Pendidikan adalah investasi terbaik
yang menawarkan masa depan terbaik. Strata sosial dan ekonomi sebuah keluarga
bisa terangkat secara drastis manakala anggota keluarganya mampu menyelesaikan
pendidikan universitas. Bahkan status kelas seseorang akan diakui sebagai kelas
menengah ketika mulai duduk di bangku kuliah. Manusia paling sempurna, Nabi
Muhammad SAW, senantiasa mengingatkan hal ini: “tuntutlah ilmu dari sejak rahim hingga liang lahat”. Bahkan dalam banyak nash, agama
hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal/berpendidikan. Pendidikan
yang secara makro bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya masih
menjadi cita-cita yang menggantung di langit, atau mungkin sebuah utopia belaka?
Bahkan tujuan mikro dan lebih pragmatis
(belajar untuk bekerja) masih susah untuk dicapai. Kita semua sepakat bahwa sistem
pendidikan kita belum mampu untuk serasi dan sepadan dengan dunia industri. Artinya, apa yang dipelajari di sekolah tidak
selalu berkaitan langsung dengan realita yang akan dihadapi nanti. Selama ini
kita masih berkutat untuk mencari-cari jalan dan bentuk yang pas akan pola
pendidikan. Maka wajarlah jika beberapa kali terjadi perubahan model yang
terkadang susah dilaksanakan di lapangan.
Melihat kenyataan di atas banyak pakar
pendidikan kita yang menawarkan “jampi-jampi”
demi perbaikan kualitas pendidikan di tanah air. Hasilnya? Bukannya membaik,
justru malah semakin tak karuan bentuk wajah pendidikan kita. Dari tahun-ketahun
kualitas pendidikan kita semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga,
bahkan dengan Malaysia yang notabene ”bekas murid” kita, telah jauh
melangkah lebih maju meninggalkan gurunya.
Gambaran out put dengan skill yang usang tadi berdampak pada ketertinggalan
masyarakat kita dalam bersaing memperebutkan lowongan pekerjaan. Industri lebih
suka mengambil lulusan luar negeri karena dipandang lebih capable dan
mempunyai daya adaptif tinggi dibanding lulusan lokal. Banyak yang tetap menganggap bahwa sekolah
adalah dewa penolong bagi masa depan anak dan menjadi simbol sosial. Maka tidak
heran jika di setiap tahun ajaran baru banyak orang tua yang mendaftarkan
sekolah anaknya. Tetapi tidak sedikit yang menganggap sekolah bukan lagi pilihan investasi karena
melihat banyaknya pengangguran terdidik. Maka banyak orang tua yang lebih
memilih menjadikan anaknya sebagai polisi atau tentara selepas SMA dibanding
membiayai kuliah anaknya. Karena jika dikalkulasi, daripada mengeluarkan budget untuk biaya kuliah, mendingan untuk membeli kerja. Maklumlah
pekerjaan di Indonesia kebanyakan dibeli daripada dicari. Apalagi akhlak, budi
pekerti, dan moral oknum mahasiswa yang kian merosot. Ada saja peristiwa heboh
yang diperbuat mereka, seperti seks bebas, narkoba, dan tindak curanmor yang
sering diekspos media. Tentunya, hal itu semakin menambah keengganan orang tua
untuk melepas jauh anaknya.
Ivan Illich, melalui bukunya yang berjudul “Deschooling Society”, jelas-jelas
mengatakan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga
pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam
kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir
seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalistik. Konspirasi
terselubung antara pendidikan dan kapitalisme ini juga tak lepas dari dukungan
pemerintah (kekuasaan) sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi cukup
massif.
Struktur
masyarakat industri menurut Illich telah menyeret kesadaran masyarakat kepada
dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya
mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit,
mobilitas pribadi dengan frekuensi aktivitas yang banyak, dan seterusnya.
Inilah fenomena ketika kebutuhan-kebutuhan non-material dalam spektrum
masyarakat kapitalis telah diubah menjadi permintaan terhadap barang, yang
tentu saja berada dalam jaringan sistem kapitalisme.
Ketergantungan
masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan ini menurut
Illich merupakan suatu bentuk pelembagaan nilai yang mau tidak mau pada
akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan
psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka
hubungannya dengan lembaga sekolah.
Dunia pendidikan Indonesia bak
lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi
dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakatpun
mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat
(lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga
dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan
kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan
lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru.
Lulusan bersertfikatpun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi.
Dari benang kusut yang melilit dunia pendidikan kita, sudah semestinya bangsa ini menyadari pentingnya substansi pendidikan yang selama ini terkontaminasi. Pendidikan adalah alat vital bagi perkembangan perkembangan suatu bangsa dan negara. Bahkan Bapak Bangsa kita, Ir. Soekarno, merasa perlu untuk meminta anak-anak Indonesia untuk menggantungkan cita-citanya setinggi bintang di langit, tentunya alat yang dimaksud untuk menggantung cita-cita setinggi itu tak lain adalah pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tak harus melewati jalur formal, atau jalur sekolah yang umum kita kenali, namun pendidikan yang sesungguhnya adalah segala bentuk pelajaran hidup yang kita peroleh dalam kehidupan; ajaran agama, pelatihan, contoh perilaku, sejarah, pengalaman, nasehat, adat istiadat, budaya, sosial dan lainnya.
Dengan demikian, sudah saatnya untuk disadari bahwa otoritas pendidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga sekolah, tetapi juga berada dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Karena itulah, pemberdayaan pendidikan sebenarnya dapat dilakukan di mana saja, asal semua sumber daya tersebut dibebaskan seluruhnya demi dikelola bagi kepentingan pendidikan.
*Tulisan ini adalah hasil
diskusi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Surabaya dan menjadi materi Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) tahun 2011.
0 Comments