issues (New York and London: W. W. Norton Company,
1998), 20.
[28] id.wikipedia.org/wiki/ilmu_semu.
[29] Gregory Budiman,
“Jangan Mudah Tertipu Pseudosains!”,
Dalam http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/28/jangan-mudah-tertipu-pseudosains/.
0 Comments