Subscribe Us

Responsive Advertisement

Advertisement

TRIO

Siapa yang tidak mengenal KH. Abdurrahman Wahid, yang membumi dengan nama Gus Dur? Siapa yang tidak tau dengan Nurcholis Madjid, yang akrab dengan sapaan Cak Nur? Lalu, siapa yang tidak mengagumi Emha Ainun Najib, yang merakyat dengan sebutan Cak Nun?
Ketiga figur ini adalah tokoh sekaligus bapak bangsa yang menjembatani transisi orde baru dengan era reformasi. Dan sekali lagi, tak ada yang mengelak peran penting tiga tokoh (dari “Walisongo”) ini di dalam kehidupan berIndonesia kita.
Ibarat dunia sepak bola, mereka adalah trio maut legendaris Belanda yang bermain di AC Milan di era 90an. Tanpa menafikan Trio MSN dari Barcelona yang sangat dikagumi seantero Benua Biru atau mendiskreditkan Trio BBC yang menjadi kampanye viral UEFA. Marco Van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard adalah aktor lapangan hijau yang menjadi pelopor lahirnya sepak modern di tengah mapannya catenaccio ala Italia atau pertahanan “tembok Berlin” ala Jerman Barat kala itu.
Meski saya seorang Juventini, saya sangat mengagumi trio ini.
Tak bisa dipungkiri, bahwa seorang tokoh besar selalu mempunyai sejarah besar. Mereka hadir sebagai ikon: sebuah simbol yang memberikan substansi dan menggugah hati, karena dianggap sebagai seorang yang lebih dengan ide-ide yang berguna untuk hidup manusia. Gus Dur, Cak Nur dan Cak Nun adalah ikon, tokoh sekaligus panutan: ide-idenya tak akan hilang dari Indonesia. Mereka menebar hal baik dengan lakonnya. Di tengah gemblengan keadaan, Trio GCC menyuguhkan arti Indonesia yang sebenarnya.
Hanya saja dalam arus politik di Indonesia, trio ini tampak sebagai pribadi yang tak sempurna. Namun demikian, mereka melakukan tindakan yang sederhana tapi menakjubkan manusia. Dari keadaan yang terbatas, Trio Jombang ini menjangkau mereka yang bukan golongannya, melompat pagar pembatas manusia, untuk merangkul mereka yang beda. Kita tahu mereka melakukan itu dengan “bondo nekad” tapi prinsipil: keberanian yang hampir tak dimiliki manusia umumnya.
Terkadang api itu redup, tapi ia tak pernah padam. Meski padam, masih akan ada bara yang akan kembali berkobar. Barangkali kita sering membayangkan Gus Dur, Cak Nur dan Cak Nun masih duduk dalam satu meja, membincang dan berkelakar tentang Indonesia. Trio ini memiliki tiga unsur yang tak terpisahkan: kecerdasan, agitasi, dan provokasi-yang ketiganya tidak melepaskan unsur humor.
Mereka yakin politik tak sama dengan mereka yang terusik oleh kelakar. Saya kira politik bagi mereka bukanlah kekuasaan yang terbayang di abad pertengahan: politik yang “doktriner”, ”ganas” dan ”kaku”.
Oleh sebab itu, Gus Dur, Cak Nur dan Cak Nun lebih besar dari yang kita sangkakan. Mereka besar meski tak duduk di atas singgasana. Betapapun masyarakat menginginkan, mereka tak pernah cocok di sana. Karena mereka adalah bagian dari sesuatu yang sangat berharga: ketidakmauan untuk “menghamba” kepada kekuasaan.
Entah bagaimana dan seperti apa kekuasaan yang kini dijalankan di Indonesia. Yang pasti, dengan gaya yang berbeda-beda, kelakar trio ini diharapkan mendinginkan suhu politik yang mendidih, bertolak dari idealitas bahwa kekuasaan adalah oase pengabdian yang mengisi lekuk yang kering dan gersang.

Post a Comment

0 Comments

FAHRUDDIN FAIZ