Dewasa ini, industrialisasi
nasional terpuruk dan bangsa kita terlalu megantungkan sepenuhnya pada pihak
asing. Sehingga tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang
dalam memikiran orang-orang Indonesia.
Salah
satu bentuk pendidikan tradisional di Indonesia adalah pendidikan pesantren. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di bumi Nusantara yang sampai saat ini masih bertahan,
meski mengalami berbagai perubahan seiring arus modernisasi lembaga pendidikan.
Perubahan tersebut dapat disaksikan jika kita melihat dengan seksama sejarah
lembaga pendidikan ini, mulai dari berupa pesantren klasik, hingga yang
mengadopsi unsur-unsur moderen seperti madrasah, sekolah Islam, hingga Sekolah
Islam Terpadu, full day school dan boarding school. Namun demikian,
meski pesantren mengalami banyak perubahan, seperti pernah diulas oleh Karel A.
Steenbrink, pada dasarnya ciri mendasar sebuah pesantren tetap dipertahankan.
Model pendidikan pesantren yang berkembang di Indonesia mempunyai nama dan corak yang sangat
bervariasi, di Jawa disebut “pondok” atau “pesantren”, di aceh di kenal “rangkang” dan di Sumatra Barat dikenal dengan nama “surau”. Nama yang
sekarang lazim diterima oleh umum adalah pondok pesantren.
Lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, di samping sebagai sebuah lembaga pendidikan. Pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan yang ada pada pertengahan abad ke 20 di Indonesia. Sistem pendidikan pesantren disediakan untuk para muslim pribumi yang memfokuskan pengajarannya pada ilmu agama.
Dinamika Pesantren; Mengulas Sejarah
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa
kemungkinan pesantren berasal dari bahasa sangsekerta “sastri” yang berarti
“melek huruf.” Kemungkinan lain, kata pesantren berasal dari bahasa India
“shastri” yang berarti orang yang mengetahai buku-buku suci agama Hindu. Machasin menambahkan bahwa kata
“sastri” atau “shastri” berasal dari kata “tantri” yang berarti orang dibawah
bimbingan guru untuk mencapai kesempurnaan. Istilah tersebut dalam agama Hindu
berubah menjadi “cantrik” sedangakan dalam Islam — setelah melalui proses
“islamisasi” berubah menjadi santri.
Menurut Dhofier, sejak akhir abad ke-15
Islam telah menggantikan Hinduisme, bahkan pada abad ke-16 mayoritas masyarakat
Jawa sudah memeluk Islam yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak. Di
bawah pengaruh Islam, sistem pendidikan Agama Jawa diambil alih dan digantikan
dengan nilai dan ajaran Islam. Ketika itu, sistem pendidikan Agama Jawa adalah
“pawiyatan.” Sumber lain menyebut sistem ini dengan istilah “padepokan.” Kedua
istilah ini mempunyai makna yang sama, yakni “paguron (perguruan).” Lembaga ini
berbentuk asrama dengan rumah guru (begawan) sebagai tempatnya, sehingga murid
dan guru hidup dalam satu rumah selama 24 jam. Ilmu yang dipelajari antara lain
filsafat, alam, seni, sastra, dan lain sebagainya.
Namun demikian, beberapa pandangan di
atas masih mengandung banyak kelemahan. Pertama, kata “sastri” dan
“shastri” mengindikasikan orang yang mengetahui buku suci Hindu Budha, padahal
sebelum Islam masuk, Hindu-Budha adalah agama yang
dipeluk mayoritas penduduk Jawa. Kedua, kata “kyai” dalam pesantren
berasal dari istilah Jawa untuk menyebut benda-benda pusaka, seperti tombak
“kyai” pleret dan sejenisnya. Ketiga, sistem pendidikan pesantren mirip
dengan sistem pendidikan di pawiyatan/padepokan. Pesantren dipimpin kyai,
pawiyatan dipimpin begawan; murid pesantren disebut santri murid, sementara
murid pawiyatan disebut cantrik (keduanya berasal dari kata yang sama tantri).
Keempat, metode pembelajaran pesantren disebut sorogan/ bandongan, sementara metode pendidikan pawiyatan disebut wisik. Pesantren merupakan hasil perubahan secara evolutif dari padepokan/pawiyatan yang kemudian mengalami ‘islamisasi’ kelembagaan pada abad XVI. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa pada ke-14, orang pertama yang menyebarkan Islam dengan mendirikan pondok pesantren di Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim oleh Sunan Ampel adalah lemah.
Menyingkap Tabir
Tradisionalisme
Pesantren
adalah salah satu tempat favorit bagi
masyarakat pedesaan untuk memperoleh pendidikan. Terbukti dengan banyaknya
pesantren yang memiliki santri dengan jumlah ribuan. Pesantren-pesantren
tersebut merupakan tempat yang paling berjasa untuk proses pendidikan agama.
Memang, peran pesantren
tidak bisa dinafikan dalam pembangunan citra bangsa tetapi terdapat beberapa
hal yang perlu dikaji kembali untuk meningkatkan kualitas pesantren yang ada di
Indonesia. Terlebih untuk pesantren salaf yang memegang teguh pemikiran
kontemplatif.
Kata
kontemplatif memang sulit dipisahkan dari pesantren salaf. Mengingat identitas
dan ciri khas yang sangat mengakar di kalangan pesantren. Meskipun demikian,
tidak berarti tradisi tersebut todak memerlukan pembenahan. Paradigma
pesantren selama ini cenderung apriori dengan budaya barat dan pemikiran barat.
Padahal tidak semua pemikiran barat itu tidak baik. Oleh karena itu, perlu
adanya filterisasi keilmuan dan pemilahan secara teliti terhadap westernisasi
yang ada di Indonesia. Langkah tersebut mampu memberikan kontribusi positif
terhadap perkembangan pesantren salaf. Misalkan, santri pesantren salaf menjadi
melek teknologi, paham dengan pemikiran-pemikiran Barat, sehingga dapat
memkomparasikan dengan pemikiran-pemikiran tokoh Islam.
Pesantren
salaf cenderung “terkungkung” dengan budaya. Dalih yang sering
digulirkan adalah melesatarikan budaya leluhur. Padahal, perlu diingat bahwa tidak semua budaya
leluhur harus dipertahankan. Ada beberapa budaya yang memang harus
dipertahankan, diperbaiki atau bahkan dihilangkan. Salah satu budaya pesantren
yang harus diperbaiki adalah budaya dimana santri tidak boleh mengkritik Kyai karena
dianggap su’ul adzab. Idealnya budaya ini tidak dipertahankan.
Kritik dan pertanyaan santri kepada sang Kyai akan memberikan feed back
dalam pembelajaran sehingga santri menjadi paham dan mengerti apa yang dimaksud
oleh sang Kyai. Kebanyakan santri salaf masa kini cenderung duduk manis dan
berdiam diri tanpa berani bertanya dan mengkritik Kyai. Masyarakat yang tinggal
di kalangan pesantren salaf masih meyakini bahwa kepatuhan terhadap semua yang
disampaikan oleh Kyai akan memeberikan berkah tersendiri kepada sang santri.
Di samping kelemahan dalam sistem pembelajaran, pesantren salaf juga memiliki keunggulan dalam hal lain. Misalnya, pendidikan pesantren salaf cenderung murah dan dijangkau oleh masyarakat kelas bawah sehingga memberikan kesempatan masyarakat bawah untuk mengenyam pendidikan. Selain itu, Pesantren salaf sangat diakui oleh dunia dalam hal mendidik santri di bidang penguasaan bahasa asing secara kitaby. Seringkali lomba musabaqoh qiriatul kutub yang dimenangkan oleh pesantren salaf. Akan tetapi, di sisi lain mereka juga memiliki kelemahan yaitu dalam penguasaan bahasa asing. Hal ini dikarenakan penguasaan bahasa asing jarang sekali dipraktekkan di pesantren salaf. Idealnya, keduanya dapat berjalan secara beriringan sehingga santri menjadi santri yang lengkap. Mengingat banyaknya sumber ilmu pengetahuan Islam ataupun Barat yang menggunakan bahasa asing. Tradisi yang baik harus dipertahankan dan tradisi yang kurang baik harus dibenahi bersama.
Menuju Pesantren Dinamis dan Progresif
Meskipun ada pembaharuan atau
mordernisasi di dalamnya, tetap saja tradisionalisme pesantren melekat secara
nyata. Seperti pola hubungan antara guru dan murid (atau tepatnya santri dan
kiyai), begitu juga dalam proses belajar tetap tertinggal.
Kita melihat muatan ideloginya juga
mengalami perkembangan yang variatif, mulai dari berbagai revalisme Islam yang
dapat menimbulkan gerakan politis seperti terorisme. Ekspresi yang wajar
sebagai hukum dialektika
antara pendidikan tradisional berhadapan dengan perkembangan modern yang
dianggap merusak moral kemanusiaan
dari sudut pemahaman agama.
Di sisi lain, peminggiran kelompok Islam
dan lembaga pendidikan tersebut akhirnya menyebabkan orientasi modernisasi
mereka disadarkan pada gerakan modernisasi dari Timur Tengah. Hal inilah yang menjadi
awal munculnya gerakan “Islam garis keras” di Indonesia. Terorisme, gerakan
jihad, kekerasan atas nama agama, hingga mengemukanya “ilusi” Negara Islam
menjadi “efek domino” dari dangkalnya pemahaman keIslaman.
Dalam konteks ini, barangkali pesantren
sebagai lembaga pendidikan dapat digaransi sebagai tameng dari gerakan di atas.
Namun, di lain sisi tampaknya hal itu juga
menjadi kendala. Karena dianggap sebagai lembaga yang mempertahankan tradisi,
kebanyakan pesatren tidak begitu mudah meneri ide-ide perubahan dari luar.
Landasan pemikiran pemimpin pesantren adalah kepemilikan pribadi. Oleh karena
itu, mereka (para Kiai) berpikiran feodalistik; yang mana akhirnya dianggap
sebagai “kebaikan harian” dari Kiai kepada masyarakat.
Ketika pesantren kemudian dihadapkan
dengan tuntutan sistem
pengelolaan pendidikan modern yang lebih sesuai dengan perkermbang zaman,
pesanten dianggap “latah”.
Sisi buruk dari budaya feondalisme dengan pola parton-client ini adalah
memunculkan paradigma yang antiperubahan. Di sisi lain, pesantren juga sering menjadi tempat mobilisasi politik yang
kadang tidak tidak rasional dan hanya menguntungkan Kiai dan elit politik yang
telah mendekati Kiai.
Pendidikan yang dihasilkan pesantren seharusnya
melahirkan pemikiran yang dinamis
dan progresif. Pesantren semestinya melakukan tiga langkah perubahan: pertama, memiliki
kepemimpinan yang demokratis. Kedua, pesantren harus memiliki
kurikulum yang dinamis. Ketiga, pesantren harus memilki
metodologi pengajaran fiqih yang fleksibel dan tidak bersifat
dogmatis.
0 Comments