Saya mengenalnya tidak
hanya sebagai senior. Ia adalah sahabat bahkan tretan. Itu sebabnya saya
memanggilnya “Kak”; sebuah sapaan akrab khas daerah kami. Dari MAN Bangkalan,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, hingga sekarang ia selalu konsisten; ceria, murah
senyum dan "grapyak".
Di MAN dia adalah
panutan, banyak teman. Dengan breakdance, bakatnya membuat semua terkesan.
Meski menjalankan studi di sekolah berbasis agama, tidak lantas memasung bakat
seni itu.
Pada jenjang pendidikan
selanjutnya, kami tetap satu atap. IAIN Sunan Ampel menjadi kampus yang dituju.
Tentu saja, itu hanya sebuah kebetulan. Tapi, kebetulan punya peran lain: bukan
representasi sesuatu, melainkan sebuah keadaan yang niscaya.
Tahun 2010, ia didaulat
(setengah “dipaksa”) oleh Sahabat-sahabat PMII Cabang Surabaya Selatan untuk
dicalonkan sebagai Presiden Badan Ekesekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah.
Melalui pemilihan yang sengit, ia terpilih. Meski berada di atas tahta,
karakter ceria, murah senyum dan "grapyak" tetap ada.
Ia menciptakan harmoni
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Meski ada konflik tarik menarik, tak
lantas membuatnya tegang. Ada keterpaduan antara kepemimpinan, seni dan humor.
Tahun 2011, giliran
saya yang “dipaksa” oleh Sahabat-sahabat untuk
dicalonkan sebagai Presiden BEM Fakultas Tarbiyah. Ini kebetulan lain; bukan
representasi sesuatu, melainkan sebuah keadaan yang niscaya. Melalui beberapa
konflik yang dinamis, saya pun terpilih dan terpaksa harus berdamai dengan
realitas.
Sebelum ia turun tahta,
ada pesan yang selalu saya ingat. “Zen, jadi Presiden BEM (FT) itu sulit. Tapi
saya yakin kamu bisa”, ujarnya. Saya hanya bisa diam. Sambil merokok, ia
menambahkan: “Teorinya (menjadi Presiden BEM FT): ada atau tidak ada, harus
ada”. Saya tambah bingung. Hingga akhirnya ia menegaskan bahwa, pemimpin itu
harus selalu ada untuk yang dipimpin. Peran, manajerial, hingga nominal harus
menjadi eksistensi.
Saya terikat pesannya.
Pesan yang harus dilaksanakan, meski berat. Saya menyadari bahwa menjadi
Presiden BEM bukan hanya meraih, tapi juga menjalankan. Ini (sebenarnya) bukan
dunia saya. Tapi memang keadaan “terpaksa” membuat kita harus belajar. Keluar
dari zona nyaman dan membuka ruang.
Dalam sejarah BEM
Fakultas Tarbiyah, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Saya teringat frasa
Goenawan Mohammad: “politik tak mungkin hanya mengejar koalisi tanpa
konfrontasi”. Saya juga mengamini kelakar para Sahabat: “Nggak ada konflik,
nggak akan menarik”.
Bagi saya, Kak Amirul Husni
adalah teladan. Ia adalah contoh betapa sebenarnya pemimpin bukan fondasi
keteraturan. Ia menyadarkan bahwa tak selamanya pemimpin punya penopang.
Pemimpin yang baik tumbuh dari konflik dan dinamika yang membentuk sejarah.
Lahul fatihah..
0 Comments