Mei. Bulan
penuh kesan, mimpi dan tragedi. Sebuah saat dengan momen menakjubkan dengan
refleksi-refleksi. Mei 1998, sebuah negeri terguncang, tegang, dan suasana
menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar ratusan kendaraan,
membumihanguskan bangunan, dan merusak apa saja yang memakai simbol kekuasaan.
Sudah sekian masa - pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa -
para aktivis dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada penguasa. Dan
hari itu aksi massa tak terbendung.
Perubahan; mungkin itu yang dibayangkan. Namun, nampaknya, hari
itu yang terjadi sebuah lakon tanpa ide. Ide tanpa pemikiran matang. Sehingga
emosi yang terpakai. Lenin, cenderung melihat people power sebagai langkah
untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai gerakan ideologi, tapi juga
berkait dengan sebuah gagasan yang tak cuma datang dari akal, melainkan dari
benturan dengan keadaan.
Lenin, bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi.
Dari telaah itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan
taktik itu perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang
akan memimpin, jelas pula sistem politik dan ekonomi yang akan diterapkan.
Revolusi Prancis, memang tak tampak berangkat dari ”rencana”,
tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar
baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan, Sang
Raja dipenggal, bahkan jadi pertanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di
tahta itu. Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan
sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari
konflik sosial itu - yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam
semboyan liberte, egalite, fraternite.
1998
Dengan
sedikit persuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1998 adalah
sebuah transformasi. Karena sejak itu, ketika kekuasaan berpindah tangan dari
“raja” orde baru, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng ideologi
berbaju pembangunanisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah
bangsa dicanangkan, dan sejak 1990-an bangsa ini bersedia mati untuk kebebasan.
1998. Kita tak tahu persis bagaimana keadaan waktu itu. Kita tak
ada di masa itu. Dari sebuah bangku di sekolah, barangkali kita hanya mendapat
kabar parsial tentang aksi mahasiswa yang tiada henti. Dan di dunia kampus,
kita kemudian paham bahwa ada kerja sama mahasiswa dengan rakyat, mengusung
satu misi pembebasan. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan mencekam. Pelan-pelan
tampak bahwa militer ingin mengambil alih gerak perubahan politik dengan rezim
yang dianggap “baru” itu.
Namun, membaca sejarah itu, kita bisa tahu, ada hasrat
demokratisasi yang kuat di tahun 1998, ketika para aktivis menggulingkan sistem
demokrasi (meminjam bahasa Gus Dur) “Raja Jawa”. Suara untuk mengukuh¬kan
hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha me¬negakkan kemerdekaan pers dan
rule of law sangat bising.
Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun
yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan
kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut
yang terbungkam dan perut yang tak tenang. Setelah 1998, demokrasi memang
dihembuskan, kebebasan pers didengungkan, tapi ada yang sejak itu tak dapat
diganti: sistem ”kekerabatan”, transaksi kekuasaan, dan tradisi keraton cendana
yang masih terpatri. Lebih dari itu, kebebasan yang inginkan membuat kita
terbuai, berada di zona “nyaman”, hingga terjebak dalam sebuah zaman yang tanpa
kendali. Kemudian, era digital datang, ia membelai, tapi menggerus bahkan
memasung gerak hanya dalam sebuah “pesan”.
Paradoks
Reformasi?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya
pesona tersendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”reformasi” dikaitkan
dengan sepatah kata yang ganjil: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya
dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti
”ge-nerasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang
amat gagah. Maka ”Angkatan ’98” terunggah.
Setelah 1998, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan
”reformasi”. Peristiwa itu seolah tak punya dampak sosial yang berlanjut.
Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi gerakan massa,
selapis tabir untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung orde baru,
lengkap dengan dusta dan propagandanya - sebuah fragmen sejarah yang kelak
wajib lebih jelas diungkapkan.
Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah masa, menunjukkan betapa
mudahnya reformasi meledak. Meskipun harus dicatat: reformasi seperti binatang
liar: sekali dilahirkan, ia tak bisa dikendalikan. Amarah yang meledakkannya
dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma aksi. Tiap usaha selalu politis,
akan tampak riuh, lalu absurd. Seperti “sabda” Marx: ”peristiwa besar dalam
sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa utopi.”
Itu sebabnya reformasi bisa dilakukan, tapi ia tak bisa dipesan,
dan pada akhirnya sulit dikendalikan. Seperti sejarah, reformasi punya saatnya
sendiri untuk lahir. Kata Gus Dur, ia adalah buah panas dari kemarahan yang
otentik dan antagonisme yang mendalam. Sehingga baranya tersebar dan membakar
Negeri ini hingga gersang. Ada pembungkaman yang terjadi, ketika reformasi
dilembagakan dalam program partai, hukum, atau ideologi. Oleh karenanya,
generasi muda harus menentukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan dan harga diri
NKRI. Jika tidak, maka reformasi hanyalah ilusi.
0 Comments