Kita tahu, gerakan islamisme radikal sedikit banyak
telah mengubah wajah Islam menjadi agresif, garang dan penuh kebencian.
Padahal, esensi Islam adalah damai, toleran, dan kasih sayang.
Mengemukanya beragam
kasus kekerasan mengatasnamakan agama umumnya dilatarbelakangi oleh fanatisme
keagamaan sempit dan terkungkung pada batas. Islamisme radikal dinisbatkan
sebagai gerakan ortodoksi agama yang kerap menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan dan mempertahankan keyakinan.
Tak
bisa dipungkiri, media sosial merupakan pintu masuk untuk melakukan gerakan
itu. Informasi beredar dengan mudah dan cepat. Jika hal ini dikonsumsi tanpa
diimbangi dengan pengetahuan yang menyeluruh, maka fanatisme sempit akan kukuh.
Keadaan seperti ini memudahkan para radikalis untuk mempengaruhi
pembaca melalui dunia maya. Ideologi “surga” disebarkan sebagai jawaban
permasalahan sosial. Pintu penetrasi ideologi radikal pun mulai dimasukkan
dengan berbagai macam ide untuk menyerang ideologi Pancasila. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi generasi muda Indonesia. Sebab kaum radikalis menggunakan motif
agama dengan langgam "jihad fi sabilillah".
Fakta berkembangnya pengaruh ideologi dan kelompok radikalis
memang tak terelakkan, sebut saja HTI dengan ideologi khilafahismenya. Meski
secara legal formal HTI telah dilarang, namun pengaruh ideologi anti NKRI,
Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinnekaan tak berarti hilang.
Focus group discussion yang dilakukan oleh UIN Sunan Ampel
Surabaya dan UIN Antasari Banjarmasin menjadi formulasi yang memberi nilai
tersendiri. Karena selama ini, penelitian dilakukan, dipresentasikan dan
didokumentasikan dalam bentuk jurnal, buku atau laporan. Tidak banyak hasil
penelitian yang diseminarkan dengan berbagai kajian, sudut pandang dan latar belakang
institusi.
Semoga forum ini dapat memberi gagasan baru yang bermanfaat bagi
kita, terutama dalam mengkaji, meneliti dan menyikapi berbagai fenomena
radikalisme agama.
0 Comments