Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

MENGGALI PUSARA PENDIDIKAN

Anak adalah masa depan suatu bangsa. Kalimat ini boleh dibilang sebagai idiom dalam menciptakan pendidikan suatu bangsa di dunia ini. Memang, dalam sejarah mulai dari Athena, Yunani Kuno, anak kurang begitu disinggung (kecuali dewa-dewa mereka dan orang orang dewasa), tetapi secara logika dan kesadaran akal sehat, orang tua akan mengalami kematian dan anak yang semula tidak diperhitungkan akan menjadi dewasa dan penerus perjuangan orang orang dahulunya
Meskipun Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai representasi dari semua bangsa atau negara yang ada di dunia telah mengakui “eksistensi anak”, yang tertuang dalam Deklarsasi Jenewa tentang hak asasi anak tahun 1924 dan 1959. Bahkan yang terbaru, legalitas akan “eksistensi anak” disetujui dengan menetapkan undang undang hak asasi anak (Convention On The Rights Of The Child) oleh PBB pada tanggal 20 november 1989. Namun kenyataannya, terdapat garis pemisah yang sangat besar anra anak dalam teori anangan angan ataupun teori dengan realita yang terjadi di dalam sosio-kultural.
Sejalan dengan itu, dalam dasawarsa ini anak kehilangan jati diri atau anak kehingan akan “diri”nya sendiri. Anak lebih menjadi “orang lain” dalam pergulatan sosialnya. Anak kadang menjadi “orang tua” dengan mulai dari pakaian yang dikenakan sampai apa yang di ucapakan. Kita tahu, aturan-aturan  atau sistem yang dipakai harus sesuai dengan realitanya. Jika pada realitanya anak yang memakai sistem itu, sistem yang dipakai harus memakai sistem yang sesuai dengan anak anak itu sendiri baik dalam segi fisik maupun psikologinya. Apabila sistem yang digunakan tidak seperti itu, maka seperti yang dikatakan Erich Fromm, bahwa anak hanyala automaton yang berarti anak yang bergerak dan berpikir serupa dengan mesin serba otomatis. Singkat kata, anak akan kehilangan “diri”nya. Karena mereka diatur atau diformat dengan sistem yang secara sadar maupun tak sadar diberikan oleh lingkungan
Dalam hal ini, lingkungan yang didapatkan oleh anak adalah tempat yang dinamakan “sekolahDulu, anak-anak menghabiskan hampir semua waktunya di kebun, sungai, jalan-jalan desa untuk bermain. Itu sesuai dengan perkembangan anak yang memang memasuki masa pramoral, di mana anak belum tahu baidan buruk. Namun, mereka akan melakukan sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka hanya melakukan proses menirukan tanpa adanya refleksi berfikir akibat dari apa yang mereka lakukan.
“Tangan Dingin” Pembunuh Pendidikan
Perlu disadari, sistem sangat mempengaruhi kondisi anak. Apabila sistem yang digunakan salah sasaran, maka sistem tersebut akan membuat objeknya melenceng dengan apa yang mereka seharusnya diharapkan, meskipun sistem yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang diatur. Semisal, di sekolah, sistem yang menbangun sekolahan baik kurikulum, tata tertib maupu kebijakan kebijakan lainya yang mengatur jalannya sekolah tersebut. Apabila sistem (di sekolah) tidak sesuai dengan realitas sosialnya, maka sistem tersebut dapat mengkerdilkan hak daripada subjeknya (dalam hal ini anak didik).
Dalam realitas pendidikan saat ini, anak disuruh pergi ke “sekolah”, sebuah tempat yang dianggap oleh para orang tua mereka sebagai tempat masa depan mereka. Di sana mereka melakukan kegiatan yang “sengaja” diseting untuk mereka tempuh selama jenjang waktu tertentu. Mereka disiapkan menjadi generasi masa depan dengan aturan-aturan yang mekanistis.
Padahal, “sekolah yang dianggap orang tua mereka adalah Dewa Penolong, sebenarnya menyimpan rencana semu. Sekolah menurut Ivan Illich, akan merampas “diri” anak didik. Bahkan sekolah merampas ide-ide besar dan kreatifitas mereka. Sekolah menjadi jauh seperti apa yang diangankan. Bukan karena sarana dan prasaranya, tetapi sistem atau aturan-atuaran yang menyebakan sekolah menjadi sangat kejam”. Maka tidak heran, sekolah dianggap sebagai “liang lahat kreatifitas dengan “mayat hidup”, yakni siswa yang ada di dalamnya. Tentu, kita sebagai korban dari sekolah tidak ingin itu terulang.
 Perlu digarisbawahi, sekolah tidak selalu sebangun dengan pendidikan. Leo Tolstoy, lebih menganggap pendidikan sebagai kebudayaan. Pendidikan mengantarkan anak didik pada suatu pemahaman dari apa yang mereka ketahui. Dengan demikian, akan dengan mudah bergumul dan tidak canggung dengan apa yang terjadi di realitas sosialnyaItulah esensi pendidikan yang hilang di sekolah akibat adanya aturan-aturan yang mendasarinya. Akibatnya, anak didik yang menjadi korban, yang “dibunuh” dengan aturan-aturan yang telah mapan.
Mayat Hidup di “Sekolah”
Berbicara pendidikan di Indonesia, seperti mengurai benang kusut. Jika ditarik, semakin rumit. Jika dibiarkan, akan tetap seperti adanya. Pendidikan tidak tentu arahnya. Bahkan dapat dibilang seperti pusara atau kuburan, yang disana terkubur proses-poses yang dinamakan pendidikanSederhananya, pendidikan adalah penciptaan peradapan manusia. Tanpa pendidikan, mustahil menciptakan peradaban yang berkembangdinamis dan besar. Namun, jika pendidikan tercerabut dari akar filosofisnya, maka peradaban akan serta merta mati dan bisa jadi terhenti.
Jika itu yang terjadi, maka pendidikan telah menjadikan anak bangsa menjadi “mayat hidup”. Karena hanya menjadi alat untuk mencetak siswa sesuai dengan keinginan Sang pembuat kebijakan tanpa memperhatikan proses dan kondisi anak didik. Di sisi lain, pendidikan diberikan tidak untuk semua golongan, akan tetapi pendidikan hanya untuk elite penguasa digunakan sebagai pelanggeng kekuasaan semata.
Paulo Freire pernah mengatakan, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Di dalam prosesnya, pendidikan tidak terlepas akan dari sistem sosial-politik, ekonomi dan budaya. Apabila proses tersebut tidak ada salah satu dari sistem tersebut, maka akan terjadi dehumanisasi, yang berarti pelanggaran akan hak hak manusia, yang dalam kerangka ini adalah anak didik.
Secara lebih rinciFreire menjelaskan proses dehumanisasi dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Dengan kata lain, dehumanisasi adalah “situasi penindsasan”. Situasi penindasan yang menurutnya terbagi menjadi dua yakni penidasan atas mayoritas kaum tertindas dan penindasan atas minoritas kaum penindas. Keduanya itu menyalahi kodrat semestinya manusia yang sejatinya manusia. Kaum mayoritas tertindas menjadi manusia yang hilang akan hak haknya sama seperi “mayat hidup”, di karenakan mereka dibuat tak berdaya oleh sistem yang ada atau dalam bahasa freire disebut “Kebudayaan Bisu” (Submerged In The Culture Of Silence). Sedangkan minoritas kaum penindas menjadi pendusta yang membohongi akan eksistensi dirinya dengan memaksakan penindasan bagi sesama manusia.
Baginya, tidak ada kata lain selain memanusiakan kembali manusia (Humanisasi) yang merupakan lawan dari proses dehumanisasi. Di mana manusia menjadi manunisa sejati dengan apa yang dimilikinya baik dalam segi sosia-politik, ekonomi maupun budaya. Menurutnya, manusia menjadi manusia apabila manusia itu tidak hanya menjadi objek melainkan juga menjadi subjek. Dengan dia menjadi subjek, dia akan sadar (kesadaran kritis dalam istilah Freire) dengan apa yang dilakukan, diucapkan maupun diperbuat.
Lebih jauh, Erich Fromm menyebutkan, jika pendidikan hanya dijadikan sebagai symbol, maka pendidikan tidak lebih dari sekedar “nekrofili”. Yakni pendidikan yang hanya membangun rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan seperti anak yang dianggap sebagai “mayat hidup”Pendidikan bukan sebagai “biofili”, yang membangun segala yang memiliki jiwa kehidupan yang maknawiyah yang menganggap anak didik tidak hanya sebagai objek melainkan juga sebagai subjek.
Fromm juga mengatakan bahwa, pendidikan seharusnya lebih  memanusiakan  anak didik dalam segala prosesnya baik dari sistem, aturan maupun sosio-kultur. Dalam hal ini, harus dijadikan diri sendiri atau menjadi apa yang seharusnya dia peroleh dan lakukan. Artinya, dia menganggap bahwa anak bukan automaton atau anak yang berfikir, bergerak dan berucap sesuai dengan apa yang telah diprogramkan oleh suatu sistem yang mendasarinya. Dengan kata lain, anak didik hanya seperti robot yang kelihatannya sangat hebat bisa menggantikan pekerjaan manusia, tetapi dasarnya robot itu tidak punya kesadaran sendiri akan apa yang dilakukannya .
Sosok automaton, seperti halnya robot, yang secara biologis bisa melakukan segala sesuatu atau bisa dikatakan “hidup” akan tetapi faktor mental atau psikologisnya “DEAD”. Memang semuanya yang peseta didik lakukan dapat mengerjakan sesuatu hal yang awalnya tidak dapat lalu dapat seperti halnya menulis, membaca dan lain sebagainya. Tetapi akibat matinya mentalnya maka anak tersbut hanya bisa melakukan akan tertapi tidak dapat makna tentang apa yang di peroleh dalam  proses pendidikan
Mematikan mental atau faktor psikologisnya sama halnya dengan mematikan jiwa kritis, dan dalam proses agama bisa dibilang diberlakukan sistem oleh pemegang kekuasaan dalam hal ini pemerintah menertawakan Tuhan. Di mana Tuhan telah memberikan akal atau mental untuk berfikir akan tetapi oleh sistem yang berlaku malah dikerdilkan atau dimatikan.
Sasaran pendidikan semestinya menjadikan hak atas individu dan kemandirian anak, menguatkan perkembangan jiwa anak  dan menumbuhkan integritas akan dirinya. Proses tersebut tidak menekankan spontanitas, melainkan proses yang bertahap dengan menjadikan anak didik sebagai subjek. Itu semua  untuk memperluas cakrawala keilmuan anak didik dan tidak menjadikannya “mayat hidup”
Reinkarnasi Pendidikan
Indonesia yang telah menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sudah selayaknya harus melindungi hak tiap individu (termasuk anak didik)Perlindungan tersebut dilakukan untuk menjamin agar mereka tumbuh dan berkembang sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang 1945. Anak adalah generasi yang harus disiapkan menjadi penerus perjuangan generasi sebelumnya. Oleh karenanya, pendidikan menjadi instrumen penting untuk mewujudkan cita-cita agung itu.
Namun di Indonesia, wajah pendidikan  yang berada di lingkungan sekolah terlalu sering menghasilkan pembinasaan terhadap substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan seolah menjadi dogma yang disabdakan para penguasa. Bagaimana tidak, pemerintah telah menjadikan pendidikan di negeri ini sebagai ajang “coba-coba”. Bayangkan saja, kebijakan berganti seiring pergantian menteri. Termasuk kurikulum yang menjadi faktor penting demi tercapainya pendidikan yang ideal. Mulai dari zaman Sang Satrio Piningit, Presiden Soekarno, hingga rezim otoriter Soeharto di zaman Orde Baru. Dari era reformasi hingga era globalisasi (saat ini). Kurikulum ’94, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 adalah 3 di antara produk-produk para pembuat kebijakan yang seakan menjadi “hiasan” kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah “kenangan” yang diberikan selama mereka menjabat.
Disadari atau tidak, hal itu berdampak buruk terhadap perkembangan pendidikan. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah anak didik. Mereka menjadi “kelinci percobaan” dari apa yang dilakukan oleh para penguasa. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang ditelurkan juga tidak selaras dengan apa yang diharapkan. Sebut saja, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mengebiri pelajar, dana BOS yang tak kunjung jelas serta Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau RSBI (meski sekarang dihapus).  Belum lagi masalah mahalnya “ongkos” pendidikan yang harus dibayar para orang tua siswa.
Semua itu disebabkan karena kita tidak memiliki dasar dan orientasi yang jelas yang menjadi pisakan. Seperti yang diuraikan sebelumnya, pendidikan kita tercerabut dari akar filosofisnya. Kerangka tersebut terbingkai dalam 4 dasar Bumi Nusantara ini, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Alih-alih memperbaiki sistem, memperbaiki diri mereka saja tidak bisa. Para penguasa hanya sibuk dengan program-program yang menjadi fatamorgana kehidupan. Tidak hanya itu, mereka berlomba-lomba mempergemuk diri dan kelompok. Dan akhirnya, pendidikan pun dibunuh secara perlahan.
Sejalan dengan hal itu, matinya pendidikan menjadikan anak dalam proses pertumbuhan secara tak sadar sudah tidak berani untuk bertanya (dead of question). Bahkan hanya sekedar untuk mengeluarkan pendapatnya saja harus disuruh oleh orang lain. Maka rasa ingin tahu juga dibatasi oleh sistem yang sudah “mapan”.
Sekolah mengajarkan bagaimana suatu sistem atau pemerintahan yang sedang berlangsung berjalan dengan baik dan benar. Ini seperti dalil-dalil agama yang sangat kuat yang digunakan untuk mematikan suatu paham agar mempercayai sepenuhnya apa yang sedang terjadi dalam pemerintahan. Meskipun apa yang diajarkan kebanyakan tidak sesuai dengan realita. Tetapi apa mau dikata,  kalau semuanya digunakan menebarkan “virus-virus” kebenaran.
Anak didik kehilangan akan jiwa kritis atau selalu bertanya atau selalu ragu akan sesuatu. Anak didik akan menjadi pasif mengikuti keadaan dan tidak aktif akan apa yang terjadi di sosio-kulturnya. Akibatnya, kelak anak akan lambat laun menjadi dewasa dan membawa sifat atau kebiasaan yang telah didapatkan pada masa anak-anak. Jelas, yang diuntungkan dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintah memasukkan kepentingan-kepentingannya dalam proses pendidikan di sekolah yang berguna untuk kelenggengan kekuasaan semata.
Jikalau ini diteruskan dalam proses pendidikan di Indonesia, maka akan lahir apa yang disebut dehumanisasi pendidikan oleh Paulo Freire atau para automaton oleh Erich Fromm. Tentu saja, hal itu berdampak akan bahaya yang mengancam kebudayaaan Indonesia. Masyarakat akan mudah untuk menerima paham-paham tanpa melihat asal usulnyaDan akhirnya, yang dicari oleh para penguasa adalah kebijakan untuk para automaton yang dimanfaatkan sebagai lahan basah bagai pelanggeng segala keinginan maupun tujuan-tujuan mereka.
Selama ini pendidikan di Indonesia dilihat hanya sebagai model pendidikan pedagogy, yakni anak dianggap sebagai “anak-anak” meskipun menurut kacamata psikologi perkembangan termasuk “dewasa”. Dari logika seperti itu, anak ditempatkan hanya sebagai peserta didik yang pasif dan menjadikannya bagian yang terpinggirkan oleh peserta didik. Pendidikan seharusnya juga mengacu pada model pendidikan andragogy yang menempatkan anak sebagai “orang dewasa” yang oleh karenanya anak didik menjadi aktif dan menjadi subjek dari sistem pendidikan.
Seperti disebutkan sebelumnya, pendidikan saat ini hanya menempatkan anak menjadi objek dari sistem. Tujuannya, untuk melanggengkan kekuasaan semata para elit-elite politik. Sementara, kebijakan mereka tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang akan menentukan masa depan bangsa dan Negara ini.
Oleh karena itu, jelas tidak ada cara lagi selain kita harus menggantikan dengan aturan atau sistem yang lama dengan yang baru, guna menjadikan anak didik seperti anak didik  sejatinya. Dengan memanusiakan anak didik serta menjadikannya jiwa-jiwa yang kritis akan lingkungan sekitarnya. Dalam sistem pendidikan yang otoriter dan tidak demokratis yang dicontohkan oleh Freire dan Fromm, sulit bagi semua aspek yang berhubungan baik langsung maupun tak langsung memerankan peran kritisnya.
Sebaliknya, dengan sistem yang baru, diharapkan harus dapat menyediakan akan adanya kesadaran kritis dalam pendidikan. Yang kelak akan melahirkan proses belajar yang bersifat humanis dan otonom dalam pengembangan kebijakan dan aturan-aturan yang berlaku dalam pendidikan di Indonesia. Selain itu, menciptakan ruang bagi proses belajar untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika itu semuanya terwujud, demokratisasi pendidikan akan ada di Indonesia. Yang akhirnya “reinkarnasi”  masyarakat yang otonom dan demokratis akan terjadi. 


Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ