Hassan
Hanafi, mempunyai pandangan besar terhadap kajian “tradisi” yang patut dihargai. Ia banyak melontarkan pernyataan yang berani` dan lugas. Proyeknya yang berjudul at-Tura>ts
wa at-Tajdi>d (tradisi dan pembaharuan) merupakan pengantar telah
dipublikasikan dan hendak diikuti dengan beberapa kajian yang mencakup tiga
wilayah, yaitu: [1] 1) Sikap bangsa Arab yang "seharusnya" terhadap "tradisi"; 2) Sikap bangsa Arab yang "seharusnya" terhadap "tradisi"
Barat; 3) Teori hermeneutika baru untuk merekonstruksi kebudayaan manusia yang
didasarkan pada skala global (khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam), dan untuk
merehabilitasi "tradisi" Arab yang telah direkontruksi sebagai
landasan manusia Arab di dunia modern.
Sebagaimana
banyak dilakukan oleh pemikir Islam lainnya, titik tolak Hanafi adalah realitas
Islam saat ini dan keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua hal yang
menghambat perkembangannya. Tradisi itu sendiri sebenarnya tidak bernilai,
kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan sebuh teori aksi
masyarakat Islam dalam merekontruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan.[2]
Menurutnya, apa yang dibutuhkan pertama kali –sebelum dapat dilangsungkan
revolusi industrial, pertanian atau politik – adalah revolusi kemanusiaan untuk
membangun kembali manusia baru.
Dalam
pandangan Hanafi, Arab saat ini dijamuri oleh nilai-nilai tradisi masa lalu.
Institusi dan strukturnya merupakan perwujudannya. Menurutnya, tradisi tidak
semata-mata manuskrip, tetapi seluruh interpretasi yang dilakukan oleh setiap
generasi masa lalu dalam merespon kebutuhan-kebutuhannya. Dia meyakini bahwa
tradisi tidak memiliki kebenaran yang abadi dan juga bukan doktrin yang tidak
dapat salah, tetapi merupakan realisasi spesifik dari banyak keyakinan dan
sikap tertentu di bawah kondisi historis tertentu pula.[3]
Bagi Hanafi, tradisi bukan tumpukan material yang tersimpan dalam perpustakaan
atau museum, dan bukan pula suatu entitas teoritis konseptual yang terlepas
dari realitas historis, tetapi tradisi merupakan penyimpanan pengaruh
psikologis dari masa lalu yang tetap hidup dalam masyarakat Islam dan membentuk
bagian realitas sosial.
“Warisan”
dalam Tradisi
Aspek
"warisan" dalam sejarah Islam menginspirasi Hanafi untuk mengkaji
tradisi. Ia merupakan kekuatan psikologis untuk mempengaruhi kesadaran dan
perilaku masyarakat dalam rangka bukan untuk mempertahankannya. Tetapi dalam
rangka mengkaji masa sekarang melalui tradisi, perlu mengidentifikasi
elemen-elemen negatif berupa kelemahan dan kemundurannya. Pengkajian tradisi
digunakan dalam rangka menyingkirkan elemen kelemahan dan kemunduran untuk
mengukuhkan elemen-elemen positif berupa kekuatan dan "otentisitas"
yang ada di dalamnya. Elemen positif adalah dasar kebangkitan Islam kontemporer
menuju perubahan dan kemajuan.
Proyek
besar Hanafi berusaha mengusulkan agar Islam memikirkan kembali seluruh
persoalan mendasar yang muncul di masa lalu yang menjadi warisan Islam
kontemporer dan menyeleksi seluruh solusi yang valid dan memungkinkan yang
sesuai dengan kebutuhan era sekarang. Dia tidak setuju dengan kaum
tradisionalis yang meyakini bahwa tradisi telah menyediakan seluruh jawaban
yang benar untuk saat ini dan selamanya. Dia juga tidak setuju dengan kaum
modernis yang mengabaikan tradisi karena tenggelam dalam program-program
modernisasi di berbagai bidang, membangun sesuatu yang baru di samping yang
lama atau bahkan di puncak struktur yang sudah sangat tua.[4]
Demikian
juga, dia tidak setuju terhadap mereka yang berusaha menggabungkan warisan
dengan modernitas, atau mereka yang berusaha menggabungkan modernitas dengan
"warisan" secara "ekletik". Sebab menurutnya, ekletisme
berusaha memilih elemen-elemen dari salah satu atau yang lainnya, disertai
dengan prasangka yang berlebihan tanpa adanya pandangan terhadap struktur logis
totalitas, dan keberadaannya. Padahal tradisi terus hidup dalam masyarakat yang
dipenuhi dengan muatan psikologis yang kompleks akibat pengaruh masa lalu.
Hanafi
menilai bahwa tradisi intelektual peradaban Islam pada prinsipnya didasarkan
wahyu Tuhan yang direkam dalam al-Qur'an. Baginya, peradaban Islam tidak lain
hanyalah sebuah upaya memahami wahyu secara metodis dan intelektual dalam
periode sejarah tertentu, dan di bawah kondisi sosiokultural tertentu pula.
Menurutnya, wahyu sendiri tidaklah menjadi persoalan, sebab Al-Qur'an tidak
diragukan lagi sebagai dokumen otentik historis yang tidak tersentuh oleh
pengerusakan atau perubahan apa pun, yang tidak terbukti kebenarannya dalam
pengalaman manusia untuk memulai perubahan dan memberikan struktur ideal bagi
dunia yang membawa pada kesempurnaan. Apa yang menjadi persoalan adalah cara
bagaimana wahyu secara interpretatif dipahami
dan strukur teoritis yang melatari pemahaman itu.[5]
Bukan berarti pemahaman itu niscaya salah. Pemahaman itu hanyalah hasil dari
kondisi historis spesifik masyarakat Muslim ketika memilih solusi-solusi
partikular di antara solusi-solusi yang mungkin dilakukan.
Oleh
sebab itu, jika teori Islam klasik saat ini dikaji sebagai bagian dari tradisi
Islam, maka tujuannya tidak semata-mata mengkaji teks mentah atau mengklaim
teolog-teolog masa lalu sebagai orang yang tidak beriman. Pengkajian ini lebih dimaksudkan untuk menjelaskan asal dan
perkembangan ide-ide teologis yang muncul dari sumber pertamanya (wahyu). Di
sisi lain pengkajian ini mencatat respon mereka terhadap kebutuhan masanya untuk
menteoretisasikan realitas atau suatu landasan konseptual untuk menjelaskan
peristiwa saat ini berdasarkan sumber tradisi, akal murni atau keniscayaan
realitas. Respon itu boleh jadi merupakan respon terhadap kondisi internal
komunitas Islam atau terhadap serangan yang datang dari luar komunitas Islam.
Mengkaji
(Ulang) Teologi
Hanafi berargumen bahwa, teologi Islam mesti dianalisis karena
konklusi-konklusinya yang mencolok, kesimpulan-kesimpulannya yang signifikan, meskipun kondisional, atau metode serta argumentasinya yang berbelit-belit
berkaitan dengan era historisnya. Oleh sebab itu, analisis itu mesti
dilanjutkan hingga saat sekarang agar juga mencakup upaya-upaya pembaharuan
teologis modern.[6]
Tujuannya untuk menyadarkan Muslim akan keharusan sebuah pendekatan baru yang
lebih komprehensif, dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saat sekarang
secara memadai yang niscaya berbeda. Maka, harus ada metode penyajian yang
baru, sekalipun subjek-subjek klasik tetap dianggap benar.
Dengan
al-Qur'an dan as Sunnah sebagai pusat peradaban Islam, Hanafi mereview seluruh
disiplin intelektual Islam yang membentuk "warisan" kebudayaan Islam.
Dia mengatakan bahwa terdapat disiplin-disiplin Islam yang hanya terkait secara
marjinal dengan poros keagamaan tradisi Islam seperti matematika dan fisika,
dan aspek-aspek tertentu dari apa yang sekarang disebut dengan ilmu kemanusiaan
seperti geografi, sejarah, linguistik, sastra, psikologi, sosiologi, etika,
politik, ekonomi, logika, dan estetika. Hanya saja dia yakin bahwa semua itu
memiliki kontribusi dalam membentuk pandangan dunia Islam, dan oleh karenanya
mesti ditunjukkan bahwa ilmu-ilmu itu didasarkan pada wahyu Tuhan yang harus
dilihat secara benar sebagai ilmu kemanusiaan paling komprehensif.[7]
Berkaitan
dengan ilmu keagamaan yang muncul untuk mengontrol kebenaran teks wahyu dan
interpretasinya, beberapa di antaranya dia menyebutkan ilmu temporal yang
menyelesaikan fungsinya tetapi kemudian berakhir. Sebut saja ilmu al-Qur'an dan
Hadis yang berkaitan dengan bacaan dan "ontetisitas"
sumber-sumber oral. Beberapa di antara ilmu-ilmu itu perlu dikembangkan lebih
lanjut guna mengeksplorasi berbagai signifikansi baru yang mungkin dimiliki,
untuk masa dan kebutuhan saat ini. Hal ini mencakup ilmu penafsiran Al-Qur'an (tafsi>r),
hukum (fiqh), dan biografi Nabi (si>rah).[8]
Namun, ada empat disiplin Islam yang dapat perhatian lebih besar Hanafi,
yaitu: (1) teologi ('ilm kala>m atau ushu>l ad-di>n);
(2) filsafat (falsafah); (3) jurisprudensi (ushu>l al fiqh);
(4) sufisme (tasawuf).[9] Empat disiplin ilmu tersebut terinspirasi
oleh al-Qur'an dan as-Sunnah yang dikajinya secara detail. Kajian tersebut mempunya dua tujuan: pertama,
di satu sisi untuk menetapkan asal usulnya dengan disiplin yang terkait dengan
wahyu Tuhan, dan dengan kondisi-kondisi spesifik masanya di sisi yang lain; kedua,
merekonstruksinya dalam suatu sistem kultural yang baru dan komprehensif untuk
merespon kondisi dan kebutuhan era modern.
[1] Hassan Hanafi,
Rekonstruksi Pemahaman Tradisi Islam Klasik, terj, Munirul Abidin (Malang:
Kutub Minar, 2004), 75.
[2] Hassan Hanafi, at-Tura>th
wa at-Tajdi>d; Mauqifunā min Al-Turāth Al-Qadīm (Kairo: Al-Markaz Al-‘Arabī, 1980), 11.
[7] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan;
Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju,
2002), 147-148.
[8] Hasan Hanafi, Humūm al-Fikr al-Waṭan:
at-Turats wa al-’Aṣr wa
al-Hadāthah
(Kairo:
Dār Qubā,
1997), 23-30.
0 Comments