Dalam beberapa diskursus, agama
dan ilmu merupakan dua hal yang sulit dipertemukan. Keduanya memiliki wilayah masing-masing, baik dari
segi objek formal dan material, metodologi, kriteria kebenaran, maupun
teori-teorinya. Fakta sejarah di Barat tentang ilmu pengetahuan; Gereja menolak
teori Heliosentris Galileo. Di sisi lain, Isaac Newton dan tokoh ilmu-ilmu sekular
menempatkankan Tuhan sebagai penutup sementara untuk hal yang tak bisa
dipecahkan oleh ilmu mereka. Begitu hal itu terpecahkan, campur tangan Tuhan tidak lagi diperlukan. Sebaliknya di dunia Timur, dalam dunia
keIslaman, pengajaran ilmu Agama Islam semakin terlepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang berakibat pada kehidupan dan kesejahteraan umat
manusia.
Banyak orang yang mengagungkan intelektualitas, namun miskin nilai-nilai spiritual dan
moralitas. Kemajuan teknologi membuat manusia akan lebih materialistis dan individualistis, dengan hasrat yang meluap-luap dan hanya
mencari kenikmatan semu. Tampaknya hal ini pun sudah mewabah di Indonesia. Oleh
sebab itu, perlu adanya sebuah sistem pendidikan yang mampu menyatukan
nilai-nilai Agama dengan ilmu pengetahuan sehingga dapat menghasilkan individu
yang tidak hanya memiliki skill di bidang keilmuan dan teknologi tetapi juga
memiliki kesadaran religius agar tidak terjerumus dalam arus perkembangan
global saat ini.
Urgensi Integrasi Sains dan Islam
ü Konsepsi Islam Tentang Sains
Agama dalam arti luas adalah wahyu Tuhan,
yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dan tuhan, manusia dengan
sesama dan lingkungan hidup yang bersifat fisik, sosial maupun budaya.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk etika, moral, akhlak,
kebijaksanaan dan dapat pula menjadi teologi ilmu sertagrand theory ilmu.[1] Allah
SWT berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 109:
“Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)".
Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu
(dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah;
baik,buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat, merugikan).
Ilmu yang lahir dari induk Agama akan menjadi ilmu yang bersifat objektif.
Maka, ilmu yang dihasilkan oleh orang beriman, adalah ilmu untuk seluruh umat,
bukan untuk salah satu pengikut Agama.[2]
Sebelum kita membahas tentang integrasi
ilmu dan Agama, perlu diketahui konsep ilmu dalam pandangan Islam. Dalam
Ensiklopedia Indonesia yang dikutip oleh Budi Handrianto, ilmu pengetahuan
adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing
didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti
dengan memakai metode-metode tertentu.[3] Sementara,
Ashley Montagu menyebutkan, “Science
is a sistematized knowledge derived from observation, study, and
experimentation carried on order to determine the nature of
principles of what being studied.”[4] (Ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang sistematis yang diperoleh dari observasi,
pembelajaran, dan percobaan untuk menentukan sifat alami dan prinpsip-prinsip
dari apa yang dipelajari).
Imam al-Ghazali, membedakan ilmu menjadi dua; Pertama, ilmu
Agama yakni ilmu yang diperoleh dari ajaran Nabi SAW dan wahyu, Kedua, ilmu
nonAgama yang dikelompokkan kepada ilmu yang terpuji (mahmud),
dibolehkan (mubah), dan tercela (mudzmum).[5]
Ilmu Agama masuk dalam kategori fardu‘ain, sedangkan ilmu nonAgama yang berguna
untuk kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah. Al-Ghazali Dalam konteks pengembangan ilmu
ia membagi ilmu itu kepada dua bagian, pertama, ilmu fardhu'ain,
yang wajib di tuntut oleh setiap muslim seperti ilmu tauhid, dan hal-hal yang
berhubungan dengan pelaksanaan ibadah mahdhah (syari'ah). Kedua, ilmu
yang wajib dicari dan menjadi tanggung jawab sekelompok umat Islam yang
diistilahkan dengan fardhu kifayah, seperti ilmu kesehatan, fisika, kimia,
matematika dan lain-lain. Hanya sayang sekali pengggolongan ilmu yang
dibuat imam al-Ghazali ditangkap secara tidak tepat oleh generasi
penerusnya, sehingga perhatian mereka terhadap ilu fardhu kifayah tersebut
sangat kurang, bahkan diabaikan. Padahal Al-Ghazali sendiri seorang figur
ilmuan besar yang menguasai disiplin ilmu Agama, filsafat, maupum yang selama
ini dianggap ilmu "umum".[6]
Di dalam Islam tidak ada yang namanya
batasan dalam menuntut ilmu, selama ilmu tersebut memberikan manfaat bahkan
ilmu hitam juga boleh untuk menuntutnya untuk sekadar mengetahui. Pentingnya
mempelajari ilmu-ilmu selain ilmu Agama menurut al-Qur’an dan sunnah bisa
didasari beberapa alasan, yaitu: Pertama,
jika pengetahuan merupakan persyaratan
untuk pencapaian tujuan-tujuan Islam dalam hal syariah, maka mencari ilmu
tersebut merupakan kewajiban untuk memenuhi kewajiban syariah. Misalnya,
mempelajari ilmu obat-obatan karena kesehatan merupakan hal penting dalam
Islam.[7]
Kedua, al-Qur’an menghendaki umat Islam menjadi
umat yang agung dan mulia sehingga tidak bergantung kepada orang kafir. Oleh
karena itu umat Islam harus memiliki keahlian di berbagai bidang, sehingga
memiliki spesialis hebat dan teknisi handal.[8]
Ketiga, manusia telah diperintahkan dalam
al-Qur’an (QS.Qaf [50]: 6-8) untuk mempelajari sistem dan skema
penciptaan, keajaiban-keajaiban alam dan sebagainya. Keempat, ilmu tentang hukum-hukum alam,
karakteristik benda-benda dan organisme dapat berguna untuk memperbaiki kondisi
hidup manusia.[9]
ü Sinergitas Sains dan Islam
Dalam pelaksanaan pendidikan memiliki dua
misi utama yaitu pembinaan daya intelektual dan pembinaan daya moral, mensinergikan
sains dan Islam (Agama) merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan.
Karena dengan mengabaikan nilai-nilai Agama dalam perkembangan sains dan
tekhnologi akan melahirkan dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada
orde sosial-kemanusiaan, tetapi juga pada orde kosmos atau alam semesta ini.
Dampak negatif dari kecendurungan mengabaikan nilai-nilai (moral Agama) bisa
kita lihat secara emperik pada perilaku korup dan lain sebagaianya yang
dilakukan oleh manusi dimuka bumi ini dengan munggunakan kekuatan sains dan
tekhnologi. Namun, tampaknya dalam realitas kehidupan terjadi ketimpangan,
di mana misi pertama lebih diutamakan Ilmu tanpa Agama sehingga mengakibatkan
timbulnya krisis moral, kapitalis, materialistis hingga menjatuhkan harkat
derajat atau kualitas "khairi ummah" yang kemudian
menjadi penyebab krisis alam dan sumber daya.
Sebenarnya pembinaan intelektual dan moral
dapat dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan yaitu; (1) ontologi ilmu
pengetahuan yang menekankan pada kemampuan spiritual, (2) epistemologi ilmu
pengetahuan yang menjamin pembinaan kemampuan intelektual, dan (3) etika ilmu
pengetahuan yang lebih menjamin pada pembinaan kemampuan moral.[10]
Wacana perpaduan antara sains dan Agama di Indonesia sudah lama
digaungkan sebagaimana yang tertuang dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 30
yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan Agama pada semua strata pendidikan
sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mencapai kualitas hidup yang utuh.
Pengertian integrasi sains dan teknologi
dengan Islam dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme
atau kompetensi dalam satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu
dibarengi atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. Kesadaran ketuhanan
tersebut akan muncul dengan adanya pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu Islam.
Oleh sebab itu, ilmu-ilmu Islam dan kepribadian merupakan dua aspek yang saling
menopang satu sama lain dan secara bersama-sama menjadi sebuah fondasi bagi
pengembangan sains dan teknologi. Bisa disimpulkan, integrasi ilmu
berarti adanya penguasaan sains dan teknologi dipadukan dengan ilmu-ilmu Islam
dan kepribadian Islam.[11]
Integrasi sinergis antara Agama dan ilmu
pengetahuan secara konsisten akan menghasilkan sumber daya yang handal dalam
mengaplikasikan ilmu yang dimilki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang
kokoh dalam menghadapi kehidupan. Islam tidak lagi dianggap sebagai Agama yang
kolot, melaikan sebuah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai
bidang kehidupan, dan sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan teknologi.
Agama - dalam hal ini Islam sebagai paradigma - saat
ini masih sebagai justifikasi atau pembenaran terhadap konsep-konsep sains dan
belum menjadi paradigma keilmuan yang holistik. Orientasi dan sistem
pedidikan di sekolah antara ilmu Agama dan ilmu umum haruslah diintegrasikan
secara terpadu dalam sebuah proses pelarutan, maksudnya antara Agama dan sains
dapat disinergikan secara fleksibel, dan link and match. Konsep integralisme monistik dalam
perspektif Islam adalah sebuah paradigma unifikasi bagi ilmu-ilmu kealaman dan
keagamaan, tidak hanya menyatukan ilmu-ilmu tersebut tetapi juga menjadi
paradigma ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Islam tidak hanya menjadi
sudut pandang atau pelengkap tetapi menjadi pengawal dari setiap
perbuatan/kerja sains.
Integrasi sains dan agama memiliki nilai
penting untuk menghilangkan anggapan antara Agama dan sains adalah dua hal yang
tidak dapat disatukan, dan untuk membuktikan bahwa agama (Islam) bukan
Agama yang kolot yang tidak menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan Agama yang terbuka dan wahyu (al-Qur’an) merupakan sumber
atau inspirasi dari semua ilmu.
Jika kita menelisik
sejarah peradaban Islam pada antara abad 8-12M, kita dapat mengenal sejumlah figur
intelektual muslim yang menguasai dua disiplin ilmu, baik ilmu Agama
maupun ilmu umum (sekalipun pada hakikatnya dalam pandangan Islam ilmu umum itu
juga merupakan ilmu Agama, merupakan kalam tuhan yang kauniyah/
tersirat) sebut saja misalnya Ibn Miskawaih (320-412/
932-1032), Ibn Sina (370-428/980-1037), al-Ghazali (450-505/
1059-1111) Ibn Rusd, Ibn Thufail dan seterusya. Mereka adalah para
figur intelektual muslim yang memiliki kontribusi besar terhadap
kemajuan-kemajuan dunia Barat modern sekarang ini. Jika pada awalnya kajian-kajian
kelslaman hanya berpusat pada Alquran, Hadis, Kalam, Fiqih dan Bahasa, maka
pada periode berikutnya, setelah kemenangan Islam di berbagai wilayah, kajian
tersebut berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: fisika, kimia, kedokteran,
astronomi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kenyataan ini bisa dibuktikan pada
masa kegemilangan/ keemasan antara abad 8-15 M, dari Dinasti
Abbasiyyah (750-1258 M) hingga jatunya Granada tahun 1492M.[12]
Munculnya para ilmuan Barat adalah merupakan hasil dari
karya-karya intelektual muslim yang direbut pada masa kemunduran Islam.
Dan spirit dari para cendikiawan Muslim harus menjadi fondasi dasar dalam
mengembalikan kejayaan Islam di masa ini dan akan datang.
Reformulasi Integrasi
Sains dan Islam
Untuk terwujudnya model Integrasi
sains dan Islam dalam lembaga pendidikan Islam, perlu diadakan
tahapan-tahapan antara lain adalah sebagai berikut:
ü Menjadikan Wahyu sebagai Sumber
Utama Ilmu Pengetahuan
Memposisikan kitab suci (Al-Qur'an, Injil,
Weda, Taurat dan Zabur) sebagai basis atau sumber utama Ilmu masing-masing yang
bersangkutan, maka ke depan dapat diharapkan akan lahir
pribadi-pribadi dalam masyarakat yang memiliki kekokohan dalam pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agamanya sekaligus juga professional dalam bidang
ilmu modern yang ditekuninya.
Al-Quran da hadis dalam pengembangan ilmu diposisikan sebagai
sumber ayat-ayat qauliyyah sedangkan hasil observasi, eksperimen dan
penalaran-penalaran yang logis diletakkan sebagai sumber ayat-ayat kauniyyah. Dengan
memposisikan Alquran dan hadis sebagai sumber ilmu,
maka dapat ditelusuri semua cabang ilmu mempunyai dasar yang bersifat konsep di
dalamnya. Ilmu hukum mislanya, sebagai rumpun ilmu sosial maka
dikembangkan dengan mencari penjelasan-penjelasan pada Alquran dan hadis
sebagai ayat qauliyyah sedangkan hasil-hasil dengan melalui
observasi, eksperiment, dan penalaran logis sebagai ayat-ayat yang kauniyyah.[13] Berbagai
ilmu yang dikembangkan dengan memposisikan ayat yang qauliyyah dan
ayat yang kauniyyah sebagai sumber utama maka dikotomi ilmu
(memisah-misahkan ilmu umum dan Agama) yang begitu marak dipersoalkan selama
ini dapat terselesaikan.
Sebagaimana wataknya yang universal itu, Alquran dan hadis dapat
dijadikan sebagai sumber sagala ilmu pengetahuan dan tidak sebatas ilmu
pendidkan yang sejenis dengan ilmu tarbiyyah, ilmu hukum dengan ilmu syari'ah,
ilmu filsafat dengan ilmu ushuluddin, ilmu bahasa dan sastra dengan ilmu adab,
dan komunikasi dengan ilmu dakwah. Namun ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu kimia,
ilmu psikologi, ilmu pertanian dan semua ilmu lainnya dapat dicarikan
informasinya di dalam Alquran, sekalipun tidak langsung bersifat teknis
melainkan bersifat umum yang dapat ditelusuri dengan ayat-ayat-Nya yang
bersifat kauniyyah.
Sementara tingkat pemahan kaum muslimin saat ini hanya dipandang
sebatas menyangkut tentang tata cara beribadah, merawat anak yang baru lahir,
persoalah pernikahan, zakat, haji dan lain sebagainya yang selalu
bersifat normatif. Padahal, Alquran juga berbicara tentang konsep tentang
ketuhanan, penciptaan, persoalan manusia dan prilakunya, alam dan seisinya
serta petunjuk tentang keselamatan manusia dan alam. Jika ilmu pengetahuan juga
menyangkut itu semua, maka tidak ada salahnya semua hal tersebut dapat
ditelusuri dari kitab suci Alquran dan hadis.
ü Memperluas Batas Materi Kajian Islam; Membongkar Dikotomi
Sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri bahwa semua
lembaga pendidikan Islam, baik di tingkat ibtidaiyah hingga sampai ke
pergurtuan tinggi, juga yang terjadi di podok pesantren, ketika orang menyebut
pelajaran Agama, maka yang muncul adalah pelajaran tauhid, pelajaran fiqih,
pelajaran akhlak, dan tasawuf, pelajaran Alquran dan hadis, pelajaran tarikh
dan bahasa arab. Demikian pula jika kita meninjau ke perguruan tinggi Agama
Islam, maka yang datang dalam pikiran kita adalah adanya Fakultas Syari'ah,
Fakultas Tarbiyyah, Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah dan Fakultas Adab.
Penyebutan hal yang demikian sesunggunhnya bukanlah dikatakan keliru. Namun, persoalnnya dalah bahwa
selama ini telah dipahami bahwa ajaran Islam itu bersifat Universal.
Dikotomi ilmu dalam studi Islam terkait erat dengan pembagian
kelompok ilmu Islam dalam pengertian ilmu Agama sebagaimana dikemukakan dimuka.
Dalam hal ini sangat berimbas pada kemunculan dikotomi kelembagaan dalam
pendidikan Islam. Dampak negatif yang paling mendasar adalah bahwa muncul pula
istilah sekolah-sekolah Agama dan sekolah-sekolah umum. Sekolah Agama berbasis
pada ilmu-ilmu "Agama" sedangkan sekolah umum berbasis kepada
ilmu-ilmu "Umum".[14]
Dari kenyataan ini, dapat dipahami bahwa dikotominya ilmu yang
selama ini selalu dipersoalkan mungkin merupakan kemauan umat Islam itu sendiri
atau memang perguruan tinggi Agama Islam yang ada di dunia ini masih
belum bisa mengintegrasikan ilmu Agama dengan ilmu umum. Masalah ini memang
tidak mudah untuk jawab melainkan butuh perumusan-perumusan yang matang dan
gagasan-gagasan yang lebih tajam.
Namun, munculnya beberapa Universitas Islam Negeri di Indonesia
seperti UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Qosim
Pekanbaru Riau, merupakan asa baru dalam perkembangan peradaban Islam. Dan salah
satu misinya adalah untuk mengembangkan ilmu ilmu yang bersifat integratif
antara ilmu Agama dan ilmu umum.
ü Menelusuri Ayat-ayat Dalam Alquran yang Berbicara Tentang Sains
Menelusuri ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang sains adalah merupakan bentuk langkah yang sangat vital untuk terintegrasinya
sains dan Islam. Seterusnya bahwa kebenaran Alquran itu merupakan relevan
dengan ilmu pengetahuan (sains) yang saat ini sangat pesat berkembang.
ü Mengembangkan Kurikulum Pendidikan Islam
Dari hasil kajian berbagai disiplin ilmu
dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu
berpangkal dari krisis akhlak dan moral, krisis spiritual. Anehnya, krisis ini
menurut sebahagian pihak disebabkan karena keterpurukan dan kegagalan pendidikan Agama. Agaknya penulis (dan umat Islam
pada umumnya) kurang/ sama sekali tidak setuju dengan tuduhan tersebut, itu
tidak lain hanyalah bentuk mengkambing hitamkan Agama, bukankah permasalahan
semestinya ditangani secara bersama.
Untuk terwujudnya insan yang mempunyai kedalaman
spritual, keagungan Akhlaq, keluasan Intelektual dan kematangan profesional,
akan dapat di capai secara utuh jika berpadu/ tersinerginya ilmu Sains
dan Islam (Agama) dalam proses pembelajaran. Melalui
pembelajaran terpadu dan integratif tersebut, suatu masalah yang menggejala
tidak bisa disalahkan kepada guru tertentu.
Epilog
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa Islam
adalah bersifat universal. Al-Qur'an – sebagai dasar agama - dalam pandangan Islam dibagi menjadi
dua. Pertama, yang menjelaskan langsung dengan kitab-Nya
disebut kalam Qauliyyah dan kedua tanda-tanda yang
ditemukan dengan cara penalaran logis, empiris dan lain sebagainya dinamakan
dengan kalam kauniyyah. Dikotomi ilmu yang selama ini selalu diperdebatkan di kalangan
yang berbeda pandangan tentang ilmu, ilmu Islam dan ilmu umum sebenarnya dapat
kita selesaikan dengan menempatkan dan memposisikan Al-Qur'an dan hadis sebagai
sumber ilmu, bukan sebagai ilmu.
Adapun bentuk formulasi integrasi
sains dan Islam dapat kita wujudkan
dengan cara: menjadikan kitab suci sebagai basis atau sumber utama ilmu, memperluas batas materi kajian Islam dan menghindari dikotomi
ilmu, menelusuri ayat-ayat dalam alquran yang berbicara tentang
sains, mengembangkan kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan. Dalam mengintegrasikan Sains dan Islam (Agama) dibutuhkan
perumusan-perumusan yang mendalam dan terprogram secara matang. Hadirnya Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, merupakan bentuk nyata dalam mengembangkan
ilmu yang bersifat integratif yakni memadu sains dan Islam (Agama) dalam proses
pendidikan.
[1] Amin Abdullah, Integrasi Sains –
Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains (Yogyakarta: Pilar
Religia, 2004), 11.
[3] Budi Handrianto, Islamisasi Sains
Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modern (Jakarta: Pustaka
al-kautsar, 2010), 45.
[6] Tim Penyusun Buku, Memadu Sains dan
Agama menuju Menuju Universitas Islam Masa Depan
(Malang: Bayumedia, 2004), Xi.
[8] Ibid., 15.
[9] Ibid., 20.
[10] Suparlan Suhartono, Filsafat
Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008), 138.
[11] U Maman Kh, Urgensi Memadukan
Kembali Sains dan Teknologi dengan Islam, http://www.pusbangsitek.com. Diakses pada tanggal 24 Mei 2019.
[14] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 215.
0 Comments