Selama
10 tahun terakhir, Bangkalan kerap disorot dengan satu "kaca mata".
Isu, wacana, fakta didialogkan. Namun yang mengemuka kadang hal
"ganjil". Sebut saja politik dinasti, rendahnya IPM, kemiskinan,
kasus asusila atau "tradisi" carok.
Sebagai
warga, kadang saya risih. Risih adalah bagian dari ketersinggungan:
ketidaknyamanan pada sebuah keadaan. “Kaca mata” itu membuat semua seakan satu
resonansi.
Saya
kira Bangkalan tidak selalu tentang yang "ganjil". Maka, kata Gus
Mus, kita harus punya dua cermin: satu untuk melihat diri, satu untuk melihat
yang lain. Agar adil.
Melihat
Bangkalan perlu dua cermin. Dalam hal ini, teori Peter Benson dapat menjadi
sisi lain. Ia melihat sesuatu dari dua hal: deficit dan asset. Deficit kata
lain dari kekurangan atau keterbatasan. Asset sebaliknya: ia lebih melihat
potensi, sebuah kelebihan.
Di
balik kekurangan ada kelebihan. Itu keniscayaan. Dan, Bangkalan bagian dari
keniscayaan itu. Bangkalan punya sejarah yang menyejarah, manusia yang baik,
budaya yang luhur, dan potensi alam yang "subur".
Sejarah.
Ia bagian dari masa. Kadang ia fakta, kadang bercampur legenda. Ini yang
terjadi di kota ini. Dari nama, mayoritas masyarakat mengiyakan jika Bangkalan
berasal dari kata "bhangka la'an" (sudah mati). Terlalu keras,
menjurus kasar. Abdul Hamid Mustari, merasa perlu menegaskan, bahwa Bangkalan
bukan berasal dari “bhangka la’an”, tapi berasal dari kata "Gebang
Kulon" (daerah barat); sebuah pembagian wilayah yang dilakukan di era
kolonial. Masyarakat menyederhanakan menjadi Bang Kulon. Dengan dialek berbeda,
disebut Bangkalan.
Bangkalan
kota dzikir dan shalawat. Identitas itu tak pernah datang sendiri. Ia
dirumuskan oleh nama dan bahasa; sebuah bangunan simbol yang disusun manusia.
Identitas tampak sebagai perbedaan, dan perbedaan tampak karena ada
pengkhususan. Dzikir dan shalawat mengejawantahkan religiusitas. Religiusitas
bukan keadaan. Ia dibangun. Ia tumbuh dan berkembang karena seorang tokoh, yang
- kata Dr. Qustena Ismail
- dianggap patron oleh kliennya. Ia adalah Kiai. Menurut Dr. Abdillah El-Rahman,
Kiai adalah panutan, teladan sekaligus figur sentral.
Tentang
budaya, “andhap asor” menjadi bagian realitas masyarakat. Tidak hanya diajarkan
di sekolah, andhap asor juga membumi di keluarga. Tidak hanya lekat dengan
pesantren, ia juga menjadi karakter priyai hingga “blater”. Andhap asor adalah
simbol "tengka", tatakrama khas Madura. Di tengah gempuran
industrialiasi yang tak tenteram, ada yang berubah, ada bentuk-bentuk tradisi
baru yang tak terelak. Namun, nilai budaya tak berganti. Ia tetap sejati.
Menyoal
alam, ia adalah anugerah. Kita agaknya tak perlu menjelaskan. Karena media
social telah “menumpahkan” kabar tentang alam Bangkalan. Gambar-gambar wisata
alam terpajang mengisyaratkan kota ini indah. Tuhan menciptakan kindahan itu,
Dia menggariskan alam Gebang Kulon yang apik dan estetis.
Akhirnya,
“melihat" Bangkalan tak hanya bisa dilakukan dengan dari satu cermin. Ada
keterpautan antara yang kita lihat dan yang kita ketahui. Dan yang kita ketahui
tak pernah kita ketahui semuanya. Dengan kata lain, Bangkalan—seperti halnya
cermin—selamanya adalah entitas yang tak bisa seketika disimpulkan.
Meski
terlambat, dengan segala kerendahan hati saya ucapkan: selamat hari jadi wahai
Bangkalanku. Aku lala padamu.
0 Comments