“Pendidikan memiliki kekuatan politis dan ideologis dalam mengusung agenda perubahan sosial. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa institusi pendidikan selalu dijadikan medan dalam melanggengkan kekuasaan” [Paulo Freire].
Dewasa ini, pendidikan mengalami perubahan yang cukup pesat. Ini
dibuktikan dengan semakin mudahnya kita menjumpai lembaga lembaga pendidikan
seperti sekolah-sekolah, lembaga bimbingan belajar maupun kampus, baik yang
dikelola swasta maupun yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini menjadi tolak
ukur untuk dijadikan acuan kesuksesan dan kemajuan suatu bangsa. Asumsinya,
semakin banyak lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri, semakin besar pula
harapan akan terciptanya masyarakat yang dapat mengangkat harkat dan martabat
suatu bangsa. Ini juga menjadi suatu pandangan yang berkembang di masyarakat,
bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah satu-satunya penyebab di mana terjadinya
peningkatan” melek huruf” masyarakat.
Namun, hal itu menjadi dikotom, jika
kita mengutip kata kata Paolo Freire di atas. Menurut Freire, lembaga-lembaga pendidikan
adalah alat penguasa penanaman ideologis atau “cuci otak”. Di mana apa yang
diberikan dan diajarkan kepada “penghuni” lembaga tersebut menjadi hanya sekedar
propaganda untuk menyokong “status quo” . Apabila si “penghuni” tersebut tidak
mematuhi atau melanggar sesuai apa yang diajarkan, maka dianggap sebagai “biang
keladi” atau “pesakitan” terciptanya ketidakharmonisan. Dalam konteks ini,
lembaga-lembaga ini dipandang sebagai senjata pamungkas “sipir-sipir” atau
orang yang berkuasa untuk membentuk dan mengarahkan kehendak serta karakter anak
didik sebagai “tahanan penjara”. Sudah barang tentu, proses itu dapat berimbas
kepada sifat, pikiran dan perbuatan “tahanan” lembaga tersebut.
Setiap manusia memiliki rasa, daya
cipta, karsa, karya dan moral. Namun, “Pancawardana” itu tidak akan timbul
dengan sendirinya jika tidak ada rangsangan dari luar. Hal ini menjadi naif,
apabila manusia ini masih terkungkung di dalam “penjara” tersebut.
Membuka “Kotak Pandora”
Banyak
yang berpendapat bahwa sekolah adalah pendidikan, dan pendidikan adalah sekolah.
Apabila kita “bersekolah”, berarti kita adalah orang yang berpendidikan.
Sebaliknnya apabila kita tidak sekolah, berarti kita orang yang tidak
berpendidikan. Seakan akan dengan lebel “sekolah”, kita mendapat ilmu
pengetahuan yang itu adalah esensi dari
pendidikan itu sendiri. Dan sekolah menjadi komoditas yang mesti diburu dan
dicari cari masyarakat.
Paham akan hal tersebut, stakeholder
(pemerintah) membiarkan stigma itu berkembang, dan makin gencar mempublikasikan
melalui media cetak dan elektronik serta membiarkan tumbuh subur di kalangan masyrakat. Alih-alih mendapat ilmu
pengetahuan dari lembaga-lembaga tersebut, menurut Fransisco Ferrer, lembaga-lembaga
tersebut hanya mengkondisikan para pelajar supaya patuh dan jinak. Anak-anak harus terbiasa untuk taat perintah,
untuk percaya, untuk berfikir, menurut dogma dogma sosial yang mengatunya.
Menurut
Ferrer, kudeta atas kekuasaan stakeholder
̶ yang telah menghegemoni dunia pendidikan ̶ harus segera terealisasikan. Karena
stakeholder-stakeholder yang mengatur jalanya pendidikan saat ini, tidak pernah
bertujuan ingin mengangkat para peserta didiknya, melainkan mereka hanya ingin
memperbudaknya.
Selaras dengan itu, banyak yang
memandang bahwa lembaga lembaga tersebut tidak lain sebagai pengarah,
pembimbing dan pembentuk hidup agar manusia bermoral dan berperadaban serta
memperoleh hidup yang baik dan berkualitas. Sekilas memang logis. Bahkan
terdengar begitu menawan. Bak syair lagu “engkau gadis berkerudung merah hatiku
tergoda terpana, tak cuma parasnya yang indah dia cantik dia sholehah”.
Namun yang tampak bukanlah yang
sejatinya. Jika kita kritisi pernyataan tersebut memiliki sesuatu yang memiliki
masalah yang serius. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah: mengapa manusia
atau dalam hal ini pelajar harus diarahkan dan dibimbing melalui lembaga
lembaga tersebut guna menjadi yang lebih baik dan berkualitas? Benarkah untuk
menjadi yang lebih baik dan berkualitas mesti diarahkan atau dibimbing
lembaga-lembaga tersebut? Adakah jika tidak dirahkan atau dibimbing lembaga-lembaga
tersebut, pelajar tidak mampu menjadi baik ataupun berkualitas? Belum baik?
Atau akan selalu menjadi “jahat”?Atau sejak lahir manusia telah menjadi jahat,
kemudian membutuhkan arahan dan bimbingan lembaga-lembaga tersebut agar menjadi
lebih baik dan berkualitas?
Kualitas “jahat” seperti apakah yang
hendak “dijinakkan” oleh lembaga-lembaga pendidikan. Anggapan manusia atau
pelajar sebagai “spesies-spesies” yang terlahir jahat dan perlu dibimbing dan
diarahkan oleh lembaga-lembaga tersebut untuk menjadi lebih baik adalah pandangan
yang sulit diterima oleh akal sehat sekalipun. Bahkan sangat bermasalah dalam
pengertian apapun. Jika mengambil idiom dalam Islam, ada pendapat yang
menunjukan bahwa manusia terlahir suci, dan bahkan merupakan makhluk dari semua
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.
Jika hal tersebut menjadi idiom yang
dibenarkan oleh masyarakat. Sudah sewajarnya apabila seorang pelajar atau siswa
dapat dikatakn sebagai “tahanan”, dan lembaga-lembaga yang dikatakan tempat
membimbing dan mengarahkannya yang biasanya disebut sekolah, lembaga bimbel
ataupun kampus dapat dikatakan sebagai “penjara”.
Tahanan adalah orang yang dicap sebagai
penyebab atau biang keladi suatu permasalah, namun belum tebukti. berbeda
dengan tersangka yang jelas jelas mereka adalah pelaku tindakan kejahatan.
Pandangan yang menganggap pelajar ataupun siswa terlahir “jahat”, jelas
bertentangan dengan fakta primodial manusia yang dalam kenyataanya tidak pernah
lahir dengan sebagai “yang jahat” semata. Sebaliknya sebagai “yang bisa jahat”.
Inilah yang menjadi legitimasi-legitimasi
stakeholder yang kemudian meninferiorkan sekelompok orang sebagai yang tidak
terarah dan terbimbing serta belum bermoral dan berkualitas sehingga
diselamatkan, diarahkan, dan dibentuk apa yang mereka sebut “baik”. Konsekuensi
logisnya, lembaga-lembaga tersebut menjadi ruang yang mengerikan; sebuah ruang dehumanisasi
yang dilakukan secara terselubung. Pembentukan dan pengarahan itu secara
otomatis akan merantai independensi masing-masing individu, yang menyebabkan
baik buruk telah ditetapkan secara baku dan tanpa pilihan. Lebih dari itu,
hidup setiap individu bahkan telah diformat dan dipilih sedemikian rupa oleh
diri-diri yang lain. Inilah yang dimaksud Erich Fromm dengan Si Automaton;
makhluk hidup yang bergerak dan berfikir serta berkreasi serupa mesin yang serba
otomatis.
UNAS (Ujian
Nasib Anak Sekolah)
Tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, Indonesia yang dijuluki negeri seribu pulau ini masih saja
tenggelam dalam derita yang belum kunjung surut. Dewasa ini, begitu banyak
permasalahan dari berbagai dimensi kehidupan terjadi di tanah air ini.
Nilai-nilai moralitas sudah dianggap aneh, kejahatan menjadi hal yang biasa, korupsi
menjadi budaya, perkelahian dan pemerkosaan antar pelajar menjadi makanan
sehari-hari media. Pendidikan menjadi tidak begitu terlihat mendidik.
Perlu kita akui bahwa masalah
pendidikan adalah masalah yang sepertinya nyaris tak kunjung usai. Belum terselesaikan
masalah yang satu, muncul lagi masalah yang lain. Dari mulai biaya sekolah,
kondisi gedung sekolah, kurikulum pendidikan, nasib guru, sampai
Ujian Nasional (UNAS).
UNAS merupakan
tahap yang WAJIB dilalui oleh peserta didik. Di tengah polemiknya yang begitu
rumit, diakui atau tidak UNAS menjadi “hantu” yang menakutkan. Padahal secara
tidak langsung UNAS menjadi salah satu sebab mandegnya pendidikan. Proses pendidikan – yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan – tidak ubahnya seperti kasus “pemerkosaan”, di mana pelaku
memaksaan kehendaknya kepada si korban. Seperti pohon yang “dipaksa” tumbuh, berakar, memiliki batang,
berdahan, beranting, berdaun dengan cara yang sama, serta menghasilkan buah
yang sama. Sedangkan dalam kenyataanya, tidak setiap pohon memiliki kesamaan
dalam proses tumbuh, beranting, berdaun serta menghasilkan buah, meski pohon
tersebut memiliki kesamaan-kesamaan dalam
jenis ataupun kedekatan dalam kingdomnya.
Kemampuan dan kecerdasan anak didik berbeda-beda. Tidak bisa dan serta merta dapat ditakar
dengan Ujian Nasional.
UN hanyalah alibi dan “jampi-jampi” yang dijadikan sebagai tolak ukur pendidikan di Indonesia. UN menjadi
“topeng” pemerintah untuk
mengeluarkan anggaran dana bermiliar-milar untuk menyelenggarakannya. Dan seperti sebelumnya. Alih-alih
meningkatkan mutu pendidikan, mengatasi polemiknya saja ibarat mengurai benang
kusut. Padahal masalah pendidikan di negeri ini semakin hari semakin menumpuk.
Pola-pola seperti ini tidak jauh dari tujuan dan esensi pendidikan – yang disebut Paulo Freire sebagai proses memanusiakan manusia. Pola-pola yang
diciptakan lembaga-lembaga pendidikan itu menjadi ruang pembatas terhadap humanitas, yang diproduksi secara rapi dan sistematis.
Membebaskan Pendidikan
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sekolah yang merupakan “penjara”; di mana seorang siswa ditawan di
dalamnya.
Misalnya, seorang siswa berangkat ke sekolah jam 07.00 dan pulang jam 14.00. Siswa disuruh
belajar, membaca buku, mencatat pelajaran, mengerjakan soal, mengikuti ujian
dan lain sebagainya. Siswa “dipaksa” mengikuti aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Berbagai hal
tersebut dilakukan hampir tiap hari. Tidak ada
kesempatan untuk bergumul dengan masyarakat dan lingkingan
sekitar.
Mereka terasing
dari dunianya.
Sebagai tawanan, siswa wajib menuruti perintah
sekolah. Jika tidak, maka mereka akan diberi hukuman yang lebih berat dan
bahkan “dibunuh”.
Memang kreatifitas tidak dirampas, namun
dibawah intruksi. Memang kreativitas
tidak lenyap, namun terkontrol dan tidak bebas. Padahal secara
tegas Emile Durkheim, mengatakan bahwa
sistem pendidikan berkontribusi untuk eksistensi sebuah masyarakat.
Dalam hal ini, melalui kurikulum yang diajarkan di sekolah, pendidikan akan mempersiapkan
murid-murid mengantisipasi kondisi dimasa yang akan datang. Dengan kata lain,
akan tercipta transmisi kebudayaan di dalam masyarakat. Dan pendidikan melalui praktik
kurikulum di sekolah akan menghasilkan individu dewasa yang ideal untuk
masyarakat. Bukan sebaliknya menjadi si automaton.
Jika terjadi kesalahan dalam sistem pendidikan atau
kurikulumnya, maka lenyap sudah cita-cita pendidikan itu sendiri. Di Indonesia, kurikulum
boleh dibilang hanya sebagai komoditas. Dengan bukti silih bergantinya menteri
pendidikan yang diiringi oleh perubahan kurikulum. Bukannya memperbaiki system, justeru hal tersebut
membuat system yang sudah dibangun menjadi keropos. Guru yang semula berfungsi sebagai penerjemah kurikulum kepada peserta
didik, ternyata hanya menjadi bagian dari state
administator ataupun disributor-distribtor pendidikan.
Jika pendidikan tak kunjung menemukan
komposisi untuk menyiapkan para generasi mendatang, dan sekolah hanya
menawarkan pendidikan untuk hidup, bukan pendidikan dalam kehidupan, maka jalam
menuju kebahagiaan akan dihabiskan di dalam “penjara” yang bernama sekolah.
Pada prinsipnya, pendidikan adalah kegiatan belajar, kegiatan manusia
yang tidak membutuhkan manipulasi dari pihak lain. Mestinya kegiatan tersebut bukan merupakan
hasil intruksi, namun
kegiatan ini lebh merupakan hasil peran serta dalam situasi bermakna. Dan cara
terbaik untuk kegiatan ini bagi kebanyakan orang adalah menjadi bersama-samanya
dengan apa yang mereka pelajari.
Tetapi sekolah menerapkan dengan perencanaan
dan manipulasi berupa kurikulum, yang menyebabkan siswa berada dalam “ruang hampa”.
Apabila penjara-penjara ini semakin mapan, maka cita-cita pendidikan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali kesadaran manusia agar ia mampu hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaanya tidak akan terjadi. Sekolah-sekolah yang notabenenya hanya sebagai “penjara” dan menjadikan siswa hanya sebagai “tahanan” saja, harus dilucuti kemapanannya. Dengan Demikian, maka pendidikan akan menciptakan pengetahuan, kesadaran dan keterampilan anak didik. Pada tahap selanjutnya, pendidikan akan menjadi jalan pembebasan manusia, lumbung demokrasi, dan menciptakan kondisi peserta didik yang rasional, aktif, dan independen.
*Tulisan ini adalah hasil "Ngopi" penulis dengan Pengurus DEMA Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2014
0 Comments