Sektarianisme
menjadi salah satu faktor kejumudan dan stagnansi suatu bangsa. Hal ini menjadi tantangan terbesar negara bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sehingga nilai-nilai kebangsaan penting untuk menjadi arus utama untuk mengikis
tembok kuat dan menjadikan inklusifitas sebagai dasar sikap masyarakat.
Sektarianisme
atau fanatisme sektarian adalah sebuah kelompok/aliran agama Islam adalah
Instrumen (Wasaili al-Da’wah) kepada
Allah. Maka seorang Muslim tidak diperbolehkan mengatakan kebenaran hanya
didapatkan pada alirannya, baik aliran ulama fiqih (mutafaqqihah) maupun ulama tasaffuw (mutasawifah). Mereka tidak menerima sesuatu perkara
dari agama kecuali datang dari aliran/sektenya. Sikap Fanatisme sektarian
seperti ini menurut Abdurrahman ibnu Mu’allal al-Wayhak telah melanggar tauhid
asasi (usul al-Tauhid) bahwa keimanan
hanya kepada yang dibawa oleh Rasulullah yang telah mendapat risalah dari
Allah. [1]
Sektarianisme telah melahirkan
konflik antar agama, baik dalam bentuk aksi damai maupun kekerasan, sebagian
besar konflik keagamanan terkait dengan isu-isu komunal, seperti konflik antara
komunitas Muslim-Kristen dan penistaan agama. Namun, terdapat
variasi geografis menyangkut isu-isu yang mendorong terjadinya konflik. Isu-isu
komunal terlihat dominan di wilayah-wilayah yang memang sudah dikenal sebagai
daerah konflik komunal selama ini, seperti Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi
Tengah. Sedang di wilayah-wilayah seperti Jawa Barat dan Banten, konflik
keagamaan yang terjadi lebih banyak melibatkan isu-isu moral dan sektarian.
Sementara itu, di DKI Jakarta kekerasan bernuansa agama lebih melibatkan
isu-isu terorisme dan moral.[2]
Isu sektarian adalah
isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran
dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok
keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, kasus Lia-Eden dan Al Qiyadah Al Islamiyah adalah di antara
kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu berbagai insiden protes maupun
kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat
secara umum. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.[3]
Konflik
yang terjadi di Indonesia antara Muslim dan Nasrani adalah seperti yang terjadi
di Maumere (1995), Situbondo dan Tasikmalaya (1996), Rengas Dengklok (1997),
Jakarta, Solo, Kupang (1998) Poso dan Ambon (1999-2000). Adapun faktor
pendorong konflik beragam menurut Yusuf (dalam Mohammad Aji Nogroho) mulai dari
penghinaan terhadap ulama dan penodaan agama, perebutan wilayah agama,
penangkapan dan penganiayaan tokoh ulama setempat, overacting petugas
kepolisian dan keamanan serta kecemburuan sosial. Dalam menyikapi hal tersebut diperlukan reposisi dan revisi
sistem pendidikan agama dengan memadukan integralitas kaitan agama
antarasakral-transenden dan profan-fenomena sosial atau budaya.[4]
Dalam menghadapi
konflik sektarian, Islam Nusantara hadir
sebagai sebuah konsep keagamaan atau agama yang
mengakomodir budaya dan tradisi Nusantara - yang
menjadikan tradisi sebagai infrastruktur agama atau agama sebagai isi budaya. Dengan
narasi ini, agama akan
memberikan formula baru dalam sebuah
negara yang tidak semua elemen masyarakat dalam negara tersebut mengafirmasi
paham tersebut. Sehingga akan terjadi diskursus dan kemudian menuai konflik.
Sebab masih ada beberapa kelompok lain - yang
beraliran islam lurus/murni yang tidak ingin mencampur adukkan antara tradisi,
budaya dan ajaran agama serta tidak ingin adanya labelisasi.
Labelisasi Islam Nusantara adalah
bentuk indigenisasi Islam, karena
pada saat yang sama Islam universal juga mengalami hal yang sama. Proses ini
memang sulit dielakkan karena bagaimanapun pembentukan pandangan dunia dan
pemahaman terhadap Islam itu sendiri ke lingkungan Masyarakat memerlukan adopsi
symbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain,
Islam Nusantara tidak ansih merepresentasikan Islam di Indonesia, melainkan telah terdapat
pengaruh Islam universal yang terlihat dalam
ekspresi sosial budaya masyarakat dengan
distingsinya.[5]
Mengenai Islam mengakomodir budaya, Gus
Dur memiliki dua gagasan besar: Pertama, Islam
sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio kultural dan politik
Indonesia. Kedua, gagasan pribumisasi Islam. Dimensi pertama dari
gagasan Gus Dur ini merupakan seruan kepada rekan-rekannya sesama Muslim untuk
tidak menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap konstitusi
negara-bangsa Indonesia yang sudah ada sekarang. Dalam pandangannya, Islam
harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam fondasi tatanan sosial, kultural,
dan politik negeri ini.[6]
Dimensi pertama ini memberikan
pengertian bahwa agama menjadi dialogis ketika berhadapan dengan budaya,
kompromi dan tidak memandangan marginal antara budaya dan agama keduanya dapat
berjalan secara kompromi sehingga agama fleksibel dalam menyikapi budaya.
Sehingga agama dan budaya tidak bertentangan satu dengan yang lainnya dan tidak
menjadi sumber perpecahan dalam masyarakat. Islam Nusantara adalah bentuk
respon dari gagasan ini dan menjadikan gagasan ini sebagai isi dari pada tujuan
terma ini.
Dimensi kedua dari gagasan Gus Dur
adalah pribumisasi Islam. Menurutnya, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi
atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa
mengubah hukum itu sendiri. Pribumisasi Islam bukan berarti meninggalkan norma-norma keagamaan demi budaya, namun agar
norma-norma ini menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash a1-Quran. Singkat kata, pribumisasi Islam adalah rekonsiliasi antara budaya dan
agama. Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan fà ktor-fakror kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa
keadilannya.
Mengapa
pribumisasi Islam menjadi penting? Paling
tidak ada dua alasan: Pertama,
alasan
historis bahwa pribumisasi Islam merupakan
bagian dari sejarah Islam baik di negeri asalnya maupun di negana lain termasuk
Indonesia. Di sini menunjukkan bahwa Islam rnengalami proses pergulatan dengan
kenyataan-kenyaraan historis. Proses ini, tidak mengubah Islam, tetapi mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Kedua,
proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat. Dalam
kaidah fiqih dikenal misalnya al-’adah muhakkamah (adat-istiadat menjadi
hukum). Dalam hal ini, adat
tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan
aplikasinya.
[1]Abdurrahman ibnu Mu’allal al-Wayhak, al-Ghuluw fi al-Din fi hayati al-Muslimin
al-Muayirah( Lebanon; Banayatul maskan, 2005), 223.
[2]Ihsan
Ali Fauzi, Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008 (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, tt).
[3]Ibid,, 7.
[4] Muhammad Aji Nugroho, “Urgensi dan
Signifikansi Pendidikan Islam Multikultural terhadap Kompleksitas
Keberagamaan di
Indonesia”, At-Tarbiyah, Vol. 1 No.2,
(Desember 2016).
[5]
Azyumardi Azra, Konflik Baru antar
Peradaban; Globalisasi, radikalisme, Pluralitas (Jakarta: Grafindo Persada), 162-163.
[6]M.Wahid Nur Tualeka, “Gerakan
Neomodernisme Islam Di Indonesia perspektif Cak Nur dan Gus Dur”, Al-Hikmah: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 1, No.
1, (2015).
0 Comments